Tuesday 19 July 2011

AMBIA MENULIS

Saya berharap ada 'kartini-2' baru yang mengikuti jejak CP menjadi penulis yang handal dan berbobot (semoga terwujud cita2mu). Untuk mencapai keberhasilan tersebut, tidaklah segampang 'menyelesaikan kesarjanaan dibangku perkuliahan' karena harus diperlukan 'masa, rintangan dan waktu'

Dan proses 'berdialektisasi' yg dilakukan oleh rekan kita (~alof) yang menetapkan 'waktu sebagai barang mewah' membuat ybs memiliki kemampuan dalam menjabarkan, jadi ngak bisa dipungkiri rasa perduli ybs sampai tengah malam hanya untuk memberikan masukan/ perbaikan dan debat terhadap milis kita ini (walaupun ybs sempat merasa ditolak bahkan sudah berencana mau unsubscribe dari milis ini).

Penolakan, kritikan terhadap org2 yang bermaksud baik itu sudah merupakan 'hukum alam' karena benar menurut kita, belum tentu benar bagi orang lain (mengganggu comport zone ?). Tetapi hal yang pasti kita dituntut untuk hidup dalam kerendahan hati (ini satu kunci yang saat ini saya coba ukir2 dihati dalam segala hal termasuk membuat sebuah tulisan kecil). Hal ini saya dapatkan masukan dari seseorang (ex pacar) bagaimana membuat sebuah karya tulis/ surat sehingga orang lain yang membaca/ menerima surat kita bias menerima tegoran/ tulisan kita.

Karena karya tulis/ surat tersebut adalah berupa sebuah tegoran untuk memperbaiki secara tidak langsung terhadap para pembaca dan juga kita sendiri. Nach.. untuk menuju cita2 menjadi 'penulis dari Simalungun' masukan saya diperlukan bentukan jati diri yang hidup dalam 'Rendah Hati' serta 'jaga kesehatannya'/ oraet labora.

Perihal tidak adanya muncul penulis kaum muda dari Simalungun ?
Permasalahan yang dihadapi adalah 'tidak adanya appresiasi terhadap produk bangsa sendiri' dan penolakan2 lainnya yang mereka hadapi dan banyak penulis2 muda tetapi tidak mendapatkan dukungan dana dll atau pembaca maunya "gratisan/ utang bayar kaya" ... itu ciri budaya bangsa kita saat ini, mau diapain lagi) "tetaplah berkarya dan memberi" (berkat itu tidak datang dari manusia tetapi hanya menjadi perantara bukan ?), jangan meminta kembali apa yang sudah kita berikan (memang cukup sulit implementasinya) tetapi itu satu ungkapan yang dituntut dari kita.

Saya sering membaca ungkapan kenapa Pdt. J.Wismar Saragih bisa menjadi figur dan penulis yang handal dan kenapa era jubileum 100 thn gkps belum bermunculan figur penulis seperti beliau ? Kalau kita coba flash-back kemasa keemasan Pdt.J.Wismar Saragaih dapat kita bayangkan kondisi saat dulu dgn sekarang berbeda. Saat itu dizaman penjajahan Belanda dan kehadiran missionaris dari Jerman tentunya merupakan faktor pendukung (baik kesiapan dana dari keluarga ybs dll yang
sangat berarti) dan kita bandingkan dengan kondisi perekonomian serta cultur budaya yang sudah berbeda peradabannya.

Dahulu (saat saya masih sekolah minggu di Merek Raya kira-kira 21 km
dari pematang siantar menuju Raya/ 5 km sebelum Sondi Raya lokasi kerja yang anda impikan) melihat seorang pendeta atau datang kerumah rasanya ada kharisma yang kita lihat tetapi saat ini moral jemaat sudah berubah (terutama kita2 yang sudah jauh dari kampung halaman, tuntutan-tuntutan tentang pendeta harus begini, pendeta harus begitu
(harus pintar-lah) de-el-el... tetapi apa yang sudah kita bantu ?
Saya cukup prihatin dimana (kita ambil contoh) seorang calon pegawai yang baru tammat dari S1 atau D3 saja sudah mendapatkan penghasilan minimum satu setengah juta kita bandingkan dengan pendapatan pendeta kita yang nota benenya masih dibawah UMP.

Jangankan untuk menulis, beli buku2 sebagai pendukung referensi khotbah saja masih kesulitan. Kita coba bandingkan jemaat mula2 (ceker ayam kegereja diera Pdt. J.Wismar Saragih) dan kita bandingkan bagaimana jemaat GKPS yang ada saat ini kendaraan bmw, jaguar (produk2 masa kini) terjejer dibarisan parkir utama gereja ? Harta dan kemewahan itu memang untuk dinikmati (itu merupakan berkat dari Tuhan untuk kita optimalkan ... terserah yang punya dong hehehe) nah bagaimana kalau seorang pendeta tidak sependapat dengan para empunya kekayaan duniawi tersebut (pendeta tersebut bisa ditolak/ dikucilkan atau tidak dianggap). Ini salah satu contoh 'budaya
kebiasaan dimasyarakat' dibawa-bawa dalam kehidupan gerejawi ?

perlu kita transformasi.... uhhh sedikit melankolis. Saya punya usul buat St.Jainuddin Saragih dapat disampaikan ke bapa Bungaran Saragih, bagaimana kita mengumpulkan kantong dana untuk menambah kesejahteraan para pendeta, bibelvrow apalagi proyek 'juma bolag kelapa sawit' belum optimal untuk mendukung dana di GKPS sehingga rasa rindu beribadah di GKPS bisa menjadi alternatif baru bagai kaum muda di perantawan. Namun, benar itu tidak mutlak buat orang lain karena 'duit do namangatur negara on' lain halnya kalau 'Waktu adalah merupakan barang mewah' buat kita dan kita semua bisa
sejalan 'bergandengan tangan saling menolong dan tentunya Pematang
Raya tidak hanya menjadi ibu kota kabupaten tapi menjadi titik tolak
bangkitnya kejayaan ketanah Simalungun diera Jubileum 100 tahun di GKPS.

Menjadi tuan dinegri sendiri.

Untuk menjadi penulis yang handal dari Simalungun, CP dituntut utk mengetahui bagaimana budaya dan bahasa Simalungun itu (tidak cukup cantik rupa tapi juga cantik hati (hidup rendah hati bo...) dan akan lebih maju apabila didampingi (dapat berkolaborasi) dengan para penulis yang sudah senior seperti St. Mansen Purba (sekretaris JB100GKPS di depan kantor pusat GKPS Pematang siantar), St. Jannerson
Girsang dan para partua maujana di Simalungun (saya yakin CP sudah memiliki bekal dan persiapan untuk itu).... ingat tantangan/ hambatan dapat kita pecahkan melalui penyertaanNya. Semoga kreatifitas CP diorganisasi Ornop, LSM, Panrahut dll akan berbuah baik buat orang lain (khususnya disekitarmu) dan idealismenya serta hidup rendah hati tetap dipertahankan dan salam buat team Panrahut.

Our Lord's plans was un-perdictable, do His order (share your
happiness to others) and alwasy creative and productive in this
milis.




Good luck/ jrs.

Note : buat rekan2 milis, email ini bersifat menanggapi wacana rekan
CP (bukan japri) sorry kalau tidak berkenan.




Horas Jubileum,
Hati saya mulai berdebar, menantikan realisasi usulan Alof dan Pardo. Jika
tidak ada batasan umur, saya mau ikutan. Terutama karena motivasinya ingin
ikut heja J-100.
Seandainya sekarang tidak ada penerbit yang tertarik, siapa tau pada J-200
nanti ada yang menerbitkan.
Sekedar informasi, Panitia Bidang Sejarah J-100 yang diketuai Martin Lukito
akan menerbitkan sejarah 100 thn Injil di Simalungun berjudul “Tole, den
Timoerlanden das Evangelium”. (saya sudah usul agar judul diubah, karena
Tole, ....dst hanya cocok utk sejarah penginjilan sd 1928 yang berciri
tobanisasi, tidak mencakup periode 1928-2003 yang berciri ibotoh Naibata do
hape marsahap Simalungun, lang hape halak Toba Naibata).
Selain sejarah, mereka juga tampaknya akan menerbitkan Bunga Rampai 100
Tahun Injil di Simalungun, tetapi isinya tentang Seksi-Seksi dan Badan-Badan
yang ada di GKPS.
Panitia Perayaan di Psiantar juga sedang mengadakan penelitian tentang
Pengaruh Injil terhadap Kebudayaan Simalungun, yang konon akan diterbitkan
juga dalam rangka J-100. Timnya melibatkan beberapa Pastor dari Seminari
yang di Sinaksak.
Untuk Bunga Rampainya parmilis ini, tulisan Alof (tentang “permainan
playstation” dan “nasib Kristen dan non Kristen”; maaf, judulnya kagak pas)
diharapkan dapat diloloskan oleh SC untuk masuk. Mungkin soal politik CP dkk
juga.
Diatei tupa ma. (terjemahannya: Syukur Alhamdulilah, Puji Tuhan; maklum,
dalam Bahasa Simalungun tidak ada sinonim terima kasih, karena memang tidak tebiasa minta-minta).
mp.

No comments:

Post a Comment