Tuesday 19 July 2011

Huta Purba Desa Na Ualuh (Desa Purba Delapan Penjuru Angin)

Folklore "Habonaron do Bona"

PADA sebuah desa bernama Purba Desa na Ualuh yang terkenal sangat akur, subur tanahnya, berkembang biak segala ternaknya, kaya akan makanan, dan ramai penduduknya, bermukim seorang raja bernama Sang ni Alam. Putra sulungnya bernama Sang Majadi, putrinya bernama Sang Mainim, dan putra bungsunya bernama Satara Manggun.
Suatu hari, raja Sang ni Alam menganjurkan anaknya Sang Majadi pergi merantau untuk mencari rezeki demi kehidupannya kelak. Sang Majadi patuh, lalu berangkatlah ia naik sampan yang dibuat dari kayu losa menuju timur dengan membawa bekal di perjalanan. Si putra bungsu, Satara Manggun pun demikian halnya, berangkat menuju sebuah pulau yang subur serta banyak makanan dan pohon buah-buahan yang beraneka jenis. Jenis makanan lain pun banyak tumbuh di pulau itu.
Sesudah lama berselang, bahkan hampir lupa saking lamanya, datang orang memerangi Purba Desa na Ualuh, yakni dari desa Samidora (Samudra?). Raja Samidora mendapatkan tawanan seorang putri dari Purba Desa na Ualuh yakni Sang Mainim dan dibawa ke desa Samidora. Tinggallah Raja Purba Desa na Ualuh bersama permaisurinya.
Demikianlah keadaan tersebut berlangsung beberapa lama. Suatu ketika, terbersitlah keinginan Sang Majadi untuk menjenguk orang tuanya. Tibalah ia di sana dengan perasaan pilu menyaksikan keadaan Purba Desa na Ualuh yang sudah banyak berubah. Bangunan rumah banyak yang rusak, ternak orang tuanya dan juga penduduk pun sudah habis, rakyat sudah banyak pindah atau mengungsi, tercerai-berai karena takut akan serangan laskar Raja Samidora.
Tak lama kemudian, pulang pula Satara Manggun dari perantauan karena rindu kepada orang tuanya, Raja Purba Desa na Ualuh. Mereka berkumpul, berbincang, dan teringat kepada Sang Mainim, serta merencanakan sesuatu untuk memulihkan keadaan dan peristiwa yang telah menimpa Purba Desa na Ualuh. Sang ayah berkata kepada Sang Majadi, "Pergilah cari adikmu Sang Mainim ke desa Samidora. Katakan kepadanya bahwa ayah tak berada di Purba Desa na Ualuh lagi."
Berangkatlah Sang Majadi mencari adiknya ke desa Samidora untuk menyampaikan pesan ayah mereka. Adiknya menyambut dan memberi jawaban, "Jika demikian halnya, bawalah besi/raut ini. Besi ini berasal dari taji burung Nanggur Daha (garuda) yang bermukim di pusaran laut Samidora." Sang Majadi -- tanpa banyak cingcong -- menyambut baik usul Sang Mainim dan segera pamit. Setiba di Purba Desa na Ualuh, Sang Majadi langsung menemui ayahnya dan memberitahukan bahwa ia telah bertemu dengan Sang Mainim. Lalu diserahkannya besi/raut kiriman adiknya itu kepada ayah mereka, terasa terobatilah rindu dendamnya.
Tak lama kemudian, Sang Majadi bermohon kepada ayahnya untuk pergi memeriksa tanam-tanamannya di rantau. Ayahnya menyetujui dan berkata, "Jika demikian maksudmu, baiklah, pergilah bersama adikmu Satara Manggun. Bawalah raut ini dan selipkan di pinggangmu." Mereka berdua pun berangkatlah naik sampan yang dibuat dari kayu losa dengan dilengkapi bekal dalam perjalanan. Di tengah perjalanan menuju timur, tempat Sang Majadi, adiknya Satara Manggun mengajak abangnya singgah di Pulau Harangan untuk melihat tanaman di ladang dan rumah/jamburnya selama ini. Dari kejauhan, tampaklah jambur Satara Manggun dan benih sayur bayam yang ditaburkannya dulu telah tumbuh menghijau.
Tibalah mereka di jambur Satara Manggun dan Sang Majadi berucap, "Kita kesepian di sini, di tengah harangan (hutan lebat) ini." Satara Manggun menyahut, "Orang tua kita pun kesepian juga di desa Purba Desa na Ualuh sana...." Lalu mereka berdua membangun jambur buat Sang Majadi di tempat itu. Sang Majadi berkata, "Kita buat atapnya dari bambu berbelah supaya tahan lama." Dan mereka pun bekerjalah. Tidak berapa lama terdengarlah kabar bahwa Sang Mainim telah datang menemui ayah mereka.
Sang Mainim mengusulkan kepada ayahnya, "Jika Raja Samidora datang mencari saya dan bertanya kepada Ayah, katakan saja bahwa saya sedang pergi menemui kakak ke Pulau Harangan Lungun." Tidak berapa lama sesudah pertemuan Sang Mainim dengan ayahnya, datanglah Raja Samidora mencari Sang Mainim ke Purba Desa na Ualuh. Pesan Sang Mainim disampaikan kepada Raja Samidora.
Raja Samidora lantas menjadi geram dan mendendam seraya berkata, "Jika sudah ketemu nanti, akan kubunuh Sang Mainim dan kakak-adiknya, tubuhnya kuberikan jadi makanan burung Nanggur Daha di pusaran laut Samidora." Sang Mainim bijak, dan terpikirlah olehnya sesuatu dan bertekad dalam hati, "Akan kubuntuti Raja Samidora untuk mengetahui apa yang akan diperbuatnya nanti kepada saudaraku."
Sesampainya Raja Samidora di Pulau Harangan Lungun, dari jauh dilihatnyalah rumah jambur Satara Manggun beratap bambu belah dan di sekitarnya tumbuh subur menghijau sayur bayam. Raja Samidora berteriak, "Itulah rumah jambur mereka. Akan kubunuh mereka dan kuberikan jadi makanan burung Nanggur Daha." Pasukan Raja Samidora bertambah dekat ke jambur Satara Manggun. Setelah bertatap muka, dengan beringas serta bernada membentak dan menggertak Raja Samidora berkata kepada Satara Manggun dan Sang Majadi, "Di mana Sang Mainim kalian sembunyikan?!! Akan kubunuh kalian jika tidak kalian beritahukan!!!" Sang Majadi dan Satara Manggun menjawab, "Tidak ada di sini saudara kami Sang Mainim. Sepengetahuan kami, ia berada di desa Samidora." Menyangkal Raja Samidora, "Menurut orangtua atau ayah kalian, ia ada bersama kalian di Pulau Lungun ini." Pertengkaran terjadi dan berlanjut dengan perang tanding dua lawan satu, masing-masing dengan kelihaian berpencak silat. Sementara itu, rombongan Raja Samidora menyaksikan dengan waspada.
Tanpa diduga, Sang Mainim maju menangkap, mendekap, dan memeluk kaki Raja Samidora dari belakang. Tiba-tiba menderulah guruh 3 kali, menukiklah burung garuda. Saat itu pula, hari menjadi gelap menyerupai mendung karena lebarnya sayap burung itu, sehingga pertarungan terpaksa berhenti. Hinggaplah burung itu pada sebuah bukit yang tinggi dan Raja Samidora merasa heran dan menatap ke bukit itu.
Tiba-tiba terdengarlah bunyi membahana memekakkan telinga:
Uti-utian ma simpouni guna-guna berupa andalan
Bulung-bulung do hosaya hosaya sejenis dedaunan
Hata-hata do tabas kata-kata membentuk mantera
Manumpak do simagot jika arwah leluhur memberi berkat
Lapung boi do jadi boras padi hampa pun dapat menjadi beras
Petir sambung-menyambung sembari terdengar suara penuh wibawa dari bukit: "Habonaron do Bona -- Habonaron do Bona -- Habonaron do Bona."
Burung garuda itu pun menerkam Raja Samidora, dijepitnya dengan kukunya, dan dibenamkannya ke rawa-rawa. Tinggallah rombongan Raja Samidora jadi teman Satara Manggun di Pulau Harangan Lungun, tapi Sang Majadi dan Sang Mainim pulang naik sampan menuju Purba Desa na Ualuh.
Sepeninggal Sang Majadi dan Sang Mainim, Satara Manggun dan teman-temannya mantan pasukan Raja Samidora dengan rajin membuka areal perladangan. Berkembang biak pula ternak mereka, mereka hidup rukun berbahagia, berdatangan pula orang dan bermukim bersama Satara Manggun. Tambah ramai dan bertambah makmurlah Pulau Harapan Lungun.

No comments:

Post a Comment