Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pada abad 18 hiduplah seorang pria bernama Jamta Simarmata di Liang Nangka suatu kampung di pedalaman pulau Samosir, yang berdekatan dengan kampung Pardosi. Jamta adalah seorang anak petualang yang kerap melakukan pengembaraan hingga pergi jauh meninggalkan kampung halamannya. Ketika berusia remaja tibalah ia di daerah Tapanuli Selatan, saat berada di sana pada suatu hari ia bertemu dengan seorang pedagang kain yang berasal dari Malaysia bernama Ibrahim, lalu ia merasa tertarik dengan pedagang itu, lantas ia memutuskan untuk mengikutinya dan menjadi pembantu menjajakan kain milik si pedagang.
Kedekatannya dengan pedagang itu akhirnya membawanya sampai ke negeri Malaysia. Sesampainya di sana ia kemudian diangkat sebagai anak angkat olehnya dan diajak menganut agama Islam, tidak hanya itu oleh si pedagang namanya pun diubah menjadi Jamta Malayu serta tidak melekatkan marga. Setelah beberapa tahun bermukim di Malaysia, ia melihat banyak masyarakat yang sudah menunaikan ibadah haji, lantas ia pun berniat untuk mengikuti jejak mereka. Untuk mewujudkan hal itu, ia kemudian terpikir untuk meminta harta pusaka dari orang tua kandungnya, Jamta lalu memutuskan kembali ke kampung halamannya di Liang Nangka, Samosir. Setibanya di sana dengan rasa haru dan bahagia kehadirannya disambut oleh segenap keluarga dan sanak familinya, betapa tidak, anak yang sudah lama menghilang kini muncul kembali dalam keadaan sehat dan sudah tumbuh dewasa. Di sela-sela merayakan kehadirannya, Jamta pun menceritakan seluruh pengalaman yang telah ia jalani serta niatnya ingin meminta bagian dari harta pusaka, permintaannya itu ternyata tidak diperkenankan oleh orang tuanya demikian juga sanak famili yang lain, pupuslah harapannya untuk menunaikan haji. Keengganan mereka untuk memenuhi permintaan si Jamta karena ia sudah memeluk agama Islam, sementara kala itu pihak keluarga masih berpegang teguh dengan agama leluhur (parbegu). Sesuai dengan adat yang berlaku saat itu, setiap orang yang sudah menjadi Malayu tidak berhak mendapat harta pusaka, namun pengakuan sebagai bagian dari keluarga tidak bisa dihilangkan. Nama Jamta dalam silsilah keluarga tetap dicantumkan, namun telah tertulis sebagai Jamta Malayu.
Tidak sanggup menghadapi perlakuan mereka, Jamta lalu memutuskan untuk pergi merantau, dengan menyusuri Danau Toba masuk hutan ke luar hutan hingga akhirnya sampai ke Tebing Tinggi melalui sungai Bah Bolon (Sei Padang), ia lalu meneruskan perjalanan sampai ke pedalaman Simalungun dan bertemu suatu kampung bernama Nagur Usang (Kampung Muslimin sekarang) dan bermukim di sana, ia lalu menyesuaikan diri dengan penduduk setempat dan beralih marga menjadi Saragih Simarmata. Populasi penduduk di pemukiman barunya ini kala itu masih sedikit, sehingga kesempatan untuk membuka areal perladangan luas masih berpeluang besar. Di tempat itu, ia lalu bercocok tanam padi, dengan tekun ia merawat tanaman padinya hingga tumbuh subur. Pada suatu hari terjadilah musibah di mana seluruh tanaman padi yang dimiliki oleh para penduduk diserang hama babi hutan (parhuta: rotton), namun anehnya padi milik Jamta tidak mendapat ancaman dari hama tersebut. Melihat itu para penduduk lalu berduyun-duyun mendatanginya, karena padi mereka sudah habis dimakan babi hutan, lantas mereka memohon agar Jamta bersedia memberikan sebagian tanahnya untuk mereka garap dan hasilnya nanti akan dibagi sesuai dengan ketentuan (marbolahan), sistem pembagian hasil dalam bentuk parohan yang berlaku kala itu, 10 untuk si empunya (ompungan) dan 2 bagi para penggarap (parbolahan). Jamta mengabulkan permohonan mereka, namun dengan syarat mereka harus menganut agama Islam. Mereka pun menyetujui persyaratan yang Jamta ajukan, lantas seluruh masyarakat di kampung itu masuk agama Islam.
Sesuai dengan marganya Simarmata, Jamta memiliki keahlian melihat sesuatu yang bersifat gaib (lobih panonggor). Nama Simarmata yang disembunyikannya ke dalam marga Saragih perlahan berubah menjadi Siparmata (Penulis: marga sejenis juga ditemukan pada suku Karo, yang mereka sebut dengan Sigaramata yang berafiliasi ke dalam marga Ginting).
Setelah lama membujang Jamta pun menikah dengan seorang wanita boru Sinaga, dari hasil pernikahannya ia dikarunia beberapa orang anak, di antaranya ada yang bernama Sortia. Di kalangan masyarakat Sortia dikenal sebagai seorang yang memiliki seribu akal hingga raja pun sangat segan terhadapnya. Sama seperti ayahnya, ia juga memiliki kemampuan melihat sesuatu yang gaib, oleh karena keahlian yang dimilikinya banyak masyarakat yang meminta petuah dan petunjuk kepadanya. Sepeninggalnya oleh masyarakat makamnya kemudian dikeramatkan dan menjadi tumpuan para peziarah. Sortia mewariskan tanah seluas 35 hektar, ia memiliki 4 orang putra dan beberapa orang putri, keempat orang putranya ini bernama Mahmud, Undin (Sawaluddin), Makdin (Madil Saputra), Taya (Ahmad). Mahmud sendiri mempunyai anak bernama Bakhtiar.
Demikianlah sejarah munculnya marga Saragih Siparmata di Simalungun. Marga ini hanya ditemukan di wilayah Serdang, Padang dan Bedagai. Belakangan ini di kalangan masyarakat Simalungun juga ditemukan marga Saragih Simarmata. Nagur Usang tempat berdiamnya Jamta Malayu Saragih Siparmata kini masuk Kecamatan Tapian Dolog Kabupaten Simalungun. Kampung ini berdekatan dengan Nagur Raja, Nagur Bayu, Marubun, Sappang Buah, dan Huta Bayu, namun kelima kampung ini masuk ke dalam teritorial Kecamatan Sipispis Kabupaten Serdang Bedagai.
Tanggapan Rian Dasuha
Sepengetauan aku, gak ada Saragih Siparmata.
Bang Masrul Purba aku rasa kurang memahami.
Kebetulan dari nama-nama yang dibuat Abang, aku ada hubungan darah dari istri Tuan Sortia Saragih. Istrinya boru Purba dasuha. Aku cicit dari Tuan Bosar Purba dasuha, anak Tuan Bantali Purba dasuha. Buyutku adalah abang dari istri Tuan Sortia Saragih. salah seorang Kemenakan kandung Tuan Bantali Purba dasuha pernah menjadi Datu di Kerajaan Raya.
Aku juga sudah pernah berjarah/mengunjungi makam Tuan Bantali, tuan Sortia & makam istrinya serta Tanoh ni Moksa Tuan Jaamta Melayu Saragih.
Tuan Jaamta Melayu bermarga Saragih Garingging turunan Raja Bolon Saragih Garingging berarti putranya yang bernama Tuan Sortia bermarga Saragih Gaingging juga, tidak mungkin Saragih Simarmata ?!
Sejarah kata Permata (bukan Siparmata) adalah ketika Tuan Jaamta Melayu Saragih Garingging meninggal dunia. Ketika akan dimakamkan,ada kilauan permata pada tubuh Tuan Jaamta Melayu, konon jasatnya menghilang dan berubah menjadi Podang (piso, keris) yang sampai sekarang keris itu masi ada pada ahliwarisnya. Tuan Jaamta Melayu aslinya beasal dari Sondi Raya.
Tuan Sortia Saragih menggantikan ayahnya menjadi pejabat di kerajaan Raya. Pada waktu Raja Raya mempelajari ilmu pemerintahan ke kerajaan Padang di Baulian Tebingtinggi, Raja Raya turut membawa Tuan Sortia ke Kerajaan Padang di Baulian Tebingtinggi. Oleh Raja Padang, Tuan Sortia ditawari untuk menjadi Puanglima di Tebingtinggi. Atas pesetujuan Raja Raya Tuan Sortia merangkap jabatan tersebut.
Selanjutnya, bersama 15 orang Simalungun & 28 Jabolon orang china, Tuan Sortia diperintahkan raja raya untuk membuka lahan pekebunan di wilayah antara nagaraja atau nagurusang. Ditempat itu ditanam tembakau
Dari perkawinan Tuan Sortia Saragih dengan bou Purba dasuha,mereka dikaruniai 2 anak laki-laki (maaf kalau saya salah).
Memang bou Purba dasuha pernah menikah dengan Saragih Simarmata dan memperoleh 3 anak (1 perempuan), maaf kalau ini salah.
Anak-anak dari perkawinan bou Purba dasuha dengan Saragih Simarmata, kemudian juga diasuh Tuan Sortia Saragih setelah menikah dengan bou Purba dasuha.
Saya mempunyai Ranji Turunan nama-nama diatas, milik Bapak saya.
Inilah sebenar-benar sejarah. Semoga tidak ada lagi yang asal mengarang sejarah.
Diattei Tuppa
Andrean Purba Dasuha
nb. Info ini aku dapat langsung & dari Bapakku, Pak Anggiku & salah seorang cucu Tuan Bantali di Jakarta. Bapakku bersedia memberi penjelasan langsung dan membuka pintu selebar-lebarnya.
No comments:
Post a Comment