Tuesday 19 July 2011

TUANKU RAO

Dari Diskusi Buku ‘Tuanku Rao’ di Pematangsiantar (1)

Munculkan Respon Beragam, Ada Peserta yang ‘Berapi-api’ Menyebut Impossible
Sesuai rencana, diskusi buku ‘Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak’, yang ditulis MO Parlindungan, digelar di Sekretariat PLOt di Jalan Lingga Nomor 1 Siantar, Senin (26/11), mulai pukul 14.00-18.00 WIB. Beragam respon peserta terkuak dalam diskusi yang menghadirkan 4 pembicara itu. Mulai dari memuji penerbitan kembali buku tersebut, hingga dengan ‘berapi-api’ mengkritik isi buku. “Impossible,” kata seorang peserta sampai 7 kali.
Dame Ambarita, Siantar
Memang, peserta diskusi tak sebanyak yang ditargetkan semula, yakni 200-an orang. Yang hadir hanya sekitar 100-an orang. Tetapi peserta yang hadir memiliki latar belakang beragam, mulai dari pengurus OSIS SMA, mahasiswa, aktivis, dosen/guru, PNS, pejabat pemerintahan, praktisi kesehatan, tokoh-tokoh agama, tokoh pemuda, wartawan, seniman, pemerhati sejarah, pelaku sejarah kemerdekaan, pengusaha, dan lain-lain.
Batara R Hutagalung, putra Letkol (Purn.) TNI AD DR Wiliater Hutagalung –salah seorang yang ‘meyakinkan’ Mangadraja Onggang Parlindungan untuk memublikasikan catatan yang seharusnya diperuntukkan untuk ‘Sonny Boy’, kedua anak penulis– menjadi pembicara pertama yang bertutur tentang sejarah penerbitan buku Tuanku Rao.
Ia menjelaskan, buku Tuanku Rao memang telah menuai kontroversi sejak pertama kali diterbitkan tahun 1964. Dan hingga diterbitkan kembali oleh LKiS dengan cover dan ejaan (berikut kesalahan ketik) yang persis sama dengan aslinya, tetap menuai kontroversi. “Memang, banyak data di dalam buku itu yang kontroversial. Tapi juga banyak fakta-fakta yang tak terbantahkan. Yang penting bukan soal fakta-fakta sejarah, tetapi esensinya,” katanya.
Ia menyarankan penelitian lebih lanjut mengenai isi buku, yang sudah diakui banyak orang sebagai buku yang menarik, bahkan mampu menghipnotis pembaca untuk terus membaca lembar demi lembar.
Pembicara kedua, Dr Phil Ichwan Azhary, mengatakan, buku Tuanku Rao itu bisa membuat stres pembacanya. “Orang Batak, banyak yang stres membaca buku ini. Bayangkan saja, buku ini menyebut Raja Sisingamangaraja X dibunuh oleh orang Batak sendiri. Apa tak stres?” katanya.
Tak hanya orang Batak, orang Minangkabau sendiri juga stres membaca buku itul karena Tentara Padri yang dibanggakan, ternyata adalah pembunuh di Tanah Batak. “Sulit melepaskan objektivitas dalam membaca buku ini, khususnya bagi orang Batak dan orang Minang. Karena buku ini, terus terang saja, bisa memancing emosi. Untungnya, saya orang Melayu, jadi saya tak terpancing,” katanya, yang mengundang tawa yang hadir.
Lucunya, kata dia, buku yang mengambil judul Tuanku Rao itu, justru hanya 20 persen membahas tentang Tuanku Rao. Selebihnya, lebih fokus menceritakan masuknya agama Islam ke Indonesia. “Karena itu, perlu dicermati, apakah penulis buku ini ingin membesarkan nama Tuanku Rao?” tanyanya.
Ichwan juga menjelaskan, bahwa fakta-fakta sejarah dalam buku Tuanku Rao, banyak yang tidak bisa ditelusuri dengan metode sejarah dengan cara verifikasi dokumen. “Karena itu, Buya Hamka sempat menyebut buku ini 80 persen bohong, 20 persen lagi meragukan,” katanya.
Apalagi, MO Parlindungan sendiri dalam bukunya menulis, bahwa dirinya menulis buku itu dengan sedikit akal busuk, dan sengaja memasukkan 7 kesalahan. Maksudnya, agar kedua anaknya ‘Sony Boy’ tak mudah mempercayai apa yang tertulis, di luar kitab suci.
“Jadi menurut saya, buku lebih cocok disebut Sastra Sejarah, yang datanya tak perlu dilacak sesuai metodologi sejarah,” katanya. Ichwan juga mengungkapkan berbagai temuannya tentang tidak validnya beberapa data dalam buku itu.
Pernyataan Ichwan ini kontan didukung seorang peserta diskusi, Marisi Hutabarat (70-an), berprofesi wartawan. Dalam sesi tanya jawab, dengan berapi-api ia mengatakan, buku Tuanku Rao menimbulkan sinis pada dirinya. “Menurut saya, penulis pintar menjual bukunya. Isi buku ini tak lebih dari cerita 1001 malam. Karena dalam budaya Batak, kejadian besar selalu dibukukan, atau paling tidak diceritakan kembali lewat turi-turian. Sementara kisah kekerasan Perang Paderi tidak ada diceritakan. Dan mengenai pasukan kolosal 6.000 pasukan berkuda di Tanah Batak, itu impossible.Menurut saya juga, Perang Padri itu bukan perang, tetapi serangan. Dan Perang Paderi tidak pernah sampai ke Silindung, apalagi ke Toba. Itu impossible,” katanya dengan nada berapi-api dan dengan wajah ketat.
Marisi Hutabarat juga mengatakan impossible untuk kisah mengenai dendam berkepanjangan antara Klan Siregar terhadap Dinasti Singamangaraja (keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua yang mengusir mereka dari Muara dengan tidak mematuhi hukum Batak). “Bagi orang Batak, tak pernah ada dendam berkepanjangan, apalagi sampai 26 generasi. Dendam sampai 4 generasi saja tak ada, konon pula sampai 26 generasi. Impossible!” tegasnya dengan nada semakin tinggi.
Ia mengatakan, penerbitan buku Tuanku Rao bisa memancing emosi pembaca. “Sanggupkah kita membaca buku ini tanpa emosi?” tanyanya, dengan eskpresi wajah yang menunjukkan intensitas emosi yang makin meningkat, walau dia sempat juga tertawa saat buku jatuh dari pangkuannya, di tengah semangat dirinya mengkritik isi buku Tuanku Rao.
Tanggapan Pak Marisi ini menuai tepuk tangan dari peserta yang hadir, termasuk dari pembicara sendiri. (Apa tanggapan para pembicara tentang ‘emosi’ Pak Marisi, ikuti kelanjutannya besok.)
=====end of message=====
Menanggapi mengenai buku ‘Tuanku Rao’ ini, seperti yang telah dikatakan oleh Dr.Phil Ichwan Azhary, bahwa fakta-fakta sejarah dalam buku Tuanku Rao, banyak yang tidak bisa ditelusuri dengan metode sejarah dengan cara verifikasi dokumen. saya sependapat dan memang bisa dikatakan buku Tuanku Rao itu ialah sebuah sastra sejarah.
