Tuesday 19 July 2011

AKAR KETERPURUKAN SIMALUNGUN DARI PERSPEKTIF HISTORIS

Oleh: Pdt. Juandaha Raya Purba Dasoeha, STh

Dalam suatu perbincangan, seorang Bapak, katakanlah yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, mengatakan kalau Simalungun adalah bangsa yang besar, lalu saya katakan, Simalungun bukan besar tetapi kecil, bahkan saking kecilnya, orang di luar Simalungun, tidak kenal apa itu “Simalungun¨. Bapak itu, marah-marah dan mengatakan, kalau saya sebagai pendeta tidak peduli dengan Simalungun, malahan bukan membesarkan Simalungun, melainkan sebaliknya makin mengecilkan Simalungun. Ai, na sonaha do nasiam pandita namaposo sonari on, lang dong be huidah parduli nasiam bani Simalungun on…?

Saya senyum-senyum saja, berat rasanya mengatakan kepada Bapak itu, bahwa realitas Simalungun yang kecil itu tidak dapat dipungkiri, lihat saja kompleksnya permasalahan yang muncul di Tanoh Simalungun sekarang ini. Mulai dari jalan-jalan yang rusak, sampai pembangunan yang berorientasi pada kepentingan simbolik yang mengabaikan masalah perut sebagian besar warga Simalungun yang hidup di tengah himpitan kemiskinan dan keterpurukan, khususnya di huta-huta sana.

Dan yang tak kalah serunya, sekarang ini ada inisiatif orang pendatang di Simalungun yang hendak membagi-bagi Kabupaten Simalungun menjadi tiga Kabupaten, dengan menyisakan satu Kabupaten Simalungun di enclave etnis Simalungun mulai dari Kec. Raya, Purba, Silimakuta, Dolog Silou dan Raya Kahean, sedang yang dua lagi diberi
nama Kabupaten Nusantara dan Dano Toba yang rasanya cukup nasionalis dan lintas etnis, bukan ? Belum lagi, kabar-kabarnya (gan baritani), pejabat-pejabat dari etnis Simalungun banyak yang digusur dari kursi kebesarannya di Kantor Bupati Simalungun dan serta merta digantikan pejabat-pejabat dari etnis lain dan saking nasionalisnya Simalungun, ada pejabat yang diimpor dari luar Kabupaten Simalungun. Dan hebatnya lagi, karena begitu nasionalisnya orang Simalungun, sampai-sampai banyak orang Simalungun, khususnya di kota-kota di luar homeland etnis Simalungun yang sudah salih
berpredikat baru sebagai orang nasionalis dengan menjadi orang Indonesia, Betawi, Melayu, Batak Toba, Karo, Cina dan suku bangsa/kultur suku bangsa lain yang konon (gan), lebih keren dan modis ketimbang bahasa, suku bangsa dan kultur halak Simalungun yang konon, katanya sudah ¡§ketinggalan zaman¡¨ dan tak layak jual di dunia
modern sekarang ini.

Setuju atau tidak setuju, realita keetnisan Simalungun sekarang ini, makin menunjukan ketidakeksisannya dan mudah-mudahan saja tidak keburu segera menjadi ¡§almarhum¡¨ di tengah maraknya tuntutan otonomi dan kekhasan kulutal daerah-daerah di era otonomi daerah dan reformasi ini. Kita lihat saja, apakah masih ada orang-orang
Simalungun seperti Brigjen (Purn) Radjamin Purba, Tuan Madja Purba, Haji Ulakma Sinaga, Pdt. J. Wismar Saragih, Guru Jason Saragih, Brigjen (Purn) T.S. Mardjans Saragih, Brigjen (Purn) Lahiradja Munthe, Pdt. Jenus Purbasiboro, dr. Djasamen Soembajak, Pangoeloe Balei Djaoedin Saragih dan tokoh-tokoh Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen (1928) yang tanpa pamrih memperjuangkan Simalungun menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Dalam tesis yang dikemukakan Prof. Dr. Bintan Regen Saragih yang ayahnya Pdt. Williamer Saragih dibunuh PRRI di Sibuntuon tahun 1960, dijelaskan paling tidak ada enam penyebab kelambanan pergerakan kemajuan sosial-politik, religius dan ekonomis orang Simalungun (khususnya GKPS).

