Tuesday 19 July 2011

IDENTITAS BATAK

Umumnya orang Batak bercita-cita menyandang hamoraon, hagabeon, dan hasangapon (3H). Apabila ini disebut obsesi, sisi positipnya sangat dominan. Karena dengan prinsip pencapaian 3H itu, dapat memacu semangat hidup, berjuang meraihnya sedapat upaya.

Dua lagu yang sangat populer dan meresap dalam pribadi kebanyakan orang Batak, "Anakhonhi do hamoraon di ahu" dan "Marragam-ragam do sinta sinta", secara eksplisit (tegas) mencerminkan makna 3H tersebut. Lagu ini menggambarkan bahwa anak diinterpretasikan sebagai hamoraon (kekayaan). Sedangkan lagu yang satu lagi melukiskan bahwa di atas unsur-unsur yang tercakup dalam 3H itu, masih ada yang terpenting, yakni: holong (kasih). Meskipun makna yang terkandung dalam kedua lagu dimaksud, mengandung dua substansi yang berseberangan, tapi secara umum prinsip yang terkandung dalam syair kedua lagu klasik itu dominan mewarnai identitas habatahon (kepribadian orang Batak).

Di satu sisi, orang Batak terkenal sebagai etnis yang sangat menjunjung tinggi posisi anak (di sini kita tidak membedakan dulu anak lelaki atau anak perempuan), sebagai "kekayaan" yang primer. Untuk sang anak, orang Batak selalu siap "marjibaku" menyekolahkannya ke sekolah yang setinggi-tingginya. Sementara itu, orang Batak juga dikenal memiliki prinsip holong, baik itu dilihat dalam konteks agama Kristen yang menjadi anutan mayoritas suku ini, maupun dicermati dari sisi filosofi adat budayanya.
Semboyan tentang 3H itu secara tersirat, terkait dengan filosofi DNT (Dalihan Na Tolu). Kalau ingin "mamora" (kaya dalam arti luas) maka diisyaratkan "elek marboru", kalau mau "gabe", harus somba marhula-hula. Dan kalau mau "marsangap", hendaknya manat mardongan sabutuha. Pada prinsipnya, ketiga unsur itu saling berkaitan. Misalnya seseorang yang memililik hamoraon, tapi tidak marhagabeon, maka dia dinilai belum marhasangapon. Jadi seseorang yang hanya memiliki satu atau dua saja dari unsur itu, berarti belum sempurna menyandang 3H.

Drs. H.T. Simbolon seorang antropolog di Jakarta, dalam sebuah tulisannya di salah satu majalah (1991) menulis, bahwa dalam bahasa modern ungkapan Hamoraon, Hagabeon, Hasangopon, sudah mengalami distorsi, sering diterjemahkan secara telanjang.. Terjemahan Hamoraon, misalnya, ditafsirkan secara telanjang berwujud menjadi kesombongan, karena lebih menyangkut gengsi dan prestise dari sudut material ekonomi semata.

Padahal ungkapan 3H bermakna luhur. Terkait dengan jiwa, disiplin dan moral. Bukankah Hamoraon tambah Hagabeon sama dengan Hasangapon? Hamoraon dalam konteks Batak, tidak cuma materi ekonomi, tetapi utamanya anak (putra) dan boru (putri). Tidak hanya diukur dengan uang, sebab ungkapan itu sudah ada saat peradaban Batak belum mengenal uang, rupiah, atau dollar. Mereka yang pantas disebut Mamora, Gabe, dan Marsangap, dalam konteks filosofi Batak, adalah mereka yang terutama dipandang punya kepribadian luhur, tidak congkak, sombong atau teal. Keluhuran dimaksud adalah keluhuran yang "marsinondang". Maka sebenarnya ukuran bagi seseorang memiliki 3H, tidak sederhana. Kalau seseorang sudah mamora dalam harta benda, dan Gabe dari segi keturunan dan usaha, ia belum tentu Marsangap, bila lingkungan di sekitar menilainya tidak berbudi luhur dalam cakupan penampilan moral, kepribadian, dan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Catatan ini dikemukakan sebagai cermin bandingan dikaitkan dengan kemajuan jaman sekarang ini. Ketika situasi kehidupan semakin dicecoki beragam kemelut, ketika modernisasi menuntut banyak kebutuhan materi, dan ketika perilaku (moral) banyak orang menjurus pada pelecehan budi pekerti, apakah manusia (orang) Batak masih mampu berpegangan pada nilai-nilai klasik yang terkandung dalam 3H dimaksud? Apakah kita masih sanggup "mamora" di luar pengertian materialitas? Atau, dapatkah kita menyatakan diri "na sangap" (terhormat), di luar konsep Hasangapon yang mengisyaratkan nilai-nilai luhur moral seperti dipesankan filosofi Batak?
Para cendekiawan Batak sering melontarkan peringatan, bahwa modernisasi dengan segala dampaknya, sedikit banyaknya telah melunturkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah DNT. Ada sinyal mengisyaratkan upaya pencapaian terhadap 3H itu, sudah ke luar dari koridor DNT, ketika ungkapan "Pogos di arta alai mamora di pangalaho" tinggal hanya semacam slogan yang tak sesuai lagi dengan kemajuan jaman.

Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon, kini lebih dititikberatkan pada kepentingan yang lebih sempit, bersifat individual materialistik. Banyak orang di jaman ini, seperti terjerumus pada persaingan yang melunturkan nilai kebersamaan. Prinsip "ego" terasa mengemuka, seiring dengan makin kentalnya prinsip materialisme dan koncoisme di berbagai lapisan. Almarhum Jenderal TB Simatupang pernah mengingatkan, orang Batak jangan sampai kehilangan identitas yang akar budayanya Dalihan Na Tolu dan HOLONG sebagai jiwa religius yang sejak lama kita anut. Mungkin dari sudut itu pula kita melihat substansi yang melekat pada Salib Kasih di Siatas Barita (R-03)

No comments:

Post a Comment