Thursday 21 July 2011

Resensi Buku (2)

GEREJA YANG LUKA DAN TAK MENYERAH
Sebuah kesaksian seorang pendeta tentang konflik HKBP
Oleh: Daniel T.A. Harahap


SINODE HKBP RUSUH
28 November 1992 malam. Sinode Godang HKBP rusuh dibawah pengawalan ketat polisi dan tentara. Aneh namun nyata. Sekelompok pendeta terus-menerus menginterupsi persidangan, berteriak-teriak tidak karuan, mengacung-acungkan tangan, serta menuding-nuding Eforus HKBP Ompu i Pdt DR Soritua Nababan.
Pendeta-pendeta tua terpaku diam di tempat duduknya seakan tak percaya akan apa yang sedang disaksikannya. Para penatua, anggota jemaat berhati awam,
menggigil dan gemetar. Sidang orang-orang kudus telah berubah menjadi kegaduhan dan kebencian. Para pendeta yang saban hari Minggu membuka kedua tangannya menyampaikan berkat kini berdiri mengepalkan tinjunya kepada Eforus, pemimpin gereja yang diaku dilantik dengan urapan Tuhan, jabatan yang sudah lebih seratus tahun dihormati sebagai pelindung spiritual dua juta umat Kristen-Batak di Indonesia dan dunia.
Beberapa orang pendeta muda nekad maju meringsek meja pimpinan. Seorang diantaranya mengangkat kursi sidang hendak melemparkan kursi itu bersama amarahnya yang tak terbendung. Polisi dan tentara berseragam yang mengelilingi ruangan sidang berdiri melipat tangan di dada. Sidang gereja itu benar-benar tidak terkendali. Kacau. Buntu. Sesuai rencana? Kapten Paris Ginting, perwira intel Kodim Tarutung, akhirnya menyuruh Eforus meninggalkan sinode, namun yang bersangkutan menyempatkan diri menskorsnya untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya, sebelum mengikuti perintah tentara meninggalkan kompleks Sipoholon. Lantas Komandan Korem Kawal Samudera Kolonel Daniel Toding pun mengambil-alih kepemimpinan sidang sinode HKBP, ditemani Sekjen Pdt OPT Simorangkir dan mengumumkan kepemimpinan gereja HKBP vakum.

PJS EFORUS BENTUKAN PEMERINTAH
Dua hari sebelum Natal, persisnya pada tanggal 23 Desember 1992, Ketua Bakorstanasda Sumatera bagian Utara yang sekaligus merupakan Pangdam Bukit Barisan Mayjend Pramono mengeluarkan Surat Keputusan mengangkat Pdt DR Sountilon Siahaan sebagai Pjs Eforus HKBP. Seminggu berikutnya, 30 Desember 1992, Mayjen Pramono melantik anggota Parhalado Pusat itu sebagai Pjs Eforus HKBP. Tugas pemimpin gereja bentukan lembaga tentara itu adalah mengadakan Sinode Istimewa. Dalihnya demi keamanan dan ketertiban, serta mengisi kekosongan. Gereja HKBP pun serta-merta terbelah dua. Sebagian jemaat menganggap SK Bakorstanasda itu bukan saja diperlukan untuk mengganti pemimpin gereja yang dianggap “lalim” tetapi juga merupakan suatu perintah yang tak terbantahkan. Sebab pada jaman itu kekuasaan pemerintah dianggap sama atau mirip dengan kekuasaan Tuhan.

Namun sebagian lagi justru menuding SK Ketua Bakorstanasda itu sebagai bentuk campur tangan negara ke dalam kehidupan agama. Ya, suatu arogansi kekuasaan negara yang dipertontonkan secara telanjang di depan rakyatnya. Di antara dua pendapat itu ada mayoritas jemaat yang diam membisu, menolak dalam hati namun tak berani menyatakan pendapatnya secara terbuka apalagi membelanya, atau sebaliknya tidak perduli dengan HKBP, atau malah tak tahu-menahu karena peristiwa itu berlangsung sangat jauh di kampung Tarutung.

Namun yang jelas HKBP yang merupakan gereja protestan terbesar di Asia Tenggara ini telah robek, suka atau tak suka, sengaja atau tak sengaja siapa.
MALAM INI SUNYI SEKALI

Medio Januari. Jam 1 dinihari sudah lewat. Berdua dengan Pdt Ben Parhusip, aku duduk di teras gereja HKBP Palembang. Satpam gereja kami sudah lama terlelap di posnya. Anjing-anjing milik Pdt Parhusip tidur-tiduran di tengah halaman gereja yang luas dan diterangi lampu merkuri. Aku merasa sunyi sekali. Kami sama-sama membisu.
”Abang pergi ke Sinode Istimewa?” tanyaku memecah sunyi.
Pdt Ben Parhusip lama tak menjawab. Aku pun kembali diam.
“Marsak hian rohangku” katanya lirih.
Aku menarik nafas panjang. Perasaanku juga sama gundahnya.
“Aku punya keluarga” katanya tiba-tiba hampir tak terdengar.
Aku menggigit bibir. Perasaanku pedih sekali mendengarnya. Aku merasakan ungkapan itu keluar dari hatinya yang paling dalam. Dia punya istri dan empat orang anak, yang paling kecil masih SD, yang harus diselamatkannya.
Tiba-tiba di kepalaku terbayang lagi pertemuan tadi siang. Aku diajak oleh Pdt Ben Parhusip dan Praeses Amir Hasan Silitonga memenuhi undangan Komandan Polisi Militer Kodam Sriwijaya Koonel Purba. Di Markasnya yang ada patung Gajah Mada di depannya, beliau menanyakan apakah kami para pendeta HKBP Palembang pergi ke Sinode Istimewa. Tiket sudah disiapkan katanya. Pdt Ben Parhusip menjawab santun Sinode Istimewa itu tidak sesuai dengan konstitusi HKBP. Sebab menurut konstitusi HKBP Eforus Soritua Nababan yang berhak mengundang Sinode Istimewa.

Komandan Pomdam lantas mengatakan berarti kami berbeda ide dengannya. Beliau mempersilahkan kami minum teh manis hangat yang telah disajikan, dan sesudahnya kami tak bicara banyak lagi. Basa-basi. Kemudian pamit. Di jalan aku mengatakan kepada kedua seniorku, “Bang, perasaanku kita sedang berhadapan dengan mesin perang Orde Baru. Tidak ada urusan Polisi Militer dengan Sinode Godang HKBP. Tapi kalau seorang Komandan Polisi Militer di Palembang sudah menyuruh kita pergi ke sinode, itu artinya ada perintah dari Jakarta.” Ah ngeri sekali. Aku tak sanggup membayangkan apa akibatnya jika kami coba-coba berhadapan dengan mesin perang yang sudah sangat teruji membunuh dan menghabisi lawan. Tapi sebaliknya, melawan nurani sendiri?
Aku takut. Hatiku sungguh-sungguh ciut. Kepalaku berkecamuk dengan bayang-bayang menakutkan. Penjara gelap dan dingin. Sel penuh nyamuk. Piring kaleng nasi basi dan kecoak. Sorot lampu interogasi. Jari kaki diinjak kursi. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dan mengingat-ingat Tuhan yang maha kuasa.
Tak pernah sepenuhnya berhasil. Aku bergidik membayangkan besi dingin menempel di kepalaku yang siap kapan saja menyalak membuat otakku terburai. Ah. Tidak. Tidak. Aku tidak kuat, Tuhan.

Namun dalam hatiku seniorku ini pastilah lebih takut lagi. Dia tidak sendiri tapi punya istri dan anak-anak yang juga harus diselamatkan. Aku lebih bebas sebab aku masih sendiri. Aku tak punya tanggungjawab kecuali diriku sendiri. Ya, aku bisa lari meninggalkan kependetaan ini. Tapi bagaimana dengan hati kecil ini? Entahlah. Aku benar-benar tak mengerti dan tak punya solusi.

Malam semakin sunyi. Jam dua dinihari. Aku melihat bayang-bayang di kejauhan. Rupanya istri Pdt Ben Parhusip datang. Aku biasa memanggilnya kakak. Dia seorang perempuan sederhana dan polos yang sangat mengagumkan. Rendah hati. Punya kepribadian sendiri. Empat ekor anjingnya mengikut dia mendekati kami. Na dison do hamu na dua (di sini rupanya kalian berdua), sapanya, kemudian duduk di pinggir ubin teras gereja bersama kami sampai jelang subuh.

SINODE ISTIMEWA
11-13 Januari 1993. Sinode Istimewa HKBP yang diprakarsai oleh pemerintah diadakan di Hotel “bintang lima” Tiara Medan. Pengundangnya Pjs Eforus Pdt SM Siahaan yang mendapat mandat dari Pangdam/ Ketua Bakorstanasda Pramono. Dananya aku tidak tahu dari mana. Sinode itu tentu saja aman-tenteram. Pada masa itu pemerintah terbiasa menggunakan “tangan besi” untuk menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Apalagi saat itu menjelang Sidang Umum MPR. Ya, masa itu Sidang umum MPR adalah sebuah even sakral yang sama sekali tidak boleh ternoda oleh gangguan keamanan sekecil apapun. Sebab itu sudah pasti tidak ada yang berani mengganggu-gugat Sinode Istimewa yang jelas-jelas diprakarsai oleh suatu lembaga super koordinasi keamanan yang sangat berkuku di negeri ini: Bakorstanasda. Dulu namanya: Kopkamtib. (Aku bahagia pada akhirnya HKBP Palembang dan Plaju serta Praeses Sumbasel mengambil keputusan untuk tidak menghadiri Sinode Istimewa di Hotel Tiara Medan.)

Sinode Istimewa pun menelurkan produknya yaitu kepemimpinan baru HKBP: Eforus Pdt DR PWT Simanjuntak dan Sekjen Pdt DR Sountilon Siahaan. Yang pertama aku tak pernah mengenalnya secara pribadi. Yang kuingat hanyalah sewaktu Rapat Pendeta lalu DR PWT Simanjuntak berdasi merah menyala, dengan kemeja putih dan celana hitam plus kaca mata gelap. Gagah. Katanya dia baru mendapat doktor dari Heidelberg Jerman. Yang kedua, juga tak kukenal secara pribadi walau aku lebih sering mendengar namanya disebut-sebut orang. Aku hanya sekali bertemu dengannya saat Rapat Persetia (Persatuan Sekolah Teologia Indonesia) di Salatiga, saat aku Ketua Senat Mahasiswa STT Jakarta. Kesanku pertama dia tinggi gagah seperti Belanda, necis tapi tak kehilangan aksen Bataknya, pintar namun agak emosional . Selebihnya aku tak tahu apa-apa.

Namun yang jelas Sinode Istimewa ini membuat aku merasa kependetaanku yang baru seumur jagung di HKBP sudah tidak berguna. Aku ingin angkat kaki saja pulang ke Jakarta. Semangatku jadi pendeta HKBP telah lenyap. Tak ada lagi kebanggaan. Yang ada dalam diriku hanyalah kemarahan seorang yang merasa dicurangi. Aku kalah telak.
(Saat awal perpecahan HKBP itu aku masih muda sekali. Umurku belum genap 30 tahun. Aku belum paham benar tentang hal-ikhwal hubungan gereja dan negara. Aku belum sepenuhnya mengerti bahwa gereja harus independen, mengambil jarak dari kekuasaan politik dan ekonomi, dan tidak boleh menjadi sub-ordinat atau perpanjangan tangan pemerintah atau lembaga dunia lainnya. Namun hati kecilku telah mengatakan campur tangan pemerintah ke dalam kehidupan gereja salah. Aku membayangkannya seperti ini: Ibu dan Ayah kami bertengkar. Ibu kami sangat dominan dan sering berkata kasar, sehingga ayahku sangat sakit hati dan merasa disingkirkan. Dia lantas memanggil Ketua RT membereskan keluarga kami. Alih-alih membereskan Pak RT malah memperkosa ibuku di depan mata anak-anaknya
kemudian mengusirnya dari rumah, dan ayahku ketawa-ketawa senang.)

SERAH TERIMA PRAESES.
Sinode Istimewa HKBP di Medan membentuk kepemimpinan gereja HKBP yang baru sebelum kepemimpinan yang lama berlalu. Inilah masalahnya. Dualisme kepemimpinan. Eforus baru mendapat dukungan penuh pemerintah, yang pada jaman itu nyata-nyata modal utama bagi organisasi atau lembaga apa saja yang ada di negeri ini termasuk gereja.
Sementara itu eforus lama mengklaim mendapat legitimasi konstitusi gereja dan hati nurani untuk bertahan dan meneruskan wewenangnya. Akibatnya sudah bisa diduga. Pendeta dan juga jemaat HKBP terbelah menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan dengan tangan terkepal.

Aku sadar betul, bagi dua pertiga pendeta HKBP Sinode Istimewa sudah final. Secara faktual dan juridis kepemimpinan HKBP sudah berganti. Sebab itu loyalitas pun harus ditunjukkan kepada Pimpinan HKBP yang baru. Lagi pula siapa yang berani menentang keputusan pemerintah? (tahun 1990-an kekuasaan Suharto sedang di puncak kejayaannya) . Tapi bagiku sendiri Sinode Istimewa tetap tidak absah. Aku tidak sanggup merumuskannya dengan jernih saat itu. Namun aku tidak bisa menerima pergantian yang dipaksakan ini apapun alasannya.

Terus terang, hatiku kurang suka gaya Eforus Nababan. Menurutku gayanya “angkuh” dan “kasar”, walaupun dia sangat berdisiplin dan brilyan serta penuh kharisma. Mungkin dia sudah terlalu lama di Eropah dan kehilangan psikologi Bataknya sehingga banyak sekali orang yang sakit hati kepadanya, bukan hanya pendeta tetapi juga elit-elit Batak anggota jemaat HKBP di Jakarta dan Medan, hanya karena persoalan-persoalan sepele yang sebetulnya tidak prinsipil. Tapi aku juga tidak setuju jika dia disingkirkan dengan meminjam tangan penguasa. Menurutku itu bukan saja tidak benar tetapi juga tidak baik dan tidak bertanggungjawab. (Di kemudian hari aku berpikir mungkin penguasa Orde Baru-lah yang meminjam tangan pendeta HKBP untuk menyingkirkan Eforus Nababan. Atau saling meminjam dan menunggang.)

Siang itu aku sengaja ke Kantor Praeses. Aku mendengar jadwal serah-terima dan pelantikan Praeses Sumbagsel sudah diedarkan oleh Kantor Pusat HKBP (dukungan pemerintah). Aku ingin tahu bagaimana sikap Praeses kami. Amang serah terima, tanyaku menyelidik. Praeses Amir Hasan Silitonga menjawab “beha bahenon”. Artinya apa boleh buat.

Wajahnya letih layu. Perasaanku bapakku ini tiba-tiba tampak tua sekali. Aku hanya bisa diam membisu. Namun hatiku protes kenapa orang tua ini mudah sekali menyerah. Kalah sebelum berjuang. Tapi aku ingat lagi omongan Pdt Ben Parhusip, “aku punya keluarga”. Ya terserahlah. Aku memang harus belajar menghormati keputusan Pdt Amir Hasan Silitonga, tapi perasaanku tetap bergejolak di dalam. Menurutku harusnya ada jalan lain bagi Praeses untuk melawan. Minimal membiarkan serah-terima sepihak untuk mengurangi legitimasi Praeses baru, dan memberi kami kesempatan melawan. Tapi itu tidak dilakukan dan aku tidak bisa bilang apa-apa. Alasannya jemaat nanti terpecah. Kubilang dalam hatiku HKBP memang sudah ibarat mangkok yang retak, tak bisa tidak, harus dibelah dulu baru bisa disatukan lagi.

Sabtu pagi sampai siang. Serah-terima jabatan Praeses tiba. Pagi-pagi aku mendengar bunyi sirene masuk ke halaman gereja. Sekjen pilihan Sinode Istimewa Pdt Sountilon Siahaan datang dengan pengawalan polisi. Aku meringkuk berselimut di tempat tidurku. Hatiku sudah kukeraskan tak mau hadir. Pikirku aku tidak punya urusan di sana. Memakai bahasa jaman sekarang: emangnya gua pikirin. Namun jelang siang aku keluar rumah dan mengintip dari jauh saja mencoba mengenali siapa saja pendeta dan jemaat yang hadir di sana.

