Tuesday 19 July 2011

DALIHAN NA TOLU

A.Pengertian Dalihan Na Tolu

Dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu. Na artinya yang, Tolu artinya tiga. Dalihan Na Tolu artinya tiang tiga tungku. Dalihan dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi bulat panjang, ujungnya yang satu agak tumpul dan ujung yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, kakinya lebih kurang 10 cm, panjangnya lebih kurang 30 cm dan diameter lebih kurang 12 cm.
Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.
Tidak selamanya periuk atau belanga sebagai alat tempat memasak cocok di atas tungku, mungkin alat masak terlalu kecil. Supaya alat masak tidak lolos atau jatuh harus dibantu dengan batu-batu kecil yang pipih yang cocok untuk dalihan sehingga alat masak dapat ditempatkan kokoh. Batu pembantu demikian disebut sihal-sihal.
Tungku yang terbuat dari batu tidak selamanya disebut dalihan. Misalnya dua batu diatasnya dibuat dua besi sejajar dan dipakai sebagai tungku untuk memasak, tungku yang demikian tidak boleh disebut dalihan. Jelasnya semua tungku yang dibuat dari batu, seperti tungku-tungku alat modern atau keluaran pabrik, tidak boleh dinamai dalihan.
Dalihan Na Tolu bukan sekedar tungku nan tiga untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Istilah dalihan bagi sub-sub Suku Batak (Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pak-pak, Batak Angkola) tidak sama tetapi prinsipnya adalah sama. Misalnya Batak Karo dan Pak-Pak Dairi adalah daliken, sedangkan bagi Batak Toba, Batak Simalungun, Angkola Padang Lawas, Sipirok Mandailing istilahnya adalah dalihan.
Sistem kekerabatan Suku Batak dan pandangan hidupnya diibaratkan sama dengan Dalihan Na Tolu ini. Suhut, Hula-hula dan boru masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab pada kedudukannya pada suatu saat. Pada suatu saat kejadian, seseorang dikatakan boru tetapi pada kejadian lain ia dapat menjadi suhut atau hula-hula. Tergantung pada saat kejadian, yang penting diingat adalah siapa yang menjadi pusat kejadian.
Kedudukan masing-masing elemen sama seperti Dalihan Na Tolu. Kedudukan boru bukan lebih rendah dari hula-hula. Dan hula-hula tidak sewenang-wenang memerintah pihak boru.Yang paling pokok adalah hikmah kewajiban dalam hubungan kegiatan tadi. Orang mengambil satu rumusan hikmat hubungan kegiatan tadi yaitu hula-hula hendaklah elek marboru
Perbuatan hula-hula tersebut harus dipandang hormat oleh boru, sebab itu setiap boru dalam hikmatnya harus selalu somba marhula-hula. Sedangkan pusat kejadian yaitu suhut dengan teman semarganya disebut dongan tubu, hendaklah manat mardongan tubu maksudnya agar sesama semarga hendaklah bersikap perhatian dan hati-hati terhadap terjadinya perpecahan.
Dengan merujuk contoh sederhana dari Dalihan Na Tolu ini, nenek moyang Suku Batak melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga tidak ada ubahnya seperti keadaaan Dalihan Na Tolu.Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kebutuhan manusia dan keluarga yang menjadi sumber perilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga unsur kekerabatan ibarat tiga tiang tungku yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dalam bentuk kerjasama atau sama-sama saling mendukung. Ketiga unsur yang berdiri sendiri ini tidak akan berarti jika tidak saling kerjasama dan saling menopang. Unsur pertama adalah suhut dengan saudara laki-laki (teman semarga) disebut dongan dongan tubu. Unsur kedua adalah keluarga saudara suhut yang perempuan disebut boru, dan unsur ketiga adalah saudara laki-laki dari istri suhut disebut hula-hula.
B.Dalihan Na Tolu Sistem Kemasyarakatan Suku Batak
Dalihan Na Tolu adalah nilai budaya, gagasan prima dari penciptanya yang menjadi sumber atau orientasi sikap dan tingkah laku Suku Batak dalam kehidupannya pada hubungan bersosial budaya. Dalam hubungan sosial budaya tersebut Dalihan Na Tolu itu adalah sistem kemasyarakatan Suku Batak atau dalam hubungannya yang lebih khusus disebut sistem kekerabatan Pengertian Dalihan Na Tolu itu bukan hanya sistem kekerabatan saja bagi Suku Batak malahan lebih jauh daripada itu.
Orang yang menjadi menjadi inti kegiatan atau penanggung utama horja/kegiatan dinamakan suhut. Suhut ini dengan saudara-saudaranya laki-laki seibu-seayah dinamai dongan sabutuha atau dongan tubu. Dalam perkembangan selanjutnya yang menjadi kelompok kekerabatan dongan sabutuha/dongan tubu ini adalah saudara-saudara laki-laki seayah, saudara-saudara laki-laki yang memiliki nenek moyang yang sama, saudara laki-laki semarga berdasarkan sistem keturunan kekeluargaan garis laki-laki atau patrilineal.
Tentu sekali si suhut tadi mempunyai istri. Orang tua dari pihak istri suhut atau mertua dari suhut dinamai hula-hula. Dalam hubungan yang lebih luas, saudara laki-laki semarga dari hula-hula berdasarkan sistem kekeluargaan patrilineal adalah menjadi hula-hula dari suhut.
Saudara perempuan suhut yang kawin dengan sesorang disebut dengan boru. Atau lebih jelasnya suami dari saudara perempuan suhut dinamai boru. Dalam hubungan lebih lanjut bahwa semua saudara-saudara laki-laki dari boru, kelompok kekerabatan dari boru, saudara laki-laki semarga dari boru menjadi boru dari suhut.
Demikianlah sistem kekerabatan Suku Batak berdasarkan Dalihan Natolu, tiga kelompok kekerabatan yaitu dongan tubu/dongan sabutuha, hula-hula, boru yang berkaitan dalam usaha melaksanakan kegiatan. Segala kegiatan masyarakat Batak dalam hubungan sosial budaya baru dikatakan sempurna apabila talah didukung ketiga kelompok kekerabatan tadi, ibarat tiga dalihan tungku tempat memasak.
