Tuesday 19 July 2011

RAJA SISINGAMANGARAJA & HINDUISME

Artikel ini semata hanya untuk menjawab keingintahuan dari pertanyaan ‘Mengapa Sisingamangaraja tidak makan B2?’, apa alasannya? kenapa? why ?
Patuan Bosar Sinambela atau Ompu Pulo Batu lahir di Bakkara, pada tahun 1849 dan ditabalkan menjadi Si Singamangaraja XII pada tahun 1875 di Bius Patane bale-Onan Balige, di Baligeraja. Sudah menjadi suatu kebiasaan turun-menurun bahwa siapa yang akan menjadi Sisingamangaraja selanjutnya harus menjalani beberapa ujian sebelum ditabalkan.

Ompu Pulo Batu dan abangnya Raja Pallupuk juga menjalani ujian tersebut untuk menggantikan ayah mereka Sisingamangaraja XI, O.Sohahuaon. Dari hasil pengujian tersebut maka diketahui bahwa Ompu Pulo Batu yang layak memangku gelar Sisingamangaraja XII setelah berhasil mencabut ‘Piso gaja dompak’ dari sarungnya sebagai syarat mutlak pemangku gelar Singamangaraja. Di samping ujian mencabut Piso gaja dompak ada juga pengujian lainnya yaitu mampu mendatangkan hujan, menjinakkan kuda ‘Sihapas pili’ dan syarat lainnya.
Gelar Singamangaraja, terdiri dari dua kata ’singa’ dan ‘mangaraja’, gelar ini disinyalir berasal dari bahasa Sanskrit yaitu dari kata Singha(singa=lion) dan Maharaja(Mangaraja= great king).
Gelar Singamangaraja atau ‘Priester Koning’(Raja Imam) ini meneruskan kebiasaan tradisi Imam pemimpin yang menurut sejarah sebelumnya dipegang oleh Raja Uti. Raja Uti yang dipercaya sebagai inkarnasi dari Mulajadi Nabolon(Tuhan Pencipta) telah memberikan kuasa dan otoritasnya kepada Singamangaraja I untuk meneruskan tradisi Raja Imam ini turun-menurun inter generasi. Raja Uti yang mewariskan dinasti Hatorusan di Barus juga telah mewariskan pusaka Singamangaraja seperti Piso gaja dompak, Piso pangabas, dll.
Barus yang oleh pedagang arab disebut ‘fansur’ dan ‘P’o-lu-shih’ pada literatur cina kuno jaman dinasti Liang(502-557), dan juga disebut ‘fanfur/fansur’ oleh Marco Polo pada abad ke 2, berada di pesisir barat pulau Sumatra ialah pelabuhan penting pada abad ke 7 s/d 12 dalam peta perdagangan di asia. Banyak pedagang dari India, Cina, Eropa dan Persia yang datang ke Barus untuk membeli Kemenyan(benzoin) dan Kapur barus(Champor).
Dan sejarah mencatat, ada sekitar 1500 pedagang Tamil yang pernah datang ke Barus untuk berdagang dan menetap disana. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti Tamil di Lobu tua. Seiring waktu dengan banyaknya pedagang Tamil yang pernah menetap di Barus, kelamaan mereka juga menularkan kepercayaan Hindunya kepada penduduk setempat.
Tidak dipungkiri bahwa kebudayaan Hindu telah meresap kedalam kebudayaan Batak, hal ini dipercaya dengan adanya pinjaman 300 kata yang berasal dari bahasa Sanskrit yang dipakai dalam beberapa aspek kebudayaan batak antara lain dalam hal astrologi, majik, kalender , ritual kuno dan juga pengobatan. Harry Parkin berpendapat bahwa teori dan praktek majik batak mempunyai banyak persamaan dengan tradisi kuno Hindu di India Selatan. Hal itu merupakan hasil kajian Harry Parkin, Pastor protestan yang tinggal dan belajar di India yang kemudian tertarik mempelajari kosmologi batak dan hasil kajiannya dibukukan dalam ‘Batak Fruit of Hindu Thought’, 1978.
Kebudayaan Hindu(india) yang tertular dan meresap kedalam Kebudayaan batak kuno ini dapat kita lihat dalam ritual persembahan ‘hoda debata’(kuda dewata). Dalam agama Vedisme/Brahmanisme persembahan ‘kuda dewata’ ini dikenal sebagai ritual ‘Ashvamedha’ (Sanskrit, ashva:horse, ashvamedha:”horse sacrifice”) yaitu salah satu ritual penting pada aliran kepercayaan vedisme, cikal bakal agama Hindu dan ritual Ashvamedha ini juga tertulis dalam kitab Mahabrata dan Ramayana.
Sedangkan dalam kepercayaan batak kuno ritual persembahan ‘hoda debata’ dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan warna kuda yang sudah ditetapkan yaitu Warna Putih(hoda Sihapas pili) dipersembahkan untuk Mulajadi Nabolon yang berinkarnasi kepada Raja Uti, warna Hitam(hoda Silintong) dipersembahkan untuk Batara Guru yang berinkarnasi kepada Sisingamangaraja dan terakhir warna belang coklat(hoda na bara) dipersembahkan kepada Soripada-Mangalabulan yang berinkarnasi kepada Sultan Barus/Raja Hatorusan.
Sisingamangaraja merupakan Inkarnasi Batara Guru.
Menurut cerita proses ajaib kelahiran Sisingamangaraja I bermula saat jatuhnya ‘jambu barus’ dari langit waktu Ibunya yaitu Siat Natundal istri dari Raja Bonanionan Sinambela, sedang mandi dan kemudian memakan buah tersebut. Lalu sebulan setelah kejadian itu maka mengandunglah Siat natundal tetapi sampai 3 tahun tidak kunjung lahir juga bayi dalam rahimnya. Kemudian hal ini membuat resah suaminya-Raja Bonanionan dan menanyakan keganjilan ini kepada Datu(Shaman), dan Datu itu berkata bahwa keanehan ini dikarenakan bahwa bayi yang dikandung istrinya itu ialah inkarnasi dari ‘Batara Guru’ dan Datu itu meramalkan bahwa bayi itu akan lahir pada tahun keempat.
Setelah 4 tahun kemudian lahirlah bayi tersebut dengan disertai oleh gemuruh halilintar, gempa bumi dan tanda-tanda keajaiban lainnya. Setelah bayi itu lahir, Sang ayah juga menerima Kitab Batara Guru dan didalam kitab itu disebutkan bahwa dia harus memanggil anaknya ‘Singamangaraja’. Dan sebab itu Singamangaraja I disebutkan sebagai ‘inkarnasi dari Batara Guru’ dan mempunyai kesaktian.
Disini kita lihat bahwa ‘Batara Guru’ juga merupakan peresapan kebudayaan Hindu yang masuk ke dalam kebudayaan batak kuno dan beberapa kerajaan di daerah sumatra, jawa dan bali. Batara Guru berasal dari bahasa Sanskrit yaitu dari kata ‘Batara’(Lord) dan ‘Guru’(Teacher).
Dalam Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa kelahiran Raja Hayam wuruk yang merupakan titisan dari ‘Batara Girinatha’(Batara Guru) mempunyai ciri yang sama dengan kelahiran Singamangaraja I yaitu dengan tanda disertai gempa bumi, gemuruh halilintar, hujan abu dan hal ini menjadi tanda bahwa Hayam Wuruk dipercaya sebagai inkarnasi dari Batara Girinatha(Lord of Mountain). Menurut Kepercayaan Hindu Batara Guru ialah nama lain/gelar untuk Dewa Shiva(Siwa) dan Hindu-jawa menyebutnya ‘Sang Hyang Batara Guru’.
Pengaruh kepercayaan hindu lainnya yang meresap kedalam kebudayaan batak kuno ialah tentang teori ‘Debata Natolu’ (Dewa 3 serangkai) yang dalam kepercayaan hindu disebut ‘Shivaitic Trimurti atau Maheshvaramurti’ yaitu terdiri dari ‘Batara Guru (Maheshvara, Shiva), Soripada (Shri pada, i.e. Vishnu) and Mangalabulan (Mahakala)’.
Beberapa asimilasi dari kepercayaan hindu yang kemudian diikuti oleh Singamangaraja ialah mengenai larangan memakan hewan babi pada saat melakukan ritual ‘hoda debata’ dan larangan Singamangaraja untuk memakan daging babi & anjing seperti halnya para Brahmana yang lebih banyak menjadi vegetarian
Sebagian Batak Scholar pernah berpendapat bahwa Singamangaraja tidak memakan hewan babi dikarenakan Beliau telah menjadi Muslim. Hal itu dikarenakan kedekatan hubungannya dengan Raja Aceh dan juga adanya aksara arab dalam Cap/stempel Singamangaraja. Walaupun ‘Teungku Aceh’ gelar untuk Singamangaraja, dekat dengan Raja Aceh tapi Beliau tidak menjadi Muslim dan mengenai aksara arab dalam stempel Singamangaraja ialah dikarenakan pada masa itu yang banyak dipakai ialah tulisan Jawi, oleh sebab itu Singamangaraja juga memakai aksara Jawi dalam stempelnya. (disarikan oleh: s.m.n)

No comments:

Post a Comment