KRANS DUKA DI SALIB ALTAR
Ini hari Sabtu. Naposobulung seperti biasa sangat ramai di gereja. Mereka bertanya sikapku tentang Praeses baru yang akan dilantik besok. Kukatakan aku tidak setuju Sinode Istimewa dan semua produk yang dihasilkannya. Tapi aku mengaku tidak punya kekuatan. Mereka bertanya bagaimana kalau aku dipecat? Ya, apa boleh buat kataku. Itu resiko. Paling-paling akan kembali ke Jakarta bergabung dengan abang-abangku belajar jadi penerbit buku. Atau jualan buah dan bunga, kataku sambil ketawa meringis. (menjual buah dan bunga adalah cita-citaku yang kedua setelah pendeta). Banyak naposo menyayangkan sikapku yang menurut mereka terlalu berani menentang arus, lebih parah lagi suatu langkah bunuh diri. Namun beberapa orang terang-terangan memujiku dan berjanji mendukungku. Aku merasa dikuatkan.

Sabtu sore itu beberapa orang aktivis naposo kumpul di rumahku, yang lain bermain di sekertariat naposo dan di halaman gereja. Naposo harus melakukan sesuatu sebagai protes. Ya, naposo harus melawan. Aku tidak tahu dari mana asal ide perlawanan itu. Tapi yang jelas aku sangat setuju. Bagaimana caranya? Besok hari Minggu saat pelantikan praeses naposobulung boikot menyanyi. Pake baju hitam. Demo pake poster. Gembosi ban mobil. Dan banyak ide gila lain yang aku sendiri tak yakin mereka akan berani mewujudkannya. Tapi tiba-tiba aku mendapat ide. Kita naikkan saja krans bunga duka ke salib di altar gereja!. Itu menunjukkan bahwa kita sedang berduka dengan keadaan gereja HKBP.

Kawan-kawanku setuju dan menganggap itu ide menarik. Cabe rawit. Kecil tapi menggigit. Namun selain menaikkan bunga ke salib mereka sepakat mengkampanyekan agar semua naposo besok ke gereja mengenakan pakaian hitam. Lantas kami pun pergi dengan mobil Marolop ke Toko Bunga di Jalan Bangau. Dia kawan karibku sejak SMP di Medan, kami berjumpa lagi di Palembang. Namun menunggu malam, krans besar dengan pita ungu bertuliskan “turut berdukacita” itu disimpan di dapur rumahku.

Malamnya Naposo latihan koor. Hanya enam orang yang tahu rencana kami. Johari Simanjuntak, ketua naposo, kebetulan kerja di Suara Pembaruan, lantas pura-pura sibuk menyetel mobil pikup kantornya persis di depan pos satpam. Maksudnya agar menghalangi pandangan satpam ke tangga gereja. Aku diam-diam mematikan lampu halaman. Robert dan Marolop pun mengendap-endap naik ke gereja yang terletak di lantai dua. Aku menunggu di belakang gereja dekat tempat pembuatan peti mati yang persis depan rumahku. Marolop pun mengulur tali lewat jendela yang langsung kusambut dan kuikatkan ke bunga itu. Lantas bunga duka itu pun dikerek perlahan dalam gelap diiringi detak jantung. Namun aku senyum sendiri membayangkan suasana heboh yang besok bakal terjadi. Setelah bunga hilang dari pandangan, aku pun pindah lagi ke depan gereja berlagak tak ada masalah. Ya, memang tak ada masalah.

Jam 12 malam. Kompleks gereja HKBP Palembang sudah sepi. Aku baru saja hendak jatuh tidur. Tiba-tiba aku mendengar pintu rumahku diketuk. Rusdi Ritonga dan Robert Simanjuntak datang. Muka mereka tegang. Keadaan gawat! Lapor mereka dengan muka tegang. Apanya yang gawat, tanyaku. Polisi berjaga-jaga di luar. Mobil patroli terus-menerus keliling. Pihak keamanan rupanya sudah mencium naposo mau bikin gerakan. Rusdi bahkan mengaku telah diancam. Jika besok terjadi kerusuhan saat pelantikan maka dia yang pertama ditangkap. Namun aktivis KNPI ini mengaku sudah bikin surat selebaran agar naposo menjaga ketertiban dan keamanan. Maksudnya untuk mengantisipasi segala keadaan, jika besok rusuh kami punya dalih bahwa naposo mendukung ketertiban dan keamanan. Pintar sekali kataku dalam hati.

Namun bagaimana kalau bunga itu kita turunkan saja, Pak Pendeta, tawar Rusdi melemah. Aku menarik nafas dalam. Robert sama sekali tidak berkomentar. Diam-diam aku mulai kecut. Bayanganku sesudah atau bahkan sebelum Rusdi aku yang dipenjara. Terus terang aku belum siap untuk keadaan itu. Tapi sebaliknya hatiku tidak juga mau menyerah begitu saja. Bunga itulah satu-satunya tanda perlawanan kami. Jika bunga itu diturunkan ya tidak ada apa-apa. Kami artinya bertekuk-lutut menyerah tanpa syarat. Itu akan memalukan dan menyakitkan sekali. Akhirnya aku memutuskan: Yang terjadi terjadilah. Aku tanggungjawab, kataku tegas. Robert mendukung. Rusdi diam. Mereka pun buru-buru pamit pulang sebelum terlihat petugas keamanan.

Namun sesudah kedua aktivis naposo itu pulang aku tak bisa tidur. Gelisah. Jantungku kembang-kempis. Aku ketakutan. Perasaanku pintuku tinggal menunggu saat diketuk. Polisi akan datang menciduk. Aku lelah bergumul. Harus ada sebuah tanda perlawanan kataku berulang-ulang kepada diriku. Sekecil apapun. Orang banyak harus tahu bahwa ada sekelompok orang walaupun sedikit yang tidak setuju. Pemberitahuan itu penting. Tapi bagaimana? Aku takut dan lemah sekali. Aku tak sanggup memikul konsekuensi penolakan ini. Aku berulang kali berdoa namun hatiku tetap gelisah. Tak ada jawaban. Aku makin gelisah.

Jam lima pagi. Aku terbangun. Satpam gereja kami masih tidur. Ya satpam gereja kami hobi sekali tidur. Aku melihat tidak ada polisi dalam kompleks gereja. Aman. Aku pun naik ke gereja yang terletak di lantai dua dengan penasaran. Pagar atas gereja terkunci namun aku dengan mudah meloncatnya, sementara pintu samping sudah baling dimakan matahari sehingga bisa dibuka tanpa kunci. Aku ingin melihat keadaan sebenarnya sebelum mengambil keputusan meneruskan atau menghentikan perlawanan ini. Perasaanku campur-aduk. Namun yang dominan rasa takut.

Dalam remang-remang subuh aku melihat bayangan krans besar di salib di atas altar. TURUT BERDUKACITA. Ya Tuhan! Krans ungkapan batinku yang terdalam itu sudah ikut tersalib di atas sana. Aku tak habis pikir bagaimana Marolop dan Robert mampu menaikkan krans bunga itu. Salib itu perasaanku tingginya lebih dari lima meter. Aku senyum kecil. Bangga. Kecut. Nekad. Namun tiba-tiba aku sadar kedua kawanku lupa menyimpan tangga. Aku tak ingin bunga tanda duka itu diturunkan sebelum kebaktian pelantikan berlangsung. Kami sudah capek-capek. Sebab itu buru2 kusembunyikan tangga itu dibalik teras samping gereja, lantas aku pun turun lagi. Pagi masih gelap.
Minggu pagi. Sebelum jemaat ramai hadir di kebaktian minggu pagi dimulai aku pun sengaja menghilang. Sejak beberapa hari lalu sudah kukatakan kepada pendeta Ben Parhusip aku tidak mau menghadiri serah-terima praeses. Itu tanda protesku. Sebab itu aku jalan-jalan saja dengan motor bebekku keliling Palembang menghilangkan rasa takut dengan terpaan angin pagi. Namun hatiku tetap dagdigdug.

BERMULA DARI SEBUAH AWAL
Sorenya kami ketemu di hotel Sanjaya. Rusdi yang traktir. Aku sama sekali belum pernah minum kopi di hotel berbintang satu-satunya di kota sungai Musi ini. Tapi aku lebih penasaran ingin mendengar berita apa yang terjadi tadi pagi. Ternyata aku kecewa. Kebaktian pelantikan Praeses aman-aman dan lancar-lancar saja. Gereja penuh dengan polisi. Seorang perwira Brimob bahkan membawa anjing pelacak untuk memeriksa semua sudut gereja sampai toilet-toilet. Katanya anak-anak Sekolah Minggu ketakutan dan terbirit-birit melihat anjing jenis herder itu. Untung tidak ada yang digigit. Ada-ada saja. Robert mengeluhkan naposo tidak konsekuen pake baju hitam. Menurutnya naposo yang berbaju hitam tak sampai sepuluh orang. Padahal malamnya semua janji memakai baju hitam. Dasar pengecut! Musa memilih keluar dari kebaktian persis saat pelantikan dan sempat menjadi pusat perhatian jemaat yang hadir. Namun yang ikut dia keluar hanya dua orang. Aku menyesali kenapa orang-orang suka memilih jadi penakut.

Tapi syukurlah krans bunga yang kami pasang ternyata jadi masalah besar. Aku tak perlu terlalu kecewa. Seperti istilah sahabatku Marolop, minimal ada tanda kecil bahwa kita tidak setuju. Aku pun mengajak kawan-kawanku aktivis untuk menjadikan krans bunga ini awal sebuah gerakan perlawanan terhadap kekuasaan yang tidak konstitusional. Gerakan ini harus jadi bola salju kecil yang digelindingkan dari atas bukit, makin lama makin besar hingga tak tertahan lagi. Semua kawan-kawanku aktivis naposo sepakat melakukan sosialisasi penolakan Sinode Istimewa Tiara dan semua produknya. Kami pun bubar dengan tekad yang lebih terorganisir, sekaligus kenangan makan pisang goreng pake keju di hotel berbintang.

PELURU SEDIKIT JANGAN TEMBAKKAN SEKALIGUS
Pulang dari pertemuan dengan aktivis naposo, aku menjumpai Pdt Ben Parhusip di rumahnya. Dia tampak dingin dan marah sekali. Kami sudah dua tahun lebih sama-sama, belum pernah dia bersikap sedingin dan semarah ini terhadapku.
“Aha do ula-ulam? Susa ahu dibahen ho” katanya.
Ya sori. Semua itu tanggungjawabku kataku dan duduk di sampingnya.
Dia diam. Wajahnya merah menghitam menahan marah. Namun aku tahu sebagian besar kemarahan itu bukan ditujukan kepadaku. Hubungan kami selama ini terlalu baik.
Namun istrinya, kakakku, malah ketawa-ketawa senang. Bunga duka itu rupanya membuatnya geli dan terhibur. Namun Pdt Ben Parhusip mengatakan Sekjen menganggap krans bunga itu penghinaan kepada pimpinan HKBP yang sah. Sebab itu katanya aku harus diusut. Mendengar itulah Pdt Ben Parhusip sangat murung. Seorang perwira Brimob Batak (bukan anggota HKBP, aku tidak tahu apa hubungannya dengan masalah HKBP) dengan suara menggertak mengatakan krans di salib itu adalah pekerjaan para bandit dan preman. Dia mengancam akan segera menangkap gerombolan pengacau ini. Para parhalado HKBP Palembang katanya langsung merasa gerah dengan ancaman itu. Pdt Ben Parhusip sangat gusar. Dia membantah. Tidak mungkin preman atau bandit yang bikin krans duka di salib saat pelantikan itu, pasti naposobulung HKBP sendiri, murid-murid dan anak-anaknya. Itu artinya tanggungjawabnya sebagai pendeta resort. Aku kagum. Menurutku seniorku ini selalu ragu, tapi tidak dalam hal tanggungjawab. Dalam soal yang terakhir ini dia tak pernah ragu memikulnya di pundaknya apapun resikonya. Hebat.

Seperti biasa kalau aku datang, Inang pendeta menghidangkan kopi di gelas-gelas sederhana aneka macam. Ya, aku sangat terkesan. Keluarga pendeta HKBP yang satu ini sangat sederhana. Pantas kucontoh. Namun tiba-tiba aku melihat sikap Pdt Ben Parhusip sangat berubah. Dia menjadi rileks. Entah apa yang membuatnya. Jangan-jangan dia baru mendapat wahyu. Aku masih ingat kata-katanya: Peluru kita sedikit sekali, jangan tembakkan sekaligus. Aku menjawab ya.

Menggelindingkan penolakan Para aktivis naposo HKBP Palembang bergerak cepat. Mereka membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil melobi para jemaat terutama orang tua-tua agar menolak Sinode Istimewa Tiara dan segala produknya. Aku memberikan daftar key persons atau “orang-orang kunci” yang harus didekati mereka.

Atas undangan naposo pertemuan informal jemaat pun diselenggarakan di gereja lama. Tentu saja aku tidak hadir di sana. Namun aku terus memonitor seksama. Menurut kawan-kawan aktivis naposo, diantara orang-orang tua yang hadir hanya beberapa orang saja yang terang-terangan mendukung gerakan penolakan yang digelindingkan naposo ini. Antara lain PY Pardede, seorang pengusaha ekspor gula. Yang lain ragu, gamang dan takut. Satu hal: orang tua-tua ini sangat mengkuatirkan bahwa HKBP Palembang pecah. Buntut dari pertemuan ini beberapa orang tua atau sepuh, anggota HKBP Palembang khusus datang menjumpai Pdt Ben Parhusip meminta agar beliau bijak dan mengutamakan keutuhan jemaat. Sekaligus mengingatkan naposobulung. Namun aku mendapat kesan, yang paling mereka kuatirkan sebenarnya bukan gereja HKBP tetapi adalah keutuhan persekutuan marga-marga dan adat. (Apa boleh buat, defakto di hati banyak jemaat HKBP sebenarnya marga dan adat lebih penting dari gereja. Persis pameo: orang Batak lebih suka dibilang tak ber-Tuhan ketimbang tak ber-adat. Kristen apaan itu? Itu artinya kami harus kerja lebih keras.)

TRUK FUSO
Minggu senja kira-kira jam sembilan belas. Sehabis kebaktian naposo. Halaman depan gereja masih ramai. Johari tiba-tiba melapor sambil ketawa-ketawa bahwa barang-barang Praeses baru Pdt Pantas Marpaung datang dengan truk fuso. Mereka sudah mencegat truk raksasa itu tidak boleh masuk. Kami sudah tutup gerbang. Aku bilang satpam truk tidak boleh masuk sebelum ada perintah dari Pdt Harahap, katanya tanpa meminta konfirmasi sebelumnya padaku. Oalah. Aku merasa di fait acoompli tapi tidak bisa bilang apa-apa. Hari sudah gelap. Aku tak bisa melihat jelas. Namun ada sebuah truk besar parkir persis depan gereja. Beberapa naposo tampak berjaga-jaga di gerbang. Diantaranya Novel Situmorang. Aku tak bisa berpikir panjang. Aku sudah disandera anak-anak muda ini untuk memimpin langsung perlawanan. Terus terang aku ciut sekali. Tapi tidak ada jalan mundur. Bola salju sudah menggelinding tak terbendung. Salah siapa? Salahku sendiri.

Kompleks gereja HKBP Palembang makin ramai. Anak-anak muda tidak pulang, bahkan memanggil kawan-kawannya yang lain agar datang membala. Beberapa sintua berbisik mendukung tindakan naposo. Salah satunya St PM Silaban. Tak lama
kemudian, Praeses Pdt Pantas Marpaung datang, didampingi beberapa orang yang tak begitu kukenal. Satpam menolak membuka pintu. Mereka mungkin segan kepadaku, tetapi kupikir mereka lebih takut kepada naposo. Praeses baru berdiri dibalik gerbang didampingi beberapa orang. Aku menghampirinya. Saya Praeses yang sah. Saya sudah serah-terima dan dilantik, katanya. Aku belum pernah mengenalnya sama sekali. Bebanku psikologis tidak terlalu besar menghadapinya. Maaf Bang, kataku, ini bukan persoalan kita pribadi, kita berbeda pendapat soal HKBP, maaf aku tidak bisa kasi barang-barang Abang masuk. Tangaku sengaja kukatup di depan mukaku.
Pintu gerbang gereja pun diambil-alih oleh naposo dari tangan satpam. Anak-anak ini tampak senang dan rileks sekali. Ketawa-ketawa. Bercanda gembira. Mungkin bagi mereka berkelahi mirip rekreasi. Celaka. Aku berusaha setegar mungkin. Aku tak ingin tampak lemah di depan anak-anak muda ini. Ya, aku tidak boleh tampak ragu dan lemah. Namun akulah yang paling tahu bagaimana hati dan kakiku gemetar lunglai. Malam itu puluhan naposo begadang di gereja. Makan malam datang, entah siapa yang menyiapkan. Ya biasalah, dalam konflik dana selalu mudah berkeluaran. Bagi naposo ini jelas semakin mengasyikkan. Jam dua belas malam aku permisi masuk rumah. Tidur.

