Tuesday, 19 July 2011

PERANG PADERI DAN PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI TANAH BATAK

Pada mulanya orang Batak tidak menganut suatu agama impor. Orang Batak mempercayai Tuhan yang dinamakan Mulajadi Nabolon atau Ompu Raja Mula –mula atau Ompu Raja Mulajadi. Di samping tuhan yang dianggap tunggal itu, dipercaya juga debata natolu yaitu tiga Tuhan yang masing-masing menguasai suatu tempat di alama raya dan dunia. Debata Batara Guru menguasai banua ginjang (dunia atas), Ompu silaon nabolon yang juga dinamakan debata sori menguasai banua tonga (dunia tengah), serta tuan pane na bolon yang juga diasosiasikan sebagai tempat kesusahan yang kekal. Orang percaya bahwa Tuhan yang tertinggi ialaha Debata Mulajadi Nabolon dan ketiga TUhan yang lain adalah titisannnya (Simanjuntak, 1966:75-77).
Sementara itu orang Minangkabau sudah menganut agama Islam sejak awal abad ke-14 yang di bawah oleh pedagang-pedangang Arab (Harahap, 1960:60). Sekitar 400 tahun kemudian beberapa diantara penganut tersebut menunaikan ibadah haji ke tanah Arab, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik,dan Haji Piobang. Sekembalinya dari Arab mereka ingin mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang belum menganut agama Islam. Mereka tahu bahwa orang Batak masih animis dan paganis. Mereka menuju Tanah Batak. Sistem pengembangan agama yang dilakukan ialah kekerasan dan perang (Radjab, 1954:8-9). Menurut catatan Marcopolo, agama Islam sudah masuk di Indonesia pada abad ke-13 tetapi di wilayah mana dia tidak menjelaskan. Pada abad ke-14 Ibn Battuta mengatakan bahwa Kerajaaan Pasai di Sumatera Utara sudah menganut agama Islam (Snouck Hurgronje, 1903:14). Tetapi tidak dijelaskan apakah semua penduduknya sudah beragama Islam, ataukah hanya raja saja. Kemungkinan raja menjadi Islam, karena ingin lain dari rakyat kebanyakan. Jadi demi status dan penghormatan.
Di dalam pengembangan Islam ke Tanah Batak, orang Minangkabau yang disebut orang pidari dan diartikan sebagai orang yang berjubah putih, menyerang dalam jumlah ribuan. Tentara Islam itu dipimpin oleh Tuanku Rao dan SI Pongkinangolngolan yang diakui oleh orang Batak sebagai bere (kemenakan) Raja Sisingamangaraja X (Sihombing, 1961:11). Sipongkinangolngolan diduga membalas dendam kepada tulangnya (pamannya) karena sakit hati akibat perlakuan tidak manusiawi yang dialaminya dari pamannya itu.
Perang Paderi berlangsung dua kali, yaitu tahun 1825 – 1829 perang pertama, kemudian yang kedua tahun 1830 – 1833, mereka banyak membunuh orang Batak karena tidak mau di-Islamkan. Sebagian ditawan dan dibawa sebagai budak. Perang Paderi kedua membawa korban paling banyak. Sisa-sisa tawanan dijadikan budak, dan sekarang ini keturunannya bertempat tinggal di Kampung Tjubadak, Sumatera Barat (Harahap, 1960:59-60). Menurut catatan Junghuhn, korban Perang Paderi itu sekitar 200.000 orang Batak, terutama orang Batak Angkola dan Mandailing di Tapanuli Selatan (Napitupulu, 1972 :117).
Sejak Perang Paderi, maka agama Islam berkembang di Tanah Batak bagian selatan sampai sekarang. Jadi masuknya agama tersebut ke Tanah Batak disebabkan Perang Paderi, bukan karena hubungan dagan dengan Arab (Simanjuntak, 1994).
Latar belakang Perang Paderi merembet sampai ke Tanah Batak, bersumber dari pergolakan yang terjadi di tanah Minangkabau. Ketiga haji yang baru kembali dari tanah Arab itu menganut paham Islam Wahabi, ingin mengembangkan ajaran Islam yang murni. Untuk itu mereka harus menghapuskan segala adat kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Kaum adat tidak setuju adatnya diremehkan kaum Wahabi, maka pecah perang saudara di antara kaum Paderei dengan kaum adat sejak tahun 1803-1838 di Minangkabau (Radjab, 1954:8-9).
Melihat perkembangan Perang Paderi itu sendiri di tanah Minangkabau, serta melihat sikap Belanda memihak kaum adat, seta melihat beberapa perjanjian yang dibuat antara pihak Belanda dengan kaum Paderi selalu dilanggagar oleh Belanda, serta serangan-serangan Belanda yang banyak merugikan kaum Paderi, penulis berpendapat bahwa latar belakang masuknya tentara Paderi ke tanah Batak bukanlah dengan tujuan mengembangkan Islam semata-mata, maupun karena dendam salah seorang panglima Tuanku Rao yaitu si Pongki Nangolngolan, kepada Sisingamangaraja X, tetapi karena tentara Paderi semakin terdesak oleh tentara Belanda dan kaum adat, serta semakin sulitnya persediaan makanan mereka. Karena itu mereka terpaksa menyingkir kea rah utara dan menyerang serta menaklukkan Tanah Batak bagian selatan dan dijadikan basis perlawanan serta sumber bahan makanan atau logistik (Lihat disertasi Penulis “Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak”, UGM 1994).
Tetapi pandangan ini lebih tepat ditujukan pada gelombang paderi yang kedua ke Tanah Batak, yaitu tahun 1830 sejak mulai terdesaknya mereka oleh tentara Belanda, kaum adat, serta raja Gadombang (salah seorang raja Batak) dari Hutagodang Mandailing yang ingin membalas dendamnya karena serangan Paderi di tahun 1825-1830 yang banyak memakan korban rakyat Batak (Radjab, 1954:124, 141, 159-161, 356-359).
Penulis menilai bahwa peng-Islaman secara murni ke Tanah Batak baru berlangsung setelah hamper seluruh tanah Minangkabau dapat dikuasai orang Paderi. Karena menganggap sukses dengan ajaran murni tersebut, maka mereka hendak mengembangkan sayap ke Tanah Batak. Pendapat ini dibuktikan dengan pendapat yang keliru di kalangan kaum Paderi tentang kedatangan orang Belanda ke Sumatera yang dianggap dalam rangka pengembangan agama Nasrani (Snouck Hurgronje, 1903:16). Menurut penulis kaum Paderi menjadi takut didahului Belanda. Maka disaat berkecamuk perang saudara tersebut, mereka menyerang Tanah Batak dan melakukan peng-Islaman dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah (Radjab, 1954:90-96).


Sumber:
Bungaran Antonius Simanjuntak
“Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945″
Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik
Penerbit Yayasan Obor Indonesia

No comments:

Post a Comment