Supaya periuk atau belanga itu dapat ditempatkan setimbang pada dalihan maka tungku itu harus dibantu dengan batu lain sebagai penyela atau didampingi batu lain untuk menambah kekuatan tungku untuk menahan periuk atau belanga. Batu pembantu tungku tadi disebut sihal-sihal dan di dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu itu disebut ale-ale atau sahabat. Ale-ale ini pengertiannya sangat luas karena di dalamnya terdapat sistem kekerabatan rantai berkait dalam sistem kekeluargaan.
Semua kelompok dalam sistem Dalihan Na tolu tersebut mempunyai kewajiban masing-masing. Kelompok kekerabatan namardongan tubu berkewajiban untuk memberitahukan masalahnya atau suatu kegiatan kepada saudara-saudara seayah, senenek moyang, dan semarganya apabila ada masalah atau kegiatan. Dan saudara-saudaranya tadi merasa berkewajiban membantu secara material, moral, dan spiritual sehingga kegiatan itu dapat dilaksanakan dengan teratur dan lancar serta dapat menyelesaikan setiap masalah yang timbul.
Hula-hula merasa berhak dihormati dan bekewajiban memberikan restu atas penghormatan itu. Hula-hula juga merasa berkewajiban memberikan bimbingan, pengarahan, nasihat. Bimbingan dan nasehat dari hula-hula sangat mengikat karena ia merupakan wakil Tuhan di dalam keluarga itu. Disamping itu hula-hula juga turut membantu suhut dengan material maupun spiritual apabila ada masalah. Jika ada perselisihan dalam kekerabatan keluarga maka hula-hula merasa berkewajiban mendamaikannya.
Boru merasa berhak untuk dibujuk secara persuasif. Kewajibannya sangat berat. Apabila terdapat suatu kegiatan maka borulah yang bertanggung jawab penuh akan keamanan dan terselenggaranya kegiatan tersebut. Disamping kegiatan yang sangat berat, boru juga membrikan bantuan spritual, sebab itulah hati boru tetap dibujuk.
Dapatlah dikatakan jika dongan tubu membuat rencana dan program, maka borulah sebagai pelaksana program tadi dan hula-hula sebagai penasehat dan pembimbing, baik sebelum pekerjaan dilaksanakan maupun waktu pekerjaan itu dann setelah selesai tetap diadakan musyawarah antara tiga kelompok kekerabatan tersebut
Diposting di milis Generasi Batak] oleh Erikson Simanjorang [ericsson@s.ee.itb.ac.id]






Komentar Saya :

Pengertian Dalihan Natolu secara letterlijk adalah satuan tungku tempat memasak
yang terdiri dari tiga batu. Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak
di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam
bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal
dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.
Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut
kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal.
Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya,
maka siap untuk memasak.
Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolo
sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah
dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.

Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ? dari umpasa
di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba
marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma
adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman
dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai
meninggal dunia.


Somba marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu,
yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak.
Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak
lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan
saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak
merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di
pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang
diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau
mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang
datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki
dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri
yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya
diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua
(meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan
dipanggil satu-persatu, antara lain :
Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan
hula-hula.
Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam
masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya
sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan
busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak
menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu
wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula.
Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari
nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan
diberikan untuk diolah boru yang tidak mnghormati hula-hula (baca elek marboru)

Dalam budaya Batak, ada umpasa Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan. Hal ini
terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup.
Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau
menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga
pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk
menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk
memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak
hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak
hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi
kesalahan itu.

Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada
ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan,
hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila
falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati
keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau
menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.

No comments:

Post a Comment