PENDETA HARAHAP HENDAK DITABRAK! SENIN SORE.
Praeses Pantas Marpaung datang dengan mobil Kijang biru. Mereka memaksa hendak masuk kompleks gereja. Naposo tidak ada. Mereka sudah pulang untuk kuliah dan lain-lain urusannya. Satpam ragu membuka gerbang. Seorang anggota rombongan Praeses menghardik agar gerbang dibuka. Kijang itu pun menderum dan masuk dengan kecepatan tinggi. Aku meloncat ke samping, menghindar agar tidak ditabrak. Saat itu persis anak-anak katekisasi bubar. Mereka melihat aku meloncat dan terjerembab ke samping pos satpam. Terdengar teriak remaja-remaja perempuan. Kejadian itu langsung menjadi gossip besar.
Anak-anak remaja ini pulang dan memberitahu orangtuanya bahwa pendeta Harahap
hendak ditabrak oleh pendukung praeses baru. Tiba-tiba saja angin segera bertiup kencang mendukung kami.

Naposobulung dan anggota jemaat segera berdatangan ke gereja ingin tahu keadaanku dan kembali menguasai pintu. Praeses Marpaung gagal membawa masuk truk dan pulang. Aku lebih banyak diam. Kuingat truk fuso berisi barang itu tiga hari teronggok di sana, sebelum akhirnya pergi entah kemana.
(Sebenarnya saat itu pun, apalagi sekarang ini, aku tidak percaya bahwa mereka
sengaja hendak menabrak aku. Jalan di gerbang gereja itu agak menaik dan mungkin saja si supir panik dan menggas tinggi. Tapi dalam konflik setiap kesalahan “lawan” berarti kemenangan di pihak kita. Jujur saja, saat itu aku tak berniat mengkoreksi rumor pendeta Harahap hendak ditabrak itu.
Kubiarkan saja rumor itu berkembang, walaupun aku juga tak berniat gembar-gembor. Namun yang pasti simpati jemaat semakin membesar kepada kami).

SETIA SAMPAI AKHIR.
Kabar kerusuhan di HKBP dengan cepat menyebar kemana-mana. Abang-abangku di Jakarta pun menelpon aku, selain ingin memastikan keadaanku baik-baik saja, mereka juga tampaknya ingin sekali tahu posisiku di mana. Mereka sendiri bukan anggota HKBP, tetapi GKI Kwitang. Hanya kakakku Ibeth yang tetap di HKBP tepatnya di Pulomas. Aku pun menjawab terus-terang aku ada di kubu yang menolak Sinode Istimewa. Agar gampang, seperti kebiasaan media, sebut saja di kubu SAE Nababan. Mereka tampaknya senang walaupun mungkin agak cemas juga. Ibuku di HKBP Sudirman Medan sudah berusia 65 tahun dan janda. Dia pengagum fanatik DR SAE Nababan. Alasannya hanya satu: DR SAE Nababan pintar berkotbah. Alasan lain tidak ada. Namun bukan itu soalnya. Ada hal yang lebih penting yang ingin kusampaikan.

Roni abangku nomor 3 memberi aku advis: kalau mau “perang” kalian harus punya slogan, lagu mars, simbol. Hanya dengan begitulah semangat massa atau jemaat di akar rumput bisa tetap dijaga. Benar juga pikirku. Dia dan Mula menawarkan diri mencetakkan stiker namun kata-katanya aku yang tentukan. Apa ya? Saat itu kelompok kami belum punya slogan. Tiba-tiba aku ingat semboyan kelompok pecinta alam Wanadri saat lomba arung jeram yang pernah kulihat di majalah Jayagiri: Tabah sampai akhir. IMenurutku itu slogan bagus dan sangat sesuai dengan perjuangan kami melawan arus. Seminggu kemudian stiker itu jadi dan dikirim dalam jumlah ribuan. Namun kata-katanya berubah: Setia sampai akhir. Katanya itu saran Asmara. Saat itu Roni sekantor dengan Asmara Nababan di Majalah Kawanku. Alasannya: setia lebih teologis dibanding tabah. Aku menerima saja. Namun Bang As, demikian dia biasa dipanggil, juga menambah satu slogan lagi: Kita harus lebih taat kepada Tuhan. Kutipan Kis 5:29.

Aku semangat dan gembira sekali. Stiker warna merah dan biru itu pun segera kusebar di Palembang, sebagian lagi ke Jakarta dan Medan. Dengan cepat stiker itu pun bertempelan di mobil, kamar kos, rumah, kantor gereja, dan dimana-mana. Semarak provokatif. Beberapa parhalado protes di sermon. Stiker itu dianggap meresahkan. Namun yang lain membela dan menganggap tidak ada yang salah dengan kata-kata Setia sampai Akhir. Itu mirip dengan pesan Alkitab di Wahyu 3:10.

Stiker pembakar semangat itu segera habis. Marolop dan Simson mencetaknya lagi di Palembang dengan dana dari koceknya sendiri. Walaupun kualitas cetakannya tidak sebagus yang dibikin di Jakarta, tetapi semangat swadana dan swadaya ini benar-benar kuhargai. Selanjutnya Pesta Parheheon NHKBP juga memakai Setia sampai Akhir sebagai tema.

Di luar pengetahuanku rupanya slogan Setia Sampai Akhir segera itu segera menyebar kemana-mana dan kelak menjadi semboyan “resmi” kelompok kami. Disingkat: SSA. Perasaanku tiga huruf itu sangat hebat dan membanggakan sekali.
(di Sumatera Utara kawan-kawan juga entah bagaimana menemukan lagu anak-anak Sekolah Minggu yang ada di Kidung Ceria “Setia, setialah, setia sampai mati” menjadi “theme song” dan bahkan “lagu kebangsaan” kami. Kami sendiri di Palembang kurang familiar dengan lagu itu. Namun kabar kudengar lagu itu benar-benar menyatukan gairah dan semangat kelompok yang menolak Sinode Istimewa dan kepengurusan HKBP bentukan pemerintah, apalagi jika dinyanyikan oleh ibu-ibu tua di jalan aspal di bawah hadangan polisi dan tentara, karena kelompok kami tidak diijinkan beribadah dalam gereja. Namun lagu itu agar asyik harus dinyanyikan sambil menari atau manortor dengan dua jempol dinaikkan ke atas.)

MONJO
Sebenarnya dalam hal berkelahi orang dewasa dan anak-anak sama saja: saling mengejek. Ya, dalam konflik kita selalu tergoda memberi cap atau label yang merendahkan kepada lawan. Itu sangat biasa. Kami pun mencap kawan-kawan yang mendukung DR PWT Simanjuntak dan DR Sountilon Siahaan sebagai kelompok Tiara. Itu adalah nama hotel berbintang di Medan. Tak ada yang salah dengan hotel itu, tetapi dengan menempelkan nama Tiara kepada kelompok lawan, kesan yang muncul mereka adalah para pendeta dan penatua yang suka bersidang ria di hotel-hotel. Hotel, dalam pikiran orang-orang kampung, selalu dikonotasikan mesum. Sebab itu dulu gereja-gereja tidak pernah bersidang di hotel. Pemimpin-pemimpin gereja pada masa itu jika berpergian juga selalu menginap di guest house atau pesanggerahan milik gereja atau PGI. Sepertinya risih atau “tabu” bagi seorang pemimpin gereja bermewah-nikmat di hotel berbintang. Namun sekarang tentu saja lain keadaannya. Gereja-gereja termasuk pendeta-pendeta merasa bangga mengadakan rapat atau pertemuan di hotel dan bukan di gedung milik gereja.

Namun ada lagi label yang lebih menohok. Monjo! Ya, monjo! Hahahaha. Aku pertama kali mendengar istilah itu diucapkan oleh Bang Einar Sotompul. Waktu itu masih tahun 1990. Kantor Pusat didemo dipimpin oleh Kampung Mangatas Panggabean dan kawan-kawan. Kami kaget sekali. Itulah pertama kali Kantor Pusat didemo. Tiba-tiba Bang Einar berkata spontan: Nunga ro monjo! Kami ketawa, apalagi aku. Kebetulan aku familiar dengan istilah monjo itu. Ibuku selalu bercerita bahwa ompungku boru Hutajulu saat kecil di Laguboti selalu ditakut-takuti dengan istilah monjo. Maksudnya: Bonjol. Yaitu pasukan Bonjol atau Paderi Minangkabau yang beberapa kali datang menyerbu meluluh-lantakkan Toba. Aku tahu istilah monjo itu sangat memojokkan kawan-kawan pendukung DR PWT Simanjuntak dan DR Sountilon Siahaan. Namun saat itu kami sedang berkelahi. Jadi ya aku senang-senang saja.

Namun mereka juga berusaha membalas. Mereka selalu menyebut kami antek-antek Nababan. Dengan mencap kami sebagai pengikut apalagi antek-antek Nababan, kelompok “lawan” menurutku hendak mengurangi kredibilitas kami para pendeta yang kebetulan segaris dengan Eforus Nababan. Lebih jauh, mereka juga hendak menggeser isu “campur tangan pemerintah ke dalam kehidupan gereja” menjadi isu kepempinan dan pribadi DR SAE Nababan. Aku sadar betul kondisi ini, sebab itu aku dan kawan-kawan mati-matian membangun citra kami sebagai orang-orang yang punya idealisme, integritas dan kesadaran. Sebab itu kami pun membela diri dengan mengatakan kami bukan pro Nababan tetapi pro Aturan. Tapi sayangnya media massa terlalu kuat, seringkali untuk memudahkan bagi pembaca (sekaligus memprovokasi?) mereka selalu menyebut kelompok Pro Nababan dan Pro Simanjuntak ini.

Namun ada lagi. “Lawan-lawan” kami saat itu memplesetkan akronim SSA (Setia Sampai Akhir) sebagai Sisa-Sisa Aidit. Aku curiga ini kerjaaan operator Orde Baru yang sangat terbiasa memberi label PKI kepada orang-orang yang mengkritik kebijakan pemerintah. Label ini pada jaman itu sangat ampuh mematikan. Dengan memberi label “bau PKI” ini mereka mencoba memposisikan kami sebagai gerombolan pengacau, dan akhir-akhirnya membuat warga jemaat menjadi takut atau berpikir ulang sebelum mengikut kami. Ya, namanya juga konflik. Orang-orang begitu mudah tergoda melakukan segala cara untuk mencapai tujuan.

PERANG INFORMASI
Tarutung tahun 1990-an sangat jauh dari Jakarta. Ponsel belum ada, apalagi internet. Koran-koran nasional takut. Koran lokal dipegang oleh kelompok Tiara. Kami harus mencari akal untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi. Untunglah ada mesin foto kopi. Kupikir kelompok SSA atau pro Aturan harus berterima kasih kepada Xerox. Aku termasuk orang yang paling memanfaatkan mesin foto kopi ini. Berita apapun tentang HKBP (khususnya yang mendukung kami) kufotokopi dan kubagikan kepada Parhalado dan anggota jemaat. Dan menarik sekali, mereka segera mengkopinya lagi dan menyebarkannya. Begitulah seterusnya. Kebetulan aku tahu betul berita yang paling “menarik” atau menggugah jemaat. Kekerasan. Ya, kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah terhadap kelompok kami khususnya di Sumatera Utara. Di sini aku dapat “pencerahan” orang Batak gampang sekali “emosional” dan “terbakar” mendengar saudaranya disakiti atau gereja di kampungnya dirusuhi. Semakin hari pendukung kami pun semakin banyak. Kami sudah mulai berhasil meyakinkan jemaat bahwa kami benar dan mereka salah. Aku tidak tahu belajar dari mana, namun aku mengatakan kepada kawan-kawanku kegunaan informasi ini: yang tadinya sangat getol melawan kami mulai ragu. Yang tadinya ragu kini pindah balik mendukung kami.

Namun aku harus menyebut nama Sentana. Ini adalah koran mingguan terbitan Jakarta. Aku kenal betul keluarga pemiliknya, marga Siahaan, di Pulomas. Ini menjadi corong kelompok kami. Sebenarnya aku pribadi sangat riskan sekali. Sentana adalah “koran kuning”. Di halaman depannya sering ada foto cewek (setelah konflik HKBP agak berkurang memang) dan di halaman belakangnya ada kode buntut. Namun Sentana menyediakan satu halaman penuh berita HKBP. Ini adalah simbiose saling menguntungkan. Tiras mereka naik luar biasa signifikan sedangkan kelompok kami mendapat kesempatan menyebar informasi. Kebetulan redaksi yang ditugaskan menangani berita HKBP itu adalah sahabatku di Naposobulung HKBP Pulomas: Henry Siagian. Aku pun membuat tulisan-tulisan “menggelitik” tentang konflik HKBP. Rupanya banyak yang suka. Aku sebenarnya tidak dapat honor, tapi aku senang-senang saja menulis. Yang penting pikiranku tentang HKBP tersebar.

RAPAT MARGA-MARGA
Marga-marga di Palembang mengadakan pertemuan. Tempatnya di Gedung Serba Guna HKBP Palembang. Agendanya: masalah HKBP. Banyak tokoh marga dan adat Batak sangat kuatir konflik HKBP akan merembet dan memecah-belah persekutuan marga-marga dan kekerabatan adat Batak di Palembang. (Terus terang aku mengkuatirkan yang sebaliknya: marga-marga akan memecah HKBP). Namun kami juga mencium bau tak sedap. Ada juga yang diam-diam ingin menyeret marga-marga di Palembang mendukung kepengurusan HKBP yang didukung pemerintah. Kami sangat cemas. Sebagai pendeta HKBP, apalagi yang sudah jelas-jelas memihak, kami tidak diundang. Namun syukurlah ada Pdt Lintong Saragih. Dia pendeta tentara di Kodam Sriwijaya, dikenal netral, dan arif. Dia hadir di sana. Pdt Lintong Saragih berhasil mengarahkan persekutuan marga-marga agar tidak terseret ke dalam konflik HKBP. Singkat cerita, keluarlah kesepakatan pertemuan: Marga-marga Batak di Palembang sepakat tidak mencampuri masalah HKBP dan bersatu menjaga kerukunan. Pdt Lintong Saragih senyum. Aku ketawa terbahak-bahak. Itulah yang kami pinta. Marga-marga tidak ikut campur. Artinya: gereja HKBP akan lebih bebas bergerak. Kami menang lagi selangkah.

PETA PARHALADO
Namun terus-terang aku masih merasa gampang. Parhalado HKBP Palembang sampai saat ini belum mengambil keputusan untuk mendukung kelompok mana. Padahal aku dan kami membutuhkan “payung hukum” untuk bebas bergerak menyatakan sikap. Selama ini yang kami baru menampakkan sikap-sikap pribadi, belum ada sikap bersama yang dinyatakan secara formal. “Lawan” sedang kerja melakukan pendekatan ke parhalado. Sebab di HKBP siapa yang menguasai parhalado dialah yang menguasai jemaat. Parhalado benar-benar representasi jemaat yang sangat kuat. Aku merasa benar-benar sedang berlomba dengan waktu. Itu sangat melelahkan dan menegangkan sekali. Informasi tentang apa yang terjadi HKBP termasuk pengusiran secara paksa Eforus Nababan dari rumah dinasnya dan penangkapan para pendeta dan pemuda sudah disebarkan. Lobi dan “tekanan psikologis” naposo Palembang sudah maksimal dilakukan, namun aku tetap belum bisa memastikan apakah yang terjadi jika Parhalado melakukan pemungutan suara tentang masalah HKBP. Bayanganku gelap.

Malam itu kami ngobrol rumah Pdt Ben Parhusip. Seniorku ini sangat tenang. Aku tak meragukan kesetiaannya, walau aku diam-diam sering gerah kepada lambatnya dia mengambil keputusan. Maklumlah dia selalu saja mengatakan belum waktunya, sementara aku sudah tak sabaran lagi. Ayo kita hitung, kataku. Kami lantas mengambil kertas dan membuat daftar parhalado HKBP Palembang. Lantas nama-nama parhalado itu kami bagi tiga: mendukung, menolak dan ragu-ragu. Di sini aku sangat kagum sekali dan belajar banyak kepada seniorku ini. Pdt Ben Parhusip benar-benar mengenal seluruh parhalado HKBP Palembang. Bukan hanya nama, pekerjaan, tetapi juga marga istrinya dan dan bahkan hubungannya sintua-sintua Palembang dengan marga-marga lain, dan dengan pendeta-pendeta lain di HKBP. Diam-diam dia ahli membuat peta kekuatan. Ternyata parhalado yang jelas-jelas mendukung kami tidak sampai sepuluh orang. Sebagian besar berada dalam kategori tidak jelas, ragu-ragu atau abu-abu. Aku langsung lemas.