Dan juga mengenai asal-usul Pongkinangolngolan Sinambela sendiri terdapat 3 versi yang berbeda yaitu versi M.O Parlindungan dan versi dari beberapa penulis yang pernah menyinggung Pongkinangolngolan alias Tuanku Rao yaitu sebagai berikut:
versi 1:
Guru Kenan Hutagalung menulis tentang asal usul Tuanku Rao didalam ‘Tijdschrif L.K.I tahun 1922. Kemudian Adniel Lumbantobing juga pernah menulis buku ‘Sejarah Si Singa Mangaraja’, yang lain Hasan gelar Sutan Pane Paruhum dalam bukunya ‘Korte Legende van een deel der Stamvaders de Bewroners van Tapanuli en Ooskusts van Sumatra’. Ditegaskan juga oleh Mohammad Said, penulis buku ‘Sisingamangaraja XII’. Bahwa Pongkinangolngolan Sinambela ialah anak dari Nai Hapatian(adik perempuan Sisingamangaraja X), yang menikah dengan seorang laki-laki dari keluarga Lontung yang bergelar Palti Raja/Ompu Palti Raja. (Fakta dan Khayal Tuaku Rao, Buya Hamka, 1974)
Sedangkan menurut M.O Parlindungan bahwa Pongkinangolngolan gelar Tuanku Rao ialah anak dari Gana boru Sinambela yg nikah dengan ‘Tulang’ nya sendiri yaitu Gindoporang Sinambela alias Muhammad Zainal Amirudin Sinambela.
versi 2:
Ayah dari Tuanku Rao: adalah seorang putra dari Sisingamangaraja VIII, yang semula bernama: Prince Gindoporang Sinambela, Gindoporang didalam bahasa Batak, artinya kira-kira “Pangerang Bintoro” di dalam bahasa Jawa. Ditanah Batak utara nama itu tidak dipakai lagi, sejak disumpah oleh Sisingamangaraja IX.
Ibu dari Tuanku Rao: adalah seorang Putri dari Sisingamangaraja IX, yang bernama Putri Gana Sinambela, didalam bahasa batak: Gana boru Sinambela.
Painful Conclusion: Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao lahir dari incest “Bloedschande’, antara seorang uncle dengan his niece. Itu dia penyakit! Selamanya ditutup-tutupi oleh Pihak Tanah Batak Utara, karena mengenai seorang Princess of the Sisingamangaraja Dynasty. (Tuanku Rao, hal.59.M.O Parlindungan, 1964)
Sedangkan aku lebih cenderung kepada versi penulis sebelum M.O Parlindungan, karena jikalau kita runut kembali kepada Ompu Palti Raja dan Sisingamangaraja X, maka penjelasan pada versi 1 lebih mengena. Seperti kita ketahui bahwa Ompu Palti Raja ialah rival(saingan) Sisingamangaraja X pada masa itu, pengaruh dan kekuasaan sosio-religi Sisingamangaraja mencakup hampir seluruh tanah Batak terkecuali Samosir, Barus.
Menurut Sitor Situmorang dalam ‘Toba Na Sae’, bahwa ada 3 Pendeta raja(high priest) yang lahir dari 3 marga pokok dan mereka mempunyai ’sahala harajaon’ yaitu Palti Raja, Jonggi Manaor, dan Sorimangaraja. Palti Raja dan Jonggi Manaor di Samosir dan Sorimangaraja di Baligeraja. Sebab itu pengaruh Sisingamangaraja tidaklah begitu kuat di daerah Samosir karena masyarakat adat dan religius disana punya 2 pemimpin sendiri dan mereka berdiri sendiri tidak masuk ke dalam struktur sosio-politik Sisingamangaraja. Hal ini membuat penasaran Sisingamangaraja X, karena dia dengar juga Palti Raja itu orang sakti dan selanjutnya Sisingamangaraja menyerang Samosir, mereka berperang dan pada akhirnya Sisingamangaraja X harus mundur dari Samosir.(lihat: artikel Palti Raja).
Nah, diceritakan oleh Adniel Lumbantobing: bahwa adik perempuan Sisingamangaraja X menikah dengan Palti Raja. Setelah Palti Raja menikah dengan ‘Ito’ dari Sisingamangaraja X, selanjutnya Sisingamangaraja berkata kepada adiknya ‘bahwa tidak mungkin didalam kerajaan Bakkara, ada dua Matahari yg menyinari’, Nai Hapatian memahami maksud Sisingamangaraja X dan dengan berat akhirnya Nai Hapatian & Palti Raja keluar dari Bakkara dan menetap di Singkil, Aceh tengah. Disini Sisingamangaraja X tentu mendapat beberapa keuntungan dari konspirasinya.
Dari perkawinan Palti Raja dan Nai Hapatihan lalu lahirlah Pongkinangolngolan. Sedangkan Mohammad Said menjelaskan bahwa Tuanku Rao ialah Orang Padang Matinggi dan bukan orang Batak!.
versi 3:
Mohammad Said menulis didalam ‘Si Singamangaraja XII’, “adapun pemimpin perang yang telah mempertahankan benteng Amerongan itu adalah Tuanku Rao sendiri, dalam hal ini dia dibantu dengan kerjasama kompak dengan Tuanku Tambusai”. Dalam sumber lain sekali-kali tidak dikenal dan tidak diketahui apa yang dibahagian wilayah Batak Toba telah meluas disiarkan bahwa Tuanku Rao ini adalah seorang putra Batak, atau si Pongkinangolngolan.
J.B Neumann Kontelir B.B yang menulis tentang ‘Studies over Bataks en Batakschelanden’, pada halaman 51 ketika menyebut bahwa Tuanku Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao, maka disebutkan bahwa Tuanku Rao ini berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut-sebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Sumber Neumann yang menulis di tahun 1866, sebagian mengambil sumber karangannya dari Residen T.J Willer, yang berada di Tapanuli dalam tahun 1835, tegasnya limapuluh tahun sebelumnya, yaitu masa peristiwa yang bersangkutan masih dalam tahun-tahun dimana orang yang bercerita turut berada, dengan semikian boleh dikatakan sumber dari tangan pertama.
Menurut suatu sumber memang benar bahwa Tuanku Rao telah kawin dengan puteri Yang Dipertuan Rao dan oleh karena Yang Dipertuan Rao bukan seorang penganut Wahabi dan tidak begitu bersemangat untuk menantang agresi Belanda maka telah diambil alih oleh menantunya, yang kemudian dikenal sebagai ‘Tuanku Rao”(lihat Sisingamangaraja XII,Mohammad Said, hal 770-78).
Kemudian penjelasan Drs.H.Asrul Sani kepada Buya Hamka, Asrul Sani adalah keturunan dari Yang Dipertuan Nunang Rao, masih saudara dari pemangku gelar dan adat Yang Dipertuan Agung yang sekarang. “Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi sendiri, Rao Padang Nunang. Kaum keluarga dan suku saka yang terdekat masih dapat dicari sekarang disana. Jubah beliau masih tersimpan sebagai barang pusaka yang dipelihara dengan baik. Tapi sayangnya, kitab-kitab pusaka beliau sudah berserak-serak, karena tidak ada lagi anak-cucu yang sanggup memeliharanya”.
Sedangkan pendapat Mohammad Rajab dalam bukunya ‘Perang Padri” menulis: ‘ Daerah Rao banyak menanggung kerusakan, disebabkan oleh perang saudara, hanya di Padang Matinggi masih ada rumah-rumah yang bagus. Tuanku Rao dibujuk oleh letnan van Bevervoorden supaya menyerah, tetapi ia mengatakan akan naik haji ke Mekkah dan tidak mau lagi memerintah. Raja Rao yang tadinya tinggal dibelakang selama Perang padri berkuasa kembali, muncul kembali dan didalam satu rapat para penghulu dan rakyat, ia diangkat oleh pihak Belanda sebagai Regen Rao”(hal 139).
Kalau apa yang ditulis oleh M.Rajab ini direlasikan dengan keterangan Mohammad Said diatas tadi, terang sekali bahwa Tuanku Rao ialah orang Rao, dan bukan orang Batak. Teranglah bahwa pada mulanya beliau mengambil kekuasaan dari tangan mertuanya Yang Dipertuan Rao, tetapi setelah Rao kalah, Tuanku Rao menarik diri dan mencari dalih mengatakan hendak berangkat ke Mekkah dan kekuasaannya diserahkan Belanda kepada mertuanya kembali.
Wah, makin bingung mana yang benar?

No comments:

Post a Comment