• Pertama, Perang Dunia Kedua, yang mengakibatkan lambannya perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi dan sedikitnya informasi dan bantuan ke Simalungun.

• Kedua, Revolusi Sosial, 3 Maret 1946 yang meluluhlantakkan kebesaran Simalungun dengan pembunuhan kaum elitis-intelektual dan birokrat maupun aristokrat Simalungun perdana. Terbentuknya NST (Negara Sumatera Timur) dengan raja Tanah Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga dan Tuan Djomat Purba sebagai wali negara dan kepala kepolisian NST yang menegaskan realitas historis sifat provinsialisme orang Simalungun yang konon kurang berkenan di hati orang republik, sehingga Simalungun dicap bukan nasionalis sejati dan terkesan separatis.

• Ketiga, peristiwa PRRI, 1959-1961 yang memandekkan pembangunan golongan menengah di Simalungun.

• Keempat, peristiwa G 30-S/PKI, 1965 yang melumpuhkan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya (termasuk keagamaan) di seluruh Indonesia, termasuk Simalungun.

• Kelima, lambannya orang Simalungun (khususnya GKPS) menyikapi aliran Kharismatik dan aliran-aliran fundamentalisme Kristen yang berkembang subur saat ini yang lebih mengedepankan pertumbuhan iman dan mengabaikan kepedulian pada masalah-masalah krusial di tengah-tengah masyarakat. Semboyan Kristen, yes, partai Kristen, no, makin menjauhkan orang Kristen dari ruang-ruang politik di negeri ini, sehingga dikuatirkan kekristenan akan menjadi penonton di tengah percaturan politik di Indonesia (Ingat, lolosnya RUU Sisdiknas yang diskriminatif dan upaya intervensi negara yang terlalu jauh ke wilayah ¡§privat¡¨ Kristen di sekolah-sekolah, bukti lemahnya kredibilitas dan lobi politisi Kristen di parlemen).

• Keenam, Kelambanan orang Simalungun (khususnya GKPS) menghadapi derasnya arus golobalisasi dan teknologi informasi. Lihat saja di tanoh hasusuranta Simalungun sekarang ini, semakin banyak anak-anak dan pemuda Simalungun yang melalaikan kewajibannya menuntut ilmu dan menyerap teknologi sebagai bagian amal-ibadahnya. Banyak penyebabnya, mulai dari sikap tidak peduli, ekonomi yang seret, sampai orangtua yang lebih menganggap niombah sebagai asset tenaga kerja yang murah ketimbang diarahkan pada hal-hal yang bersifat membangun integritas dan masa depannya yang lebih baik, bukan saja pada keluarganya tetapi pada seluruh Simalungun.

Nah, inilah beberapa fenomena dan realitas yang terjadi di tengah-tengah Simalungun dewasa ini. Bagaimana orang Simalungun menyikapinya ? Eh, apakah kita yang membaca tulisan ini masih merasa sebagai halak Simalungun ? (Maksud saya pribadi yang marahap Simalungun dan concern dengan Simalungun ; bukan marga; marga bukan penentu mutlak beridentitas Simalungun, toh banyak juga orang yang bukan bermarga Sinaga, Damank, Purba, Saragih dan Sipayung yang lebih mahir dan konsekuen berbahasa, beradat dan berbudaya Simalungun di Tanah Jawa, Bandar dan Asahan sana). Kalau sudah bukan lagi Simalungun, saya sarankan abaikan saja tulisan ini, dan anggap ini hanya sebuah tulisan yang layak di buang ke tong sampah atau agar lebih sopan, dimasukkan ke arsip atau map worksheet Anda. Beres bukan ?

Penulis yang prihatin dengan makin banyaknya orang yang bangga dengan desimalungunisasi-nya atau mengaku halak Simalungun, tapi tidak ambil peduli dengan jeritan talunta Simalungun.

Horas, diatei
tupa. Salam Jubileum.

No comments:

Post a Comment