MEMENANGKAN PARHALADO
Namanya St RM Silitonga. Jabatannya Kepala Bimas Protestan di Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumsel. Suatu siang, jam kantor, dia datang ke gereja mengajak aku dan Pdt Parhusip bicara khusus tentang masalah HKBP. Kami menggunakan bahasa Batak. Intinya adalah dia mau menanyakan sikap kami terhadap kepemimpinan baru HKBP. Jika memang kami menolak maka dia siap bekerja menggalang Parhalado untuk mempertahankan kami di Palembang. Namun jika ternyata kami nanti menyerah maka tidak ada gunanya Parhalado menahan kami di sini. Aku jelas-jelas saja siap. Apa pun yang bakal terjadi aku telah menolak Sinode Istimewa di Tiara. Namun Pdt Ben Parhusip tidak menjawab. Dia tidak mengiyakan tidak pula menyanggah. Aku benar-benar bingung. Entah apa yang ada dalam benaknya. Sebab itu sepulang St RM Silitonga, aku bertanya apa keraguan Pdt. Ben Parhusip. Dia mengatakan, kalau kita menerima permintaan sintua itu kekuatan tawar kita terhadap parhalado HKBP Palembang habis. Kita akan didikte dan dikendalikan mereka. Aku belum paham sepenuhnya apa maksudnya.

Di kemudian hari aku semakin sadar organisasi HKBP ini memang unik. Sepanjang
sejarah HKBP selalu ada ketegangan, tarik-menarik kekuatan, antara Pusat dan jemaat-jemaat lokal HKBP. Ini pengaruh kultur Batak yang sangat menekankan otonomi dan independensi. Jemaat-jemaat lokal HKBP, dalam alam bawah sadarnya, sangat ingin otonom dan independen, bebas dari kendali Kantor Pusat. Apalagi hampir seluruh gedung gereja dan hidup jemaat lokal HKBP dibangun secara swadaya dan swadana oleh jemaat lokal, tanpa bantuan sepeser pun uang Kantor Pusat. Ketergantungan jemaat lokal kepada Pusat hanyalah dalam hal penyediaan pendeta, sebab hanya Pusatlah yang memiliki sekolah pendeta dan wewenang menahbiskannya. HKBP sangat beda dengan jemaat-jemaat pentakostal. Di HKBP jemaat lokal tidak dapat mengangkat pendeta. Seluruh pendeta HKBP diangkat dan dikirim serta karena itu tentu saja jadi perpanjangan tangan Pusat. Namun uniknya gaji pendeta bukan dari Pusat melainkan dari jemaat lokal juga. Sebab itu seandainya terjadi konflik kepentingan antara jemaat lokal dengan Kantor Pusat HKBP maka otomatis si pendeta HKBP terjepit. “Kepala” si pendeta tunduk ke Pusat sementara “perut-nya” tunduk ke jemaat setempat. Ya repot.
Jika si pendeta membela Pusat, dengan sendirinya dia harus siap-siap hengkang atau “diusir” dari jemaat tersebut (atau dimutasi tiba-tiba ke jemaat lain). Namun sebaliknya jika dia membela jemaat lokal, konsekuensinya dia bisa kehilangan gantungan di Pusat, akibatnya dia harus bergantung sepenuhnya kepada jemaat lokal yang dibela membelanya. Konsekuensi selanjutnya: wibawa dan kemampuannya melayani sebagai pendeta yang bebas di jemaat berkurang, suka tak suka dia dikendalikan oleh Parhalado lokal. Itu sering terjadi. Itulah yang dikuatirkan oleh seniorku. Di masa konflik sekalipun Pdt Ben Parhusip ingin tetap bebas melayani sebagai pendeta termasuk menegur parhalado jika mereka salah. Dia memang benar-benar pendeta yang baik dan punya integritas, di saat damai atau perang.)

Besoknya St RM Siltonga datang lagi menjumpai kami. Sore hari. Beha do? Bagaimana? Tekken ma Bang, kataku. Tekken adalah istilah khas Batak. Maksudnya menandatangani persetujuan, ibarat seorang menandatangani menjadi sukarelawan perang. Sekali ditandatangani tak bisa mundur lagi. Pendeta Ben Parhusip tetap tidak menjawab. Namun St RM Silitonga mengartikan sikap diamnya sebagai persetujuan. Ya, diam artinya setuju. Kami pun bersalaman. Aku akan kerja bersama kawan-kawan, kata St RM Siltonga.

RAPAT PARHALADO
Palembang pun dilaksanakan dengan undangan resmi. Agenda tunggal: membicarakan sikap HKBP Palembang. Aku mendapat kesan St RM Silitonga cs sudah bekerja menggalang Parhalado. Di luar ruang sermon, naposo atau pemuda sengaja berkumpul, hilir-mudik dan sesekali mengintip Rapat lewat jendela kaca, jelas sekali ingin memberi tekanan psikologis kepada Parhalado yang sedang rapat hendak menentukan sikap terhadap masalah HKBP. Rapat Parhalado ternyata berlangsung sangat mulus. Para sintua seakan-akan markoor atau berpaduan suara mendukung sikap menolak Sinode Istimewa Tiara dan produknya dan mempertahankan kami para pendeta agar tetap di Palembang.
Keputusan pun diambil dengan voting. Semua setuju. Hanya satu orang menyatakan abstain. Isi keputusan Parhalado ada tiga: Pertama, menolak SK Tua Bakorstanasda Sumbagut dan Sinode Istimewa Tiara dengan segala produknya. Kedua: meminta agar pendeta yang ada di HKBP Palembang dipertahankan sampai masalah HKBP tuntas. Ketiga: menghimbau jemaat menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat Palembang.
Keputusan itu disepakati akan diwartakan dan dibacakan di kebaktian minggu besok. Aku menjilat bibirku. Para naposo di luar bersorak-sorai merayakan kemenangan.

BOLAK-BALIK DIPANGGIL POLISI
Namun tentu saja Pdt Pantas Marpaung dan kelompoknya tak mau tinggal diam. Mereka segera mengadukan kami ke Poltabes. Selanjutnya adalah yang kutakutkan selama ini. Kami pun bolak-balik dipanggil ke Poltabes. Masih kuingat bagaimana paniknya aku ketika pertama kali dipanggil Mapoltabes dan diperiksa di salah satu ruang dekat sel, duduk berjam-jam di depan seorang bintara yang mengetik BAP dengan mesin tik tua reot tanpa titik dan kepastian waktu berakhir.

Namun kami bersyukur, Palembang rupanya mempunyai Kapoltabes yang sangat arif. Kolonel Pol Dadang Garnida, MBA. Dia mengatakan secara eksplisit bahwa akar masalah HKBP tidak di Palembang dan dia tidak punya kepentingan pribadi di HKBP. Palembang hanya menerima imbas masalah. Sebab itu penyelesaian masalah ini bukanlah di Palembang namun di Jakarta. Yang dapat dilakukan di Palembang hanyalah menjaga agar tidak terjadi konflik terbuka. Kami manggut-manggut. Namun masalah belum selesai. Wakapoltabes Palembang saat itu ternyata seorang Batak dan anggota HKBP pula. Celakanya rupanya dia diam-diam adalah pendukung Sinode Tiara dan sedang bekerja untuk memenangkannya. Kudengar dialah yang memerintahkan kami diperiksa, pantaslah dia cuek sekali saat kami berpapasan dengannya di pintu masuk.

Namun kami juga sangat bersyukur sebab kami punya seorang sintua, anggota parhalado, yang sangat dihormati di propinsi Sumatera Selatan ini. Namanya St BIT Tamba. Dia seorang doktor hukum, dosen senior di Universitas Sriwijaya. Badannya besar, suaranya menggelegar dan matanya selalu mendelik-delik. Bekas-bekas muridnya tersebar di seluruh Sumatera Selatan sebagai pengacara, jaksa, hakim dan panitera. Dia selalu diundang saat upacara-upacara kenegaraan di tingkat propinsi. St BIT Tamba inilah yang selalu menemani kami berurusan dengan polisi. Terus terang bersamanya aku selalu tenang di kantor polisi, sebab kami selalu diterima dengan hormat dan ramah.

Aku tidak tahu persis bagaimana caranya penanganan masalah HKBP tiba-tiba dialihkan dari Poltabes ke Polda. Rusdi pun mengajak aku berkunjung ke rumah Kadit Intelpam Polda Kol Harahap. Dia tinggal di perumahan perwira Polda di Jalan Veteran. Menurut Rusdi kunci penanganan masalah HKBP di tangannya. Kebetulan kami bertiga sama-sama berasal Angkola, dan kami berdua bahkan semarga walau dia beragama Islam. Aku ingat betul kata-kata Kol Harahap kepada Rusdi Ritonga. Kok berani betul kau kemari? Rusdi tertawa. Itu artinya kami orang baik-baik. Kalau kami orang jahat manalah kami berani mendatangi rumah Abang. Dia tertawa. Pokoknya aku hanya ingin Palembang aman. Aku nggak punya vested interest di HKBP. Aku membalas, ya Bang, kami akan jaga keamanan. Pokoknya selama Polisi netral keadaan akan aman. Sebelum pulang, aku menyampaikan pesan kecil bahwa aku ikut berdoa suatu saat dia naik pangkat dan jadi Jenderal polisi. Koum atau kerabatku itu hanya senyum.

Analisis Rusdi benar. Setiap kali dipanggil ke Polda memang kami berurusan dengan Direktorat Intelpam. Agak aneh, berbeda sekali dengan pengalaman kawan-kawan di Sumatera Utara, di Sumatera Selatan ini kami justru selalu diterima ramah oleh para polisi. Karena itu, mau tak mau, aku dan Pdt Parhusip menunjukkan sikap yang lebih sopan dan hormat lagi. Terutama kami menunjukkan sikap empati dan memahami posisi Polda Sumsel yang terjepit. Aku sadar betul secara formal Polda harus mendukung “lawan” kami, sebab DR PWT Simanjuntak dan DR Sountilon Siahaan-lah yang diakui dan didukung pemerintah. Secara tersamar Kolonel Harahap pernah menyampaikan bahwa perintah lewat radiogram yang diterimanya dari Jakarta adalah mengamankan keputusan pemerintah mendukung kepemimpinan HKBP dibawah DR PWT Simanjuntak, namun situasi lapangan berbeda sama sekali. Sebab itu dia memilih sikap arif dan meminta pengertian kami.

Seorang perwira di Direktorat Intelpam Polda pernah mengatakan keheranannya. Kadit Intelpam Kolonel Harahap katanya kalau bertemu dengan kelompok kami selalu tampak rileks. Padahal kami kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Katanya, berbeda sekali suasananya bila dia bertemu dengan kelompok “lawan” kami. Pertemuan selalu tegang. Aku tak menjawab. Namun hatiku tahu jawabnya. Kelompok Tiara tentu saja merasa merekalah HKBP yang “sah” sebab merekalah yang didukung Pemerintah Pusat (baca: oknum-oknum pemerintah pusat), sebab itu mereka menganggap Polda Sumbagsel secara otomatis wajib mendukung mereka. Sudah bisa kubayangkan pastilah sikap itu dikomunikasikan oleh “lawan-lawan” kami dengan gaya Batak pasar (yang seakan-akan belum pernah kontak dengan budaya-budaya lain). Di pihak lain kami benar-benar tampil santun layaknya rohaniawan. Tentu saja perwira senior di Polda Sumsel ini merasa gerah dan akhirnya ogah-ogahan mendukung mereka, sebaliknya secara pribadi memberi respek kepada kami. Sekali lagi aku mendapatkan kebenaran: moralitas dan sopan-santun adalah senjata yang paling kuat.

Dalam perjalanan sejarah hidupku sebagai pendeta HKBP, aku semakin sadar salah satu Pekerjaan Rumah (PR) terberat bagi orang Batak-Kristen jaman moderen ini adalah: berkomunikasi. Ya, khususnya berkomunikasi dengan orang-orang yang bukan Batak dan juga bukan Kristen di sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia ini. Aku ingin mengajak generasi muda HKBP belajar serius tentang komunikasi sebab kemampuan berkomunikasi juga sangat menentukan keberhasilan gereja maupun pribadi di jaman reformasi ini. Ada dua hukum komunikasi yang ingin kusampaikan. Pertama: keinginan kita berbicara selalu lebih besar daripada keinginan kita dipahami. Sebab itu berhati-hatilah. Kedua: keinginan kita berbicara selalu berbanding terbalik dengan keinginan kita mendengar. Orang Batak sangat hobi bicara (mandok hata). Itu artinya sadar atau tidak sadar: orang Batak kurang suka mendengar. Mau tahu buktinya? Lihat saja pesta-pesta Batak di Jakarta! Di sana orang saling berbicara pada saat yang sama.

Kembali ke soal HKBP. Menurutku tidak ada yang salah dengan konsep pembaharuan HKBP yang digagas oleh Eforus SAE Nababan. Semua ide beliau tentang HKBP sangat baik dan benar (dan tidak ada yang dipersoalkan oleh “lawan” kami). Namun fakta menunjukkan orang yang tidak menyukainya hampir sama banyaknya dengan orang yang memujanya. Tidak sepenuhnya salah beliau, namun menurutku jelas ada miskomunikasi. Sebagian orang (terutama yang juga merasa dirinya pintar, kaya dan berkuasa) salah
paham dan sakit hati. Mereka tidak lagi menangkap substansi apa yang dikatakan DR SAE Nababan tetapi cara dan gaya pribadi mengkomunikasikannya. Celakanya gaya berkomunikasi ini dianggap begitu prinsipil. Walaupun menurutku, kelak terbukti, mereka yang menyerang DR SAE Nababan juga memiliki gaya komunikasi mirip persis dengan yang diserangnya. Bagai apel dibelah dua. Oala.)

JANGAN KATAKAN “TIDAK” KEPADA JENDERAL.
Aku mendapat tips dari DR BIT Tamba. Dia mengatakan kepadaku, “kalau suatu ketika Amang dipanggil Kapolda apalagi Pangdam, jangan sekali-kali katakan “tidak” kepada mereka. Mengatakan “tidak” kepada Jenderal adalah pantang besar. Lantas harus bilang apa? Bilang saja “belum”. Itu membuat mereka merasa tidak sedang dibantah, sebab jenderal tidak pernah boleh dibantah! Singkat cerita, demikianlah bila kami ditanya oleh Kapolda, Wakapolda atau Assintel Kodam, atau bahkan para Kolonel: apakah bapak-bapak mengakui dan menerima kepemimpinan Eforus DR PWT Simanjuntak dan Sekjen DR SM Siahaan, kami pun selalu menjawab santun: belum Jenderal. Apa yang terjadi? Alhasil mereka tidak pernah marah mendengar jawaban kami. Mungkin kata “belum” terdengar sangat santun, atau memberikan harapan kepada para petinggi ini bahwa suatu ketika kami akan dapat mengakui dan menerimanya.Begitulah jawaban “belum” secara lisan dan tulisan itu tetap kami sampaikan setiap kali ditanya, bulan demi bulan, tahun demi tahun, sampai masalah HKBP selesai. Hahahahahaha.

GUBERNUR SUMSEL NETRAL
Harus kukatakan ada seorang lagi yang diam-diam sesungguhnya sangat berperan memenangkan kami di Palembang. Dia adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel BAS Tobing. Dia ipar eforus Nababan. Orangnya sangat baik dan pemurah. Lembut bertutur kata namun tegas bersikap. Di depan orang ramai, walaupun posisinya di adapt Batak adalah hula-hula, dia selalu menyapa iparnya dengan sebutan Ompu i, suatu hal yang sangat luar biasa bagiku. (Kurasa Pak BAS Tobing sangat sayang kepada ito-nya, istri Eforus, Ibu Alida br Tobing). Dikaitkan dengan masalah HKBP, dia bukan saja sekedar mitra kerja sesame Muspida tetapi sahabat kental Gubernur Sumatera Selatan Ramli Hasan Basri. Mereka selalu main golf sama-sama kemana-mana. Di sinilah perannya dimainkannya dengan sangat piawai. Pak BAS Tobing mendukung kami dengan cara yang sangat halus. Selama konflik memang dia tidak pernah kelihatan di gereja HKBP Palembang atau membuat pernyataan eksplisit mendukung kami, namun aku tahu betul dialah yang meyakinkan Gubernur Ramli Hasan Basri (pastilah saat main golf) bahwa Palembang akan aman selama Gubernur sebagai “penguasa tunggal daerah” netral dalam konflik HKBP. Jika dibalik artinya: kalau pemerintah tidak netral maka keadaan tidak aman. Bukankah itu yang terjadi di Sumatera Utara dan Riau sana?

DI SANA INTEL DI SINI INTEL
Namun saban hari gereja kami tetap saja didatangi intel. Macam-macam intel dari aneka lembaga teritorial: Kodam, Korem, Kodim, Polda dan Poltabes serta Polsek. Dengan atau tanpa senjata terlihat dibalik kemeja. Di situlah aku sadar bahwa negeri ini jaman dahulu memang penuh dengan intel. Mata-mata. Pengawasan 24 jam! Namun ada dua orang intel yang selalu datang ke gereja HKBP Palembang. Dua-duanya kiriman Kodam. Dua-duanya sebelumnya katanya bertugas di Korps Baret Merah. Dua-duanya Batak, mungkin supaya mengerti apa yang sedang dipercakapkan. Aku selalu mengatakan kepada naposo agar bersikap wajar dan santun kepada para intel ini. Kita orang baik-baik. Mereka sedang menjalankan tugasnya. Apalagi aku ingat betul pesan ayahku mendiang: makin rendah pangkat polisi atau tentara harus makin hormat pula kita kepadanya. Sebenarnya ada lagi seorang intel Kodam, dia perempuan Batak, tadinya kusangka dia pedagang minuman, namun suatu saat tak sengaja kupergoki dia sedang mengambil handie talkienya di bawah kios depan gereja. Dia tertawa. Aku juga tertawa.

Khusus kedua lelaki intel Kodam yang selalu datang mengawasi kami menurutku sangat sopan, mereka hanya duduk-duduk di Pos Satpam, dan kadang-kadang saja menjumpaiku di gereja menanyakan sesuatu yang sebenarnya menurutku sudah mereka tahu. (Mungkin mereka ingin cari-cari alasan agar dapat masuk ke dalam kantor gereja melihat keadaan. Ya tak apalah. Kantor gereja memang harus terbuka.) Aku pun selalu menjawab lugas. Selain memang kami tidak punya rahasia, terus terang aku tidak mau bikin gara-gara dengan intel yang direkrut dari anggota pasukan khusus. Namun diam-diam aku memperhatikan juga mereka dan terus terang kagum kepada cara kerjanya. Profesional! Yang seorang punya notes penuh orat-oret dan garis silang. Notes itu selalu disimpan di sakunya dan saat-saat tertentu dikeluarkan. Tadinya aku tidak mengerti apa arti garis-garis silang-menyilang yang banyak itu. Rupanya itu metode cross check atau cek silang untuk menghubungkan satu informasi dengan informasi lain guna mendapatkan informasi kelas-1. Pintar sekali. Tapi berhubung kami selalu bercakap-cakap rileks, kadang-kadang dia “lengah” membiarkan saja notesnya itu terbuka di meja saat kami bicara-bicara.

Suatu ketika, aku mengintip ada angka 80:20 di notes seorang intel itu. Aku memberanikan diri bertanya apa arti angka yang seperti “kode buntut” itu. Dia menjawab jujur: gambaran peta kekuatan di HKBP Palembang. Empat banding satu. Aha. Aku tertawa dan bercanda: oh kukira tadi kode buntut! Dia senyum namun otakku diam-diam bekerja. Rupanya kami diakui sebagai mayoritas. Aku pun tersenyum penuh kemenangan dalam hati. Aku tahu dimana-mana di dunia ini kekuatan politik akan mendukung mayoritas. Di dunia politik itu sikap yang logis sekali. Selain itu aku juga sadar bahwa politik tidak pernah tahu atau mengenal siapa yang benar dan siapa yang salah. Benar-salah adalah terminologi moral agama atau gereja. Terminologi politik hanya satu: besar-kecil atau kuat-lemah. Pokoknya siapa yang besar dan kuat itulah yang didukung. Yang kecil dan lemah akan ditinggalkan. Kasihan deh. Itu artinya kami juga akan didukung jika kami dapat menunjukkan bahwa kami memang yang paling besar dan kuat. Oke kataku dalam hati, akan kami tunjukkan bahwa kami memang benar-benar besar dan kuat, pantas diperhitungkan. Kiranya Tuhan menolong kami.
Namun ada lagi keberuntungan. Seorang intel yang lain friendly dan suka ngobrol denganku, memakai bahasa Batak pula lagi. (Yang seorang lagi selalu bertutur menggunakan bahasa Indonesia formal, dan lebih banyak diam menatap dengan mata yang sopan tapi tajam.) Walaupun tidak mabuk menurutku kawan satu ini kayaknya suka minum. Dia suatu ketika mengaku punya respek yang sangat tinggi kepadaku sebagai seorang pendeta.

Alkisah, dua tahun yang lalu, sebelum konflik HKBP merebak, murid-murid sidi remajaku pernah berkelahi di jalan umum depan gereja sepulang katekisasi. Yang seorang mengeluarkan pisau. Aku buru-buru dipanggil dari dalam gereja untuk melerai. Seorang polisi persis lewat dan berhenti melihat kegaduhan itu. Dengan sigap pisau itu kuambil dari tangan si anak dan kuselipkan di balik bajuku. Lantas aku mengatakan kepada polisi ini bahwa yang berkelahi adalah murid-muridku dan ini semua tanggungjawabku, lantas aku melenggang tenang-tenang masuk lagi ke halaman gereja. Polisi itu bengong sesaat dan lantas pergi. Aku sama sekali tidak tahu saat itu ada sepasang mata di balik kios rokok yang mengawasi aku seksama mengambil pisau itu dan menyembunyikannya di balik bajuku. Itu sepasang mata intel Kodam. Dia tidak bereaksi sama sekali. Dalam hatinya rupanya diam-diam aku adalah seorang guru yang baik yang membela anak-anak didiknya. Syukurlah kalau memang begitu.
PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) TETAP TERJEPIT

Walaupun pemerintah propinsi netral dan Bakorstanasda Sumbagsel tidak mau campur tangan dalam masalah HKBP, para anggota jemaat HKBP kami yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tetap saja merasa terancam dan terjepit. Sebagai pegawai negeri mereka merasa mutlak harus ikut garis pemerintah pusat bukan saja dalam tugas kantornya tetapi juga dalam hal masalah HKBP. Sekarang ini terasa geli namun masa itu tidak. Dulu itu ketakutan yang nyata. Yang diakui oleh pemerintah pusat sebagai eforus adalah DR PWT Simanjuntak. Sementara itu HKBP Palembang justru telah resmi menyatakan menolak DR PWT Simanjuntak. (Surat penolakan itu telah kami kirim kepada Presiden Soeharto, tembusannya kepada para menteri terkait, Muspida Sumsel dan bahkan sampai Polsek dan Koramil segala). Tiba-tiba saja anggota jemaat kami, terutama yang memiliki jabatan di pemerintahan “menghilang” dari gereja dan tak pernah kelihatan lagi mengikuti ibadah Minggu lagi. Hanya dua-tiga orang saja yang tetap tampak berani “nongol” di gereja kami. Salah satunya: Kolonel Pol PF Hutauruk. Dia rutin datang beribadah bersama istrinya dan langsung pulang begitu selesai ibadah, tanpa pernah satu kali pun mengobrol dengan kami. Namun kehadirannya sangat membesarkan hati kami.

Aku punya prinsip orang yang merasa terjepit jangan dipojokkan, tetapi kalau bisa dilepaskan, minimal dilegakan perasaannya. Karena itu bila bertemu dengan para anggota jemaat “elit” ini di pesta atau di pertemuan lain aku tetap berusaha bersikap wajar seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kepada beberapa orang malah kukatakan, tak apa-apa jika mereka sementara “menjauh” dari kami atau bahkan pura-pura tak kenal secara pribadi dengan kami pendetanya. Aku mengerti posisi mereka sangat sulit sebagai pegawai negeri. Namun di pihak lain, kepada beberapa orang yang kuanggap potensial dapat menohok kami dan mendukung “lawan” kuperingatkan masalah HKBP ini adalah “bara api”, sebaiknya jangan dipegang, bisa-bisa nanti mereka malah kehilangan jabatan. (Aku tahu bagi orang tipe begini yang paling penting dalam hidup ini sebenarnya bukan Tuhan tetapi jabatannya, karena itu peringatanku berhasil.)

DAPOT ANAKNA DAPOT INDUNGNA
Ada fenomena menarik. Walaupun sebagian besar anggota jemaat kami yang punya posisi di pemerintahan “menghilang” namun istri dan anak-anak mereka tetaplah aktiv beribadah di HKBP Palembang. Aku menangkap hal ini sebagai sinyal di lubuk hatinya yang terdalam mereka bersimpati pada kami, namun tidak berani mengambil sikap terang-terangan. Maklumlah saat itu masih jaman Orde Baru. Pegawai Negeri belum sepenuhnya sadar bahwa mereka sebenarnya adalah abdi negara dan bukan kaki-tangan pemerintah atau partai yang sedang berkuasa. Kebetulan aku adalah pendeta khusus pemuda yang sedang giat-giatnya melayani kaum muda. Remaja-remaja dan pemuda anak-anak pejabat ini banyak sekali yang aktiv di kegiatan gereja, dan tetap aktiv walaupun konflik HKBP sudah pecah. Mereka merasa sangat bergairah dan bertumbuh gembira di gereja kami. Lama-lama aku tahu ada pameo Batak yang berbunyi: dapot anakna dapot indungna. Artinya: kalau mau menangkap burung, tangkaplah anaknya. Berhubung anak-anaknya aktiv di gereja kami, dan sedikit-banyak sayang padaku, akibatnya ibu dan bapaknya juga suka tidak suka tetap juga bersama kami.

(Pesan moral kepada para pendeta: layanilah baik-baik remaja dan pemuda HKBP. Suatu saat pasti ada untungnya.)

BAKORSTANASDA SUMBAGSEL BISA JUGA NETRAL
Namaku Taruli Asi. Artinya: kebagian belas kasih. Juga di saat konflik HKBP. Pada saat itu Kodam Sriwijaya merangkap Bakorstanasda Sumbagsel dikomandoi oleh Mayjen Syamsir Siregar. Dari marganya ketahuan ia juga seorang Batak Angkola. Muslim yang taat. Aku tidak mengenalnya secara pribadi. Namun kami mendapat informasi dari orang terpercaya bahwa beliau, entah kenapa, punya kesan yang sangat negatif terhadap DR Sountilon Siahaan, yang didukung Mayjen Pramono menjadi Pjs Eforus lantas jadi Sekjen HKBP. Katanya ada kejadian yang tidak mengenakkan hati Mayjen Syamsir Siregar sewaktu tugas di Bandung. Aku tidak tahu persis apa masalahnya. Namun yang jelas kami mendapatkan dampak positifnya. Beliau tidak mau mencampuri masalah HKBP dan lebih mementingkan keamanan Sumatera Selatan saja. Berhubung Pangdam Sriwijaya/ Ketua Bakorstanasda Sumbagsel netral dan memerintahkan seluruh jajaran tentara di bawah komandonya netral, maka perwira-perwira menengah tentara dan polisi yang kebetulan berlatar belakang Batak (apalagi anggota HKBP) tentu saja tidak berani nekad neko-neko mencampuri masalah HKBP di Palembang. Hasilnya Sumatera Selatan aman selama konflik HKBP. Skor 3-0 untuk kami.

MENANG TAPI TAK BAHAGIA
Kami telah “menguasai” Palembang dan Plaju. Kelompok Tiara tidak berkutik. Jumlahnya tak sampai seratus orang dan mereka telah menyingkir sendiri, menumpang di sebuah gereja PKB dekat Lapangan Hatta. Aku benar-benar memposisikan diriku sebagai “pemimpin” perang mempertahankan konstitusi HKBP di bumi Sriwijaya ini dan kami sedang di jalan menuju kemenangan. Aku boleh berbangga dengan “prestasiku”, tetapi fakta menunjukkan aku sama sekali tidak bahagia. Kelompok Tiara memang “kalah”, tetapi jiwaku luka. Malam-malam hidupku kulalui dengan rasa takut, gelisah dan mimpi buruk. Aku selalu merasa terancam dan di mana-mana merasa tidak aman, termasuk di rumahku sendiri. Saban hari walau tak kerja berat aku capek sekali, fisik dan psikis. Keadaan ini sungguh sangat bertolak belakang dengan dua tahun pertama penempatanku sebagai pendeta di HKBP Palembang yang berisikan keindahan dan kedamaian semata.

Hati kecilku mengatakan aku benar atau lebih tepat di garis yang benar. Ya, aku sedang berdiri membela konstitusi HKBP, independensi gereja, dan sikap kritis agama-agama terhadap kekuasaan. Namun membuat sekelompok orang saudara dan sahabatku sendiri tersingkir dan harus angkat kaki dari gereja HKBP Palembang bukanlah panggilanku sebagai pendeta. Aku terbelah. Aku bukan orang jahat yang suka melihat orang lain menderita. Aku juga bukan parbada atau tukang berkelahi. Aku pada dasarnya orang baik-baik seperti “lawan-lawanku” di Lapangan Hatta. Tapi apakah ada pilihan lain
bagiku?

Lewat instansi polisi kelompok Tiara menuntut agar diberikan kesempatan mengadakan kebaktian terpisah di gereja HKBP Palembang atau menggunakan gereja lama di Jalan Sakyakirti yang sudah lama kosong tidak terpakai. Kami tegas-tegas menampik. Tidak bisa. Pokoknya tidak bisa. Aku setuju dalam konflik kita tidak boleh memberikan celah sedikit pun kepada “lawan” untuk melakukan penetrasi. Itu berbahaya sekali. Lagi pula yang terpenting kami sudah merasa di atas angin, untuk apa lagi kompromi? Aku pun mengeraskan hatiku. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku aku mengakui bahwa kelompok Tiara sebenarnya juga berhak menggunakan fasilitas gereja HKBP Palembang yang sekarang kami kuasai. Mereka bukan siapa-siapa, tetapi saudara dan sesama anggota HKBP di sini. Lebih dari itu mereka juga kontribusi membangun gereja besar HKBP Palembang yang sangat megah ini. Gereja ini milik bersama dan bukan milik kelompokku apalagi milik pribadiku. Sebenarnya lebih tepat gereja ini milik Tuhan, artinya bukan milik seorangpun yang bukan Tuhan.

Namun, bagaimana dengan kawan-kawanku kelompok pro-Aturan di Sumatera Utara yang diusir secara paksa dan menggunakan kekerasan dari gereja mereka, dan harus mengadakan kebaktian sembunyi-sembunyi atau mendirikan tenda darurat (parlape-lapean) di sawah kering atau jalan aspal karena dikejar-kejar aparat keamanan dan preman? Bagaimana dengan kawan-kawanku pendeta dan naposo HKBP pro Aturan yang ditangkapi, ditahan tanpa prosedur, disiksa di tahanan polres Tarutung dan bahkan di penjara militer Gaperta Medan? Aku pun kembali mengeraskan hatiku. Aku tak mau rasa belas kasihan membuat aku jadi lemah. Perang mempertahankan konstitusi ini belum selesai. Aku harus kuat.

Terhadap permintaan kelompok Tiara Palembang lewat Polda agar mengadakan kebaktian bergilir, kami membuat alasan untuk menampik, yaitu: agar kebaktian bergilir dijadikan kebijakan nasional atau sinodal. Jika kelompok pro Aturan di Sumatera Utara diijinkan menggunakan gereja maka kami dengan senang hati dan segera juga memberikannya. Tentu saja alasan kami muskil diterima oleh mereka yang sedang menguasai Pearaja. Jika kebaktian bergilir diadakan, dan jemaat dibebaskan memilih kemana hendak beribadah, maka aku yakin sebagian besar jemaat HKBP yang ragu-ragu akan memilih kami. Berhubung DR PWT Simanjuntak dan DR SM Siahaan tidak mau kebaktian bergilir, maka sori saja, di Palembang juga kami tak mau kebaktian bergilir. Cukup adil kan?)

Malam itu hujan lebat. Antoni dan Pittor, dua naposo yang tinggal bersamaku sudah tidur di kamar depan. Aku sendiri. Angin bertiup kencang lewat ventilasi kawat ayam kamar rumahku yang bekas bedeng pembangunan HKBP Palembang. Aku terbayang wajah Masnida. Wajah Masnida yang sedang tertawa. Tapi aku menangis terisak dengan tangan terkepal marah. Sensenina. Apa yang telah kulakukan Tuhan?

Nama lengkapnya Pdt Masnida Tiur Niida Sihombing. Dia temanku sekelas di STT Proklamasi. Kami hanya bertiga asal HKBP di angkatan 1983 STT Jakarta (seorang lagi Soaduon Napitupulu). Aku dan Masnida bukan hanya kawan sekelas tetapi telah mar-ito. Abang-adik. Panggilannya: Erik. Pacarnya Eddy Rade, sahabatku, dia telah menjadi pendeta GPIB di pedalaman Kalimantan. Semasa praktek Masnida di HKBP Doloksanggul, tinggal sendiri di sebuah rumah kayu yang posisinya sudah miring. Aku kasihan sekali padanya tapi dia selalu ketawa-ketawa di rumah yang saban angin bertiup itu terancam rubuh. Kami pernah sama-sama ke Jerman membawa rombongan pemuda Humbang. Kami juga sama-sama ditahbis di Tanjung Balai. Aku lantas ditempatkan di Palembang dan dia ditempatkan di gereja besar HKBP Sudirman Medan.

Tapi dimanakah Masnida sekarang? Ya, dimanakah kau? Apakah kau masih hidup? Aku
mendengar kabar halilintar kau ikut ditahan di penjara militer Kodam Bukit Barisan di Gaperta Medan. Sejak kecil di Medan aku sudah sering mendengar cerita-cerita penyiksaan di RTM (Rumah Tahanan Militer) yang dulu terletak di Jalan Mahatma Gandhi itu. Semua orang Medan tahu lolong-lolong kesakitan orang-orang yang ditahan di sana. Kamar gelap penyiksaan. Kolam lintah. Setrum listrik memaksa pengakuan tahanan. Ah. Aku tak sanggup meneruskan memikirkan apa yang bisa sedang terjadi terhadap Masnida, kawan sekelasku dan ito-ku, seorang pendeta perempuan HKBP di penjara militer. Oh Tuhan! Sensenina. Apa yang telah aku lakukan? Aha do naung hubaen Tuhan?

Kesedihanku mengeras menjadi kebencian. Ya aku mendendam. Aku akan menghajar kelompok Tiara di Palembang ini. Aku tidak rela kawan sekelasku, ito-ku, dipenjara dan disiksa di Gaperta, hanya karena ikut berdemonstrasi damai menolak SK Bakorstanasda Sumbagut mengangkat DR SM Siahaan menjadi Pj Eforus. Dia tidak salah. Lihatlah, kataku kepada diriku sendiri. Aku janji tidak akan memberi kesempatan sedikit pun kepada kelompok Tiara di Palembang sampai kapan pun. Hanya itulah yang bisa kulakukan sebagai pembalasanku terhadap luka dan memar di tubuh dan jiwa ito-ku Erik.

DIPECAT DARI HKBP?
Bersama 143 (baca: seratus empat puluh tiga) orang pendeta HKBP lainnya aku sudah “dipecat” oleh Eforus HKBP dukungan pemerintah DR PWT Simanjuntak. Nama-nama kami dicantumkan dalam Almanak terbitan mereka. Tentu saja pemecatan itu tidak berarti dan berdampak apa-apa bagiku sebab kami punya Eforus sendiri, yaitu: Ompu i DR SAE Nababan. Kepemimpinannya eksis. Menurut konstitusi dan nurani kami dia masih sah sebagai Eforus.
(Sekarang aku telah mengakui DR PWT Simanjuntak dan DR SM Siahaan pernah eforus dan sekjen HKBP, dulu sebelum rekonsiliasi 1998 aku hanya mengakui mereka sebagai pendeta. Aku sadar dan ikhlas HKBP saat itu memang terbelah. Pada saat yang sama kami pernah punya dua Eforus. )

Namun di sini aku belajar lagi tentang satu hal lagi yang sangat penting dan menentukan dalam kependetaan, yaitu: pengakuan jemaat. Aku bersama-sama kawanku pendeta di Palembang dan Plaju tetap diakui oleh jemaat HKBP Palembang sebagai pendeta yang sah. Bahkan anehnya, dalam konflik ini aku justru merasakan kependetaanku bukan saja tidak berkurang sedikit pun tetapi malah semakin kuat dan teguh. DR PWT Simanjuntak dan DR SM Siahaan menganggap kami pembangkang, pemberontak, atau bahkan bandit. Tetapi, sebagian besar jemaat HKBP Palembang menganggap kami justru sebagai pendeta yang berani bersikap profetis, idealis dan berani menentang arus.

Dalam perjalanan waktu aku terus bertumbuh dalam kesadaran ini. Jabatan dan tugas kependetaan juga di HKBP tidaklah ditentukan semata-mata oleh secarik kertas yang bernama Surat Keputusan. Aku tidak mengatakan SK Kantor Pusat tidak penting. Itu sangat penting dalam rangka organisasi HKBP. Tapi ada yang lebih penting lagi: pengakuan jemaat. Tanpa pengakuan jemaat, SK penempatan pendeta itu tidak berarti sama sekali. Sebaliknya tanpa SK sekali pun, jika jemaat menerima dan mengakui kita sebagai pendeta, hamba Tuhan-nya, maka banyak hal bisa kita lakukan dan layani.)
Ada kisah menarik. Seperti sudah kusinggung di atas, daftar pendeta yang dipecat kelompok Tiara ini dimasukkan dalam Almanak keluaran mereka. Almanak itu beredar dimana-mana. Seorang perwira menengah tentara mengatakan kepadaku ini adalah blunder atau kesalahan besar yang dilakukan oleh DR PWT Simanjuntak. Dengan mencantumkan nama 143 orang pendeta yang dipecat di Almanak (bandingkan dengan 16 orang pendeta kelompok PM Sihombing yang dipecat oleh DR SAE Nababan), sebenarnya tanpa sadar DR PWT Simanjuntak dan DR SM Siahaan telah mengumumkan sendiri kepada publik betapa banyaknya musuh mereka. Mengapa? Satu pendeta katanya paling sedikit memiliki 3 orang kawan. Itu artinya musuh mereka sebenarnya hampir 500 orang pendeta. Itu belum termasuk keluarga, kerabat, dan pengikut pendeta yang bersangkutan. Pantas saja kataku!

Aku mendapat pencerahan lagi. Tahun 1988 Eforus Nababan memecat 16 orang pendeta anggota kelompok mantan Sekjen PM Sihombing. Akibatnya HKBP gonjang-ganjing selama enam tahun. Kini Eforus bentukan pemerintah PWT Simanjuntak memecat 143 orang pendeta. Akibatnya gempa bumi. Tsunami. Mau diulang lagi?)

PENDIDIKAN POLITIK BAGI GENERASI APOLITIS
Orde Baru yang berkuasa sejak tahun 1968 berhasil melakukan depolitisasi masyarakat Indonesia. Generasi muda Indonesia termasuk naposo HKBP tumbuh menjadi generasi apolitis atau “steril” yang sangat alergi kepada politik. Akibat ajaran Soeharto politik dianggap kotor, jahat dan najis. Sebaliknya pembangunan ekonomi itu baik dan suci. Orang muda saat itu banyak yang belum sadar bahwa dengan melakukan depolitisasi masyarakat, Soeharto sebenarnya telah menjadikan dirinya satu-satunya mahluk yang boleh berpolitik dan berkuasa. Lihai sekali. Aku sudah lama tahu Soeharto licik (aku membaca pledoi Heri Akhmadi sewaktu masih SMP). Namun dia telah berhasil menghancurkan seluruh kekuatan masyarakat dan membangun sebuah sistem politik otoriter dan represif yang seluruhnya mendukung pribadinya untuk berkuasa selama-lamanya. Itu artinya aku harus memakai akal kancil kalau mau survive mempertahankan nurani dan akal sehatku. Apalagi pada dasarnya aku penakut.
Aku masih ingat bagaimana terkejut atau shock-nya naposobulung HKBP Palembang ketika tahun 1992 aku menyatakan diriku Golput. Aku tak mau ikut Pemilu. Alasanku: aku tak percaya satu pun partai politik dan aku tidak ingin memberi legitimasi bagi kekuasaan mereka. Anak-anak muda gereja yang baik-baik dan manis-manis ini “tergoncang imannya”. Mereka sama sekali tidak menyangka pendetanya begitu berani terang-terangan melakukan “dosa” tidak ikut Pemilihan Umum itu. Waktu itu ikut Pemilu dianggap seperti kewajiban (bukan hak), sehingga tidak ikut Pemilu dianggap jahat atau dosa. Aku berkilah sambil senyum tak ada gunanya mengikuti Pemilu yang pemenangnya sudah ditentukan sebelumnya. Itu sandiwara politik. Aku tak mau main sandiwara.

Namun kini naposo HKBP mendapat pelajaran politik yang sangat bagus langsung dari realitas sosial-politik yang kami alami. Tepatnya pelajaran: etika politik. Lebih bagus lagi pake istilah: Pendidikan Kewarganegaraan. Aku memakai HKBP sebagai studi kasus tentang Hubungan Gereja dan Negara. Anak-anak muda ini antusias sekali. Kami mendiskusikan intensif bagaimana sesungguhnya sikap alkitabiah terhadap pemerintah dan negara. Bahannya selain dari Alkitab (Roma 13, Wahyu 13, kitab para nabi dll) adalah langsung dari “buku kehidupan”, pengalaman HKBP diobok-obok oleh pemerintah Orde Baru. Padahal tadinya sebelum konflik HKBP aku sulit sekali mengajarkan kesadaran berpolitik atau bernegara kepada anak-anak muda gereja. Mereka lebih gampang (juga lebih suka) menangkap not-not balok atau not-not angka dan menyanyikannya dengan harmoni empat nada ketimbang pengetahuan politik negeri yang bernama Indonesia ini. Tapi kini mereka mulai tertarik kepada civics. Puji Tuhan.
Menurutku para naposo juga sudah mulai dapat membedakan antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah (partai) yang sedang berkuasa. Kepentingan pemerintah (partai) harus ditempatkan dibawah kepentingan negara. Pemerintah bukan negara. Pemerintah hanyalah salah satu unsure negara (unsur lainnya tanah air dan rakyat). Kekuasaan pemerintah sebab itu harus dibatasi dan diawasi, dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Negara hanya bisa memaksakan ketaatan hukum dan bukan ketaatan moral dan hati. Presiden harus periodik. Dan lain-lain. Aku dengan senang hati menjelaskan semua yang kutahu. Apalagi aku sudah tamat membaca buku Etika Politik karangan Von Magnis Soeseno dan disertasi DR Eka Dharma Putra tentang Iman Kristen dan Pancasila.

ROMA 13: TAATILAH PEMERINTAH
Pertanyaan yang paling banyak diajukan oleh jemaat kepada kami pada masa konflik HKBP adalah Roma 13, yaitu bagian surat Rasul Paulus kepada jemaat Roma yang menyuruh orang-orang Kristen agar taat kepada pemerintah, sebab pemerintah adalah hamba Allah. Ini adalah bagian Alkitab yang paling disukai oleh kelompok Tiara karena dianggap mendukung tindakan mereka menyingkirkan Eforus SAE Nababan dan mengikut pemerintah. Sebaliknya kami paling suka Wahyu 13 dan kitab para nabi sebab di sana dianjurkan sikap kritis kepada pemerintah. Aku tak jemu-jemunya menjelaskan bahwa Roma 13 harus dipahami dalam kerangka ketaatan kepada Allah dan bukan menduakan Allah. Di sana jelas disebutkan pemerintah hanyalah hamba Allah dan bukan Allah itu sendiri. Kewajiban taat orang Kristen kepada pemerintah hanyalah sepanjang pemerintah memposisikan dirinya sebagai hamba Allah (baca: hamba hukum, kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan). Jika pemerintah mulai memposisikan dirinya sederajad atau bahkan identik dengan Allah yang harus ditaati mutlak, maka orang Kristen tidak wajib lagi taat, sebaliknya dipanggil menyampaikan suara kritis kepada pemerintah. Begitulah ceramahku berulang-ulang.

“KUTU DALAM SELIMUT”
Aku mendapat informasi tak mengenakkan. Ketua naposobulung kami kami “main mata” dengan kelompok Tiara. Gawat. Mula-mula aku tak percaya dan menganggap rumor yang berkembang di kalangan naposo itu tak ada. Namun, kali ini aku benar-benar tersengat. Entah bagaimana ada surat dari Pearaja yang nyasar ke HKBP Palembang (mungkin mereka lupa alamat kelompok Tiara di Palembang). Surat itu menyatakan bahwa ada orang yang bisa membantu kelompok Tiara masuk ke HKBP Palembang, yaitu ketua NHKBP Palembang sendiri. Namanya: Rantus (bukan nama sebenarnya). Darahku mendidih. Aku berusaha menahan emosi. Kupikir anak ini harus diperingatkan. Aku tak mau ada “kutu busuk dalam selimut”, apalagi dengan posisi sebagai Ketua Naposobulung. Itu riskan sekali. Tapi bagaimana? Anak ini masih muda sekali. Dia punya masa depan yang cerah. Sebagai pendeta yang ditugaskan membina naposo aku tidak sampai hati menyingkirkannya.

Akhirnya aku memanggil Rantus dan berbicara empat mata. Aku membujuk dia agar mengaku dan aku berjanji akan melindunginya. Sebab aku tahu betul naposo yang lain pasti akan marah dan dia bisa dikucilkan di gereja, lingkungan kos, maupun kampus. Namun Rantus menjawab berbelit-belit. Dia bukan saja berkelit namun menantang aku apa salahnya jika dia kontak dengan DR PWT Simanjuntak. Aku mencoba sekali lagi membujuknya. Aku mengingatkan bahwa masalah HKBP bagiku adalah soal hidup-mati. Ini soal prinsip. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun “musuh” berkeliaran di kompleks gereja ini. Dia tetap tak bergeming. Akhirnya aku meminta Dewan Naposobulung mengadakan rapat khusus membahas masalah ini. Naposo Palembang sudah tak sabaran lagi. Semua pengurus komisariat mengajukan mosi tak percaya. Ketua Naposo pun segera berganti. Rantus pun pergi. Aku merasa lega, tapi sekali lagi hatiku luka. Aku tak bahagia. Tugasku sebagai pendeta bukanlah menyingkirkan orang apalagi seorang mahasiswa. Tapi ini jaman perang, aku tidak punya pilihan. Kami adalah orang-orang malang.

KETIKA HARUS MEMILIH DAMAI ATAU KEBENARAN
Konflik HKBP tidak saja memecah gereja, tetapi juga persahabatan, keluarga dan hubungan persaudaraan. Di banyak tempat juga memecah marga-marga dan adat Batak.Orang-orang yang berbeda kubu dalam masalah HKBP tidak lagi saling menyapa, saling mengundang atau saling meneguhkan. Ya, konflik besar ini telah melukai begitu banyak orang, termasuk aku dan keluargaku. Suka atau tak suka, hubunganku dengan beberapa orang yang tadinya sangat akrab denganku kini renggang dan bahkan putus. Selain kelompok Tiara yang jelas-jelas telah memisah ke gereja di Jalan Lapangan Hatta, hubunganku dengan beberapa anggota jemaat yang secara formal masih bersama kami namun hatinya condong ke sana juga rusak atau minimal terusik. Kalau bertemu paling-paling hanya bisa berbasa-basi sebentar, kemudian mengambil jalan sendiri-sendiri.

Aku bersyukur bahwa semua kami yang bersaudara kandung segaris denganku. Tapi para saudaraku yang lain, amangboru dan namboru-ku, sepupu-sepupuku dari pihak ayah (sebagian besar mereka tidak lagi di HKBP) dan bapauda-ku sendiri adalah orang-orang yang sangat anti SAE Nababan, dan dalam setiap pertemuan keluarga selalu menjelek-jelekkannya. Ibu kandungku sendiri yang sudah berusia lebih dari 65 tahun justru pengagum fanatik SAE Nababan dan dia ikut dipecat bersama 23 orang ina parari kamis HKBP Sudirman oleh Pdt Halashon Silitonga. Repot dan susah sekali jadinya.

Mau pilih damai atau kebenaran? Mayoritas orang pada jaman Orde Baru menurutku pastilah memilih “damai”. Kebenaran sering menyakitkan dan sekarang malah membuat pertikaian. Sebaliknya “damai” itu indah. Tapi aku sangat bergumul. Menurutku tidak mungkin kita hanya memilih salah satu. Apakah arti damai tanpa kebenaran? Sebaliknya, apakah makna kebenaran tanpa damai? Aku mau dua-duanya. Aku ingin konstitusi tegak tapi dengan cara damai. Pada saat yang sama aku mau berdamai tapi tidak dengan mengorbankan konstitusi, prinsip gereja, iman dan hati nurani. Namun konflik HKBP tidak mengijinkan aku memilih keduanya sekaligus. Bagaimanapun sakitnya aku harus memilih satu. Dengan duka aku memilih kebenaran (yang kuharapkan akan membawa aku ke dalam damai yang sejati.)

Namun aku sadar dalam konflik HKBP selain kubu Pro Aturan dan kubu Pro Tiara, sebenarnya masih ada kubu lain: kubu netral (baca: tak perduli). Sebagian besar mereka ada di Jakarta di gereja-gereja besar dan kaya. Terus terang aku lebih hormat kepada “lawan-lawanku” dari pihak DR PWT Simanjuntak dan DR SM Siahaan ketimbang kelompok tak jelas yang selalu mengaku netral dan tidak memihak kemana-mana ini.
Sebagian mereka mengatakan malu (takut?) berkelahi. Sebagian lagi mengatakan mereka bukan pengikut SAE Nababan atau PWT Simanjuntak, tetapi pengikut Tuhan Yesus ke surga. Menurutku mereka sebenarnya, maaf, pemuja rasa aman. Nilai tertinggi dalam jiwa mereka sebenarnya adalah keamanan dan kenyamanan dirinya. Sikap netral itu hanyalah alasan yang dikarang-karang. Sebab ketika 500 orang pendeta dan anggota jemaat HKBP di Sumatera Utara ditangkapi tanpa prosedur hukum, dihambat beribadah dengan menggunakan kekerasan, menurutku tidak ada seorang pun di HKBP yang bisa mengatakan lagi dirinya netral terhadap masalah HKBP ini. Bahkan tidak ada orang yang bisa berkelit mengatakan: aku tidak tahu. Konflik HKBP sedemikian dahsyat bagaikan gempa bumi yang meluluh-lantakkan komunitas Kristen-Batak di seantero Nusantara. Seluruh masyarakat termasuk yang bukan Kristen tahu masalah itu. Mustahil ada orang HKBP yang tidak tahu. Kemungkinan besar mereka tidak mau tahu. Tak perduli atau tak mau ambil pusing.

Aku suka memberikan tamsil untuk membuat orang-orang “netral” ini sadar. Ada seorang anak kecil dipukuli oleh ayahnya dan saudara-saudaranya serta Hansip di pasar memakai kayu dan besi sampai berdarah-darah. Apakah pendapatmu jika ada seorang anggota keluarga si anak yang melihat kejadian itu dan mengatakan dia netral? Munafik! Lantas apa pula pendapatmu jika ada anggota keluarganya yang lain melihat kejadian anak kecil disiksa itu dari jauh kemudian pergi tenang-tenang berdoa dan bernyanyi haleluya, lantas tanpa rasa bersalah mengatakan aku tidak tahu masalah, yang penting mereka damai? Aku tak mau mengucapkannya, nanti aku dianggap kasar sekali.

(Dalam sebuah kotbah dari mimbar aku membuat ilustrasi. Ada 3(tiga) orang berdoa. Pertama seorang kubu Tiara. Dia berdoa: Ya Tuhan, habiskanlah orang-orang SSA ini. Mendengar itu orang SSA atau pro Aturan juga berdoa: Ya Tuhan, hancurkanlah kelompok Tiara ini. Kemudian berdoalah anggota HKBP yang netral mengatakan: Ya Tuhan, kabulkanlah permintaan kedua kelompok ini.

KILAS BALIK KE MASA DAMAI
Aku tak mau kau salah sangka seolah-olah kerjaku di Palembang hanyalah “berkelahi” dengan kelompok Tiara. Tidak. Aku ditempatkan di Palembang September 1991, tiga minggu sebelum gedung gereja HKBP terbesar di Indonesia ini diompoi, ditahbiskan oleh Eforus DR SAE Nababan, dan diresmikan oleh Gubernur Ramli Hasan Basri. Saat itu kami, termasuk mereka yang sekarang menjauh, margondang lima hari lima malam, berpesta besar merayakan selesainya gereja yang sangat besar dan megah (melampui besarnya HKBP Rawamangun!). Tentu saja aku saat itu lebih banyak diam manis-manis. Maklumlah aku pendeta baru. Tapi sesudah itu aku mulai bekerja di tengah-tengah pemuda. Mitraku adalah St RU Manurung, yang menjabat Ketua Dewan Naposobulung.

KOTBAH TELADAN HIDUP
Seniorku Pdt Ben Parhusip adalah pendeta resor yang luar biasa. Dia pendeta yang sangat sederhana. Istrinya sederhana. Anak-anaknya bersahaja. Dia mengajar aku menjadi pendeta dengan teladan hidupnya. Terutama melalui kejujurannya mengenai uang dan kesetiaannya melakukan tugas kependetaan. Mungkin dalam hal berkotbah dia bukan orator yang hebat, namun kotbahnya sangat berisi karena dia bergumul dengan kotbahnya dan mempersiapkannya sungguh-sungguh. Terutama dia mengkotbahkan apa yang sungguh-sungguh dipercaya dan dilakukannya sendiri. Aku berhutang banyak sekali padanya. Kadang aku membayangkan dia adalah Abraham dan aku adalah Lot. Dalam kisah Alkitab Abraham selalu mempersilahkan Lot keponakannya memilih duluan dan sisanya baru untuknya. Jika ada berkat, Pdt Ben Parhusip, selalu memaksa kami mengambil duluan dan dia belakangan. Itu takkan bisa kulupakan. Bila ada undangan berkotbah di luar HKBP, apalagi di Pertamina atau di PT Pusri, entah kenapa dilimpahkannya kepadaku. (Jujur aku tak pernah lupa membagikan “berkat” yang kuterima dari sana kepadanya.) Uang-uang hamauliateon atau terima kasih dari jemaat kepada pendeta selalu dikumpulkan, nanti awal bulan dibagi-bagi kepada semua pendeta dan pelayan lainnya. Selama lima tahun aku dan Guru Huria SM Manullang ditunjuk sebagai petugas pembagi uang itu. Memang mengingat tanggungjawabnya yang lebih besar kami selalu memberikan dia lebih banyak, tapi dia selalu ingin bagi rata saja. Manalah bisa kataku.

Banyak sekali pelajaran yang kudapatkan dari seniorku ini. Aku hanya mau mengatakan satu saja lagi, yang terpenting: tiap pagi sebelum jam tujuh aku pasti mendengar keluarga ini bernyanyi memuji Tuhan di meja makan. Bagaikan asap dupa yang naik ke surga yang ikut membawa doa-doaku naik ke sana.

TIM YANG SOLID
Kami di HKBP Palembang memiliki tim yang bukan saja solid tetapi benar-benar kompak. Selain aku ada Pdt Lintong Saragih. Dia adalah pendeta tentara di Kodam Sriwijaya. Pangkatnya saat itu baru Kapten. Badannya sangat sehat dan atletis. Dia benar-benar pendeta sekaligus prajurit yang berdisiplin. Setelah appel dan melaksanakan tugasnya di Makodam dia selalu datang ke gereja HKBP Palembang dan masuk ke kantor kami dengan kemeja lengan pendek kotak-kotak dan celana hijau. Baju dinasnya digantungnya di mobil. Aku tak pernah satu kali pun melihat dia membawa pestol. Dia benar-benar seorang yang rendah hati dan ramah. Hobinya menarik: meminta sumbangan kepada para Kapolsek yang kebetulan Batak-Kristen dan bertugas di sepanjang sungai Musi untuk mau membelikan jemaat-jemaat pagaran yang miskin sebuah organ untuk dipakai mengiringi kebaktian. Kami selalu ketawa-ketawa.

Juga ada Pdt Riaulina Simanjuntak yang kelak berseberangan dengan ayahnya di Cirebon dalam masalah HKBP. Ada Diakones Delfrita Napitupulu yang kecil-kecil sangat berani. Dan ada Guru Huria SM Manullang. Setiap bulan kami arisan, berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Tak penting si empunya rumah sudah menikah atau belum, pokoknya pada gilirannya kumpul di rumahnya. Indah sekali. Keindahan persekutuan kami nampak jelas kepada jemaat. Mereka senang sekali melihat kami kompak dan padu. Aku masih ingat kata-kata Pdt Ben Parhusip: kita harus bersatu kalau tidak kita akan disaok oleh jemaat. Maksudnya: diaduk-aduk di kuali.

PEMBINAAN PEMUDA
Sejak pertama Pdt Ben Parhusip memberikan tugas kepadaku untuk benar-benar membina pemuda. Pokoknya urus Naposobulung, tugas-tugas lain aku yang kerjakan. Itulah kata-katanya dan itu memang benar terjadi. Praktis aku tidak melakukan tugas-tugas lainnya. Hanya sesekali saja dia meminta aku mengubur orang mati. Petugas pemberkatan nikah dibuatnya bergilir.

Atas kepercayaan dan dukungan penuh Pdt Ben Parhusip lah aku mulai menggalang pembinaan pemuda HKBP di Palembang. Namun harus kusebut bukan aku yang memulainya, aku hanya tinggal meneruskan saja dan mengembangkan sedikit di sana-sini. Sebelum aku ada Pdt Nortje Lumbantoruan, Pdt Juaksa Simangunsong, Pdt Gomgom Aruan dan Pdt Mangara Siagian. Mereka adalah para perintis pelayanan pemuda di lembah sungai Musi ini.

HKBP Palembang memang unik. Gereja ini punya tradisi mengundang pendeta khusus pelayanan pemuda, yang biasa disebut Pendeta NHKBP. Setahuku di seluruh HKBP hanya ada 3(tiga) jemaat yang selalu punya pendeta pemuda, yaitu: HKBP Sudirman Medan, HKBP Kedongdong Surabaya, dan HKBP Palembang. Beberapa jemaat HKBP yang menjadi sentra pemuda dan mahasiswa seperti Bandung, Jakarta, Jogjakarta justru tidak mengenal pendeta NHKBP. Aneh.

KOMISARIAT
Para naposo HKBP Palembang dibagi-bagi dalam enam komisariat, dengan memakai nama-nama tempat di Alkitab: Betlehem, Jerusalem, Gosen, Moria, Hermon, Nazareth. Terakhir aku menyumbang satu lagi: Efrata. Letaknya di kampus Universitas Sriwijaya Indralaya, 30 kilometer dari Palembang.
Komisariat-komisariat secara rutin mengadakan kebaktian dan PA (Pemahaman Alkitab) dua minggu sekali. Yang hadir rata-rata di tiap komisariat 20-30 orang. Bahkan di Nazareth yang terletak dekat kampus Unsri Bukit bisa mencapai 50 orang, dan di Efrata bahkan sampai 70 orang (duduk berhimpit-himpit di rumah kontrakan mahasiswa).
Setiap tahun komisariat-komisariat ini berlomba di kegiatan Pesta Kebangunan NHKBP. Saking fanatiknya membela komisariatnya tidak jarang terjadi pertengkaran atau bahkan perkelahian antar naposo di lapangan olahraga. Aku sendiri sebagai pendeta yang juga masih sangat muda menganggap itu hal biasa. Yang penting jangan berkelahi pakai alat, kataku. Toh nanti juga berdamai lagi. Namanya juga anak muda, enerjinya selalu berlebihan dan semangatnya luar biasa.

Selain mahasiswa dan penganggur, sebagian Naposobulung sudah bekerja, dan ada yang berprofesi sebagai polisi dan tentara dan mereka tentu saja ingin juga ikut berlomba. Namun berhubung mereka langsung datang dari tempat tugas dan berseragam, kadang pestolnya masih ikut di pinggang. Baju seragam berikut pestol itu harus dititip selama mereka bertanding volley. Pernah satu kali even aku menerima titipan tiga seragam dan tiga pestol di kamar tidurku. Hatiku sangat cemas menunggu pertandingan selesai dan anak-anak muda ini mengambil lagi miliknya yang berbahaya.

LATIHAN KEPEMIMPINAN
Ada banyak sekali kegiatan naposo. Namun ada satu proyek kami yang paling berhasil: Latihan Kepemimpinan. Aku bersyukur di Palembang bertemu dengan sejumlah senior atau mantan naposobulung. Mereka benar-benar menjadi mitra kerjaku melayani pemuda. Aku harus menyebut nama-nama mereka: Robert Simanjuntak, Rusdi Ritonga, Simson Tampubolon, Marolop Nainggolan, Leo Hutabarat, Pola Pardede, Alm Arfaden Silaban, Shelly Tobing, Riman Sipahutar dan lain-lain. Kami adalah tim yang sangat bagus. Saban tahun, bahkan kadang dua kali setahun, kami mengadakan Latihan Kepemimpinan. Angkatan demi angkatan. (Sampai aku meninggalkan Palembang tahun 1996 kami menyelenggarakan tujuh angkatan.)

Alasan kami naposo HKBP harus punya nilai lebih di tengah-tengah masyarakat. Kami ingin membekali naposo dengan ketrampilan organisasi, komunikasi dan kepemimpinan. Juga kepribadian yang baik dan semangat persekutuan.
Sebab itu kami sungguh-sungguh melaksanakan Latihan Kepemimpinan ini dan terus memperbaiki metodenya sampai kami menemukan modul yang kami anggap paling pas dengan pemuda: partisipatif, dialogis, rekreatif, reflektif, banyak latihan ketrampilan dan minus ceramah.
(Menurutku, pemuda tidak butuh penceramah yang hebat-hebat dengan nama besar selangit, namun sangat butuh instruktur atau pelatih yang tekun dan bertangan dingin. Ya, mirip dengan pelatih basket atau paduan suara yang bukan hanya omong dua jam kemudian pergi, tetapi terus-menerus mendampingi tim sampai memperoleh kemenangan. Aku tak percaya ada paduan suara atau tim basket yang bisa menang hanya dengan mendengar ceramah. Sebab itu aku selalu menyadarkan kawan-kawanku pemuda agar jangan terpesona dengan nama-nama besar. Jangan juga pakai istilah pembicara sebab yang kita butuhkan pelatih dan pendamping setia.)

BELAJAR KOMPUTER
Aku dapat hadiah PC atau komputer rakitan dari Mula, abangku. Tahun 1993 komputer masih dianggap barang mewah dan aku tidak tahu cara menghidupkannya. Sebab itu aku pun les komputer di MDP. Teman-teman sekelasku anak SMP. Instrukturnya menyapa aku Bapak. Aku tak malu. Pokoknya aku harus belajar komputer. Tapi aku hanya tiga minggu les, sebab kerjaku di gereja banyak sekali. Dalam hatiku yang penting aku tahu cara menyalakannya, nanti yang lain-lain kupelajari sendiri. Berhasil. Aku bangga sekali. Alasanku sebagai pendeta pemuda aku harus dua langkah di depan mereka. Hanya dengan begitulah aku dapat sungguh-sungguh menggerakkan dan memimpin mereka.

TEATER RENA
Naposobulung memang sangat kreatif asal diberi lahan kondusif. Seorang mahasiswa kedokteran bernama Posma Siahaan (sekarang dia sudah dokter spesialis) punya hobi unik: teater. Dia membentuk Teater Rena, singkatan dari Remaja-Naposo. Salah satu anggotanya namanya Minar Siahaan. Dia kujumpai lagi kelak di HKBP Rawamangun. Aha. Main drama di gereja. Dampak teater ini luar biasa. Ibadah-ibadah khusus NHKBP Palembang khususnya Natal dan Paskah pun menjadi lain. Aku bekerjasama dengan Posma menyatukan drama dengan ibadah. Jadilah ibadah-ibadah teatrikal yang sangat hangat dan menyentuh. Naposo dan jemaat lain selalu penuh sesak menghadiri ibadah teatrikal itu. Aku bahagia sekali.

PASKAH SUBUH
Namun ada satu kegiatan yang sangat disukai oleh naposo tapi tak kusukai: Paskah Subuh. Naposo selalu ingin berkumpul mulai dari Sabtu sore sampai Minggu Subuh Kebangkitan Yesus. Sebenarnya ini tradisi gereja purba. Vigil easter. Tapi bagiku selalu problem. Aku paling tak kuat begadang dan selalu error kotbah minggu pagi jika kurang tidur. Lagi pula aku merasa tidak kuat harus menjaga lebih dua ratus orang anak muda begadang di kompleks gereja, bernyanyi-nyanyi dan PA. Sebagian besar mereka adalah pemuda baik, tapi tentu saja ada satu-dua naposo yang “nakal”, permisi dari rumah ke gereja malam-malam tapi nyatanya pergi entah kemana. Aku pun mencari akal. Akhirnya kuputuskan Paskah Subuh tetap jalan, tapi dipindahkan ke komisariat-komisariat, di rumah-rumah jemaat. Setiap komisariat didampingi oleh sintua dan natua-tua yang empunya rumah. Aku sendiri tenang-tenang tidur di rumahku mempersiapkan diri kotbah Minggu.

Ada tradisi di HKBP ke kuburan subuh-subuh di Minggu Paskah. Ceritanya panjang sekali. Nantilah kapan-kapan kuberi tahu. Alasan singkat untuk mengenangkan kebangkitan Yesus. Pertanyaanku selalu: mengapa mesti di kuburan? Kenapa tidak kebaktian di gereja saja. Aku sudah beberapa kali mengusulkan di Rapat Parhalado agar Kebaktian Subuh Paskah dilakukan di gereja saja. Itu lebih teologis. Kristus yang bangkit itu sekarang ada di gereja dan di masyarakat, bukan di kuburan sepi. Namun parhalado tidak setuju. Aku sebenarnya jengkel. Yang paling menolak ide pemindahan kebaktian itu ke gereja justru tidak pernah hadir dalam kebaktian paskah di kuburan. Mungkin karena dia tidak punya saudara yang dimakamkan di Palembang ini, mungkin juga ingin tidur nyenyak di rumahnya tapi tak mau mengubah tradisi ke kubur.

Suatu kali kami mengadakan kebaktian subuh di pekuburan Kenten. Dua ratus lebih naposo. Hanya segelintir orangtua. Bilangan jari. Aku berkotbah dari Injil. Yesus Tuhan yang kamu cari itu tidak ada di sini, dia ada di tengah-tengah kehidupan. Mari kita tinggalkan kuburan mencari Dia di tengah-tengah kenyataan hidup. Kami pun segera kembali ke gereja. Saat sermon aku protes keras. Holan hata, kataku. Artinya: asal bunyi. Sejak saat itulah kebaktian Paskah Subuh di Palembang tidak lagi dilakukan di kuburan Kenten, tetapi dalam gereja.

DANA SEHARUSNYA TIDAK MASALAH
Tak usah heran, sejak jaman dulu di HKBP anggaran untuk pelayanan pemuda sangat sulit keluar. Program naposo selalu dianggap menghabiskan uang gereja, termasuk di HKBP Palembang. Padahal kegiatan naposo kami banyak sekali dan beberapa diantaranya sangat butuh dana besar. Aku pun langsung turun tangan melakukan lobi mencairkan uang dari Bendahara. Janjiku pertanggungjawaban akan segera disampaikan paling lambat dua minggu sesudah kegiatan berakhir. Berhasil. Bendahara kommit mengeluarkan dana huria dan Naposo kommit membuat laporan.

(Sampai sekarang aku masih menyimpan laporan-laporan pertanggungjawaban naposo itu. Tingginya bila disusun hampir satu meter. Laporan-laporan itu dibundel rapih dan dijilid oleh naposo. Isilnya selain laporan kegiatan dan evaluasi, juga laporan keuangan termasuk kuitansi-kuitansi dan bon-bon pembelian yang semua diparaf. Hebat.)

Disamping dana huria naposo juga kerja keras mengumpulkan dana. Banyak sekali cara mengumpulkan dana. Antara lain meminta sumbangan langsung ke rumah-rumah jemaat. Itu tradisi. Namun ada sejumlah donatur tetap. Diantaranya pengusaha M Tampubolon, gelarnya Organda, yang sekaligus menjadi anggota Dewan Naposobulung. Dia penyandang dana tetap naposobulung dan sangat dekat secara pribadi denganku. (Namun setelah konflik kami berbeda jalan, putus jugalah dana dari beliau. Ya resiko.) Namun ada lagi sumber dana yang lain. Berhubung pelayanan pemuda di HKBP Palembang sudah lama sekali, telah terbentuk komunitas mantan naposobulung, mereka menjadi sumber dana NHKBP yang tak pernah kering. Senior-senior ini tak pernah jemu-jemu membantu naposobulung. Alasannya sedap sekali didengar: dulu kami juga susah sekali cari dana.

Kalau hanya meminta-minta saja tentu tak sedap. Malu juga hati ini. Ada ide lain: berjualan makanan dan minuman hari Minggu. Seorang naposo melobi perusahaan minuman agar meminjamkan cooler-nya ke gereja. Naposo bergantian menjaga stand. Laris manis. Aku bangga sekali melihat kerajinan dan kerendahan hati mereka.
Ya, mereka tak malu jualan di gereja untuk cari dana. Tapi marjin yang didapat dari menjual teh botol atau kue ringan sangat tipis sekali. Mereka ingin dapat banyak. Viktor Hutasoit kalau tak salah mengajukan ide bagaimana kalau menjual sangsang dan panggang. Tinggal ambil dari lapo di Bukit, kemas dalam bungkus-bungkus kecil, dan jual lagi dengan harga tinggi. Orang Batak sangat doyan makan sangsang dan panggang babi hari Minggu. Sukses. Tapi satu kali terjadi “kesalahan”. Minggu siang itu giliranku yang berkotbah. Kawan-kawanku naposo lupa bahwa aku selalu kotbah 15 menit (Pendeta Ressort 25 menit dan Praeses 40 menit). Kebaktian bubar namun sangsang dan panggang jualan naposo belum tiba. Mereka panik sekali. Pulang gereja mereka mengomel padaku karena panitia rugi besar. Kenapa Amang tidak memperpanjang waktu kotbah komplain mereka sambil ketawa. Syukurlah lagi-lagi ada senior naposo. Mereka urunan memborong sangsang dan panggang dagangan naposo dan lantas kami pun menikmatinya sama-sama.

PERSEMBAHAN NATURA
Dana dari gereja sebenarnya sudah besar, tapi aktivitas naposo sangat atau kadang terlalu banyak. Dari mana lagi dana harus dicari? Aku ada ide. Natal sudah dekat. Kebaktian natal naposo selalu ramai. Bagaimana kalau kita mengumumkan persembahan natal tidak berbentuk uang, tetapi berbentuk natura persis persembahan Majus ke palungan Yesus? Semua setuju. Sosialisasi pun dilakukan gencar. Aku membujuk agar selain persembahan pribadi juga ada persembahan komisariat. Maksudku agar hasilnya banyak. Natal pun tiba. Posma dan kawan-kawan kembali berdrama. Gedung lantai bawah diset menjadi padang Efrata dan gua Betlehem. Semua duduk di lantai lesehan diterangi cahaya lilin. Syahdu sekali. Selesai kotbah persembahan pun diantar. Macam-macam: kertas HVS, penjepit kertas, spidol, suling, bola basket, tip-ex, kursi lipat, gitar, dan lain-lain. Semua yang melihatnya terharu bahagia. Seluruh persembahan natura itu cukup dan bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan ATK Naposo dan pendeta NHKBP selama setahun.

Dan ada satu persembahan menggiurkan: sebuah komputer. Aku lupa dari mana sumbernya, apakah para senior atau salah satu komisariat. Pokoknya sejak itu Sekertariat Naposo memiliki komputer. (Catatan: itu tahun 1995 dan gereja HKBP Palembang sendiri belum memiliki komputer.)

GEREJA PUSAT PERJUMPAAN
Waktu aku datang ke Palembang tahun 1991 banyak sekali naposo terutama mahasiswa yang berkebaktian di gereja tetangga. Alasannya di sana lebih asyik, nyaman dan bergengsi. Aku diam saja, tapi dalam hatiku aku bertekad akan membawa anak-anak ini pulang ke rumah bapa-nya: HKBP. Caranya bagaimana?

Pertama-tama: aku selalu mempersiapkan kotbahku untuk pemuda dengan lebih sungguh-sungguh. Pokoknya tiga kali lipat persiapanku kalau mau kotbah kepada orang tua. Berhasil sedikit. Para mahasiswa mulai menoleh bahwa di HKBP ada pengkotbah yang pantas untuk dilirik.

Kedua: aku menyediakan diriku menjadi ujung tombak naposo di Parhalado untuk memperjuangkan dana dan fasilitas bagi pemuda. Anak-anak ini mulai melihat bahwa ada pendeta rupanya yang mau membela mereka. Mereka memanggil kawan-kawannya semakin banyak.

Ketiga: aku menjadikan diriku kawan naposo. Memang aku kawan naposo, sebab umurku juga masih sangat muda (aku datang ke Palembang saat usia 28 tahun). Aku bermain dan bertengkar dan belajar bersama-sama. Hasilnya sebagian besar naposo pulang ke HKBP! Aku tahu naposo tidak suka diceramahi panjang-panjang, karena itu aku kotbah singkat-singkat saja, akibatnya mereka senang.

Keempat dan seterusnya: kami menjadikan gereja sebagai pusat perjumpaan pemuda. Pokoknya naposo kalau tidak punya kerjaan, lagi suntuk, atau pingin cari kawan pasti datang ke kompleks gereja HKBP Palembang. Titik pusat atau simpul perjumpaan pemuda. Ya, gereja telah jadi tempat yang sangat menyenangkan. Jadilah gereja ramai dari Senin sampai Minggu. Naposo begitu betah lama-lama di gereja. Lantas muncullah masalah baru: aku kesulitan menyuruh naposo pulang dari gereja!

BERKAT TERSEMBUNYI
Konflik HKBP memporak-porandakan tidak saja gereja HKBP tetapi juga tatanan masyarakat dan kultur Batak yang menyatu, jalin-menjalin, dengan gereja suku ini. Korban luka dan bahkan telah tewas berjatuhan. Banyak orang kehilangan rumah, pekerjaan dan mata pencaharian, juga gerejanya. Dan semua orang yang cinta HKBP, dari kelompok mana pun itu, sangat menderita. Warga HKBP yang mencoba setia di HKBP lebih menderita lagi karena sebagian saudaranya “melarikan diri” meninggalkan HKBP melakukan eksodus ke gereja-gereja lain dengan berbagai alasan: takut, malu, tak mau susah atau ingin beribadah nyaman dan aman, dan lain sebagainya. Jika alasan mereka pergi dari HKBP saat konflik adalah karena takut atau tak kuat menghadapi ancaman atau tekanan aku dapat memahaminya, namun jika karena merasa malu, kupikir aku berpikir jangan-jangan mereka memang tidak pernah sayang kepada gereja ini. Biarlah mereka pergi dengan sejahtera. Imanku mengatakan Kristus, Raja Gereja, masih bertahan di gereja HKBP sebab itu aku juga akan tetap bertahan di HKBP selama Dia ada.

Namun sesungguhnya konflik atau krisis HKBP tidak melulu kisah sedih. Aku adalah saksi di masa-masa sulit ini ternyata ada begitu banyak berkat Tuhan di tempat tersembunyi. Itulah yang sering disebut: blessing in disguise.

SPIRITUALITAS BARU
Satu berkat besar yang diterima oleh HKBP adalah munculnya spiritualitas baru warga HKBP. Selama ini ber-HKBP kadang mirip ber-arisan belaka, kumpul-kumpul dan nyanyi-nyanyi serta ngobrol. Namun konflik gereja yang nyata-nyata melibatkan pemerintah (sipil dan militer) ini telah menyadarkan warga HKBP ternyata ada sisi lain iman Kristiani, yaitu salib dan penderitaan. Ada harga yang harus dibayar untuk menjadi murid Kristus, bukan dengan uang tetapi dengan ketaatan tak bersyarat kepada Tuhan.
Aku bersyukur, sebab menurutku krisis HKBP ini telah mendorong banyak warga HKBP termasuk para pendeta agar lebih tekun berdoa dan membaca Alkitab, bukan hanya untuk meminta berkat Allah sebanyak-banyaknya tetapi juga mencari kehendakNya. Mengapa Allah membiarkan penderitaan ini? Dimanakah Allah ketika puluhan pendeta HKBP diusir paksa dari rumahnya oleh kelompok bersenjata pentung kayu dan besi yang terang-terangan didukung oleh polisi dan tentara? Di manakah Kristus ketika hampir 500 orang pendeta dan warga HKBP (termasuk ibu-ibu) ditangkapi dan ditahan tanpa prosedur di Sumatera Utara, dipukuli dan disiksa hanya karena menolak campur tangan pemerintah ke dalam kehidupan gereja? Apakah sesungguhnya yang disabdakan Allah tentang krisis gereja terbesar di Indonesia ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong para pendeta dan sintua, terutama mungkin di kalangan pro Aturan yang paling banyak mengalami kekerasan untuk mulai berteologi atau merefleksikan secara sistematis imannya. Bergereja ternyata bukan sekedar beribadah dengan aman, tenang dan nyaman. Bergereja bisa berarti menderita. Dan mereka yang menderita karena memperjuangkan pengakuan iman, konstitusi, independensi gereja ini bertanya: sampai kapan Tuhan? Berapa lama lagi ya Allah?
Ibadah-ibadah HKBP khususnya kelompok SSA tidak lagi merupakan seremoni kosong atau ritus ulangan, tetapi benar-benar menjadi sebuah pujian, pengakuan, permohonan dan penyembahan yang tulus, khusuk, hangat, semarak dan spontan di tengah realitas sosial-politik yang tidak memihak kepada mereka. Lagu-lagu dari Buku Ende kini bukan lagi rapalan tetapi ekspresi hati orang-orang yang merasa tak berdaya. Bisakah kau ikut merasakan hati keluarga pendeta HKBP di kampung menyanyikan lagu di bawah ini sebelum para preman dikawal polisi dan tentara Republik mengobrak-abrik rumah mereka, mencampakkan semua barang-barang milik mereka keluar, dan memaksa mereka pergi?
Husomba Ho Tuhan, tangihon au
SangkapMu tongtong pasaut tu au
Lam ganda baeonMi holong ni rohangki
Sai lam gandai holong tu Ho.
Kusembah Kau Tuhan, dengarkanlah aku
Jadilah kehendakMu bagiku
Tambahkan kasih dalam hatiku
Tambahkanlah kasih kepadaMu.

Tapi sebaliknya, apa yang kaukatakan melihat ratusan ibu-ibu petani desa beribadah di jalan raya karena gerejanya sudah diambil paksa oleh kelompok bersenjata, namun tetap menyanyi-nyanyi gembira sambil menari-nari khas Batak sebelum pasukan polisi datang menyerbu dan membubarkan paksa dan menghalau?
Setia, setialah, setia sampai mati!
Tuhan Yesus memanggil, setia sampai mati!
Apakah jawabanmu? Setia sampai mati!
Setialah, setialah, setia sampai mati!

Krisis ini juga membuka bungkus-bungkus atau topeng-topeng yang selama ini menjadi citra HKBP bertahun-tahun. Dikarenakan konflik kami pendeta-pendeta HKBP, terutama kelompok pro Aturan, tidak lagi menganggap jas dan dasi serta seremoni sebagai sesuatu yang maha penting. Sebab yang sejati telah ditemukan: kesetiaan dan ketaatan kepada Allah sampai mati. Juga kesabaran menanti-nantikan pertolongan Tuhan. Semua itu berkat Tuhan di masa sulit ini.

Di Sumatera Utara kelompok pro Aturan sebagian besar diusir secara paksa dari gerejanya, bahkan sebagian dari kampungnya sendiri hanya karena menolak mengakui DR PWT Simanjuntak dan DR SM Siahaan sebagai eforus dan sekjen HKBP yang sah. Mereka akhirnya beribadah di tenda-tenda darurat yang dalam bahasa Batak parlape-lapean yang dibangun di lahan-lahan kosong di pinggir kampung atau di sawah-sawah kering. Kadang-kadang mereka beribadah di jalan raya dibawah todongan senjata aparat keamanan. Aku mendengar kisah-kisah yang sangat haru dan indah dari “gereja darurat” ini dan ada sedikit rasa iri aku tidak di sana.

Tiba-tiba saja warga HKBP disadarkan bahwa gereja bukanlah gedungnya, tetapi persekutuan yang terbentuk oleh kesaksiannya. Parlape-lapean adalah sungguh-sungguh gereja. Di sana firman Tuhan diberitakan dan sakramen dilayankan. Menurutku ini adalah modal besar bagi pengembangan suatu teologi baru HKBP, sebab selama ini HKBP terlalu terpesona dengan gedung. Semakin besar dan megah gedungnya seolah dianggap semakin mencerminkan surga. Ada-ada saja. Namun dalam konflik gedung tak lagi menentukan. Gereja HKBP sedang bergerak dari statis menjadi dinamis, dari lembaga menjadi gerakan, berubah dari batu menjadi roda, dan dari mati menjadi hidup. Bukankah ini pantas disyukuri?)

MEDIA ALTERNATIF
Pada masa konflik itu hampir semua media cetak dan satu-satunya media elektronik (saat itu belum ada televisi swasta, yang ada hanya TVRI) dikuasai pemerintah dan tentu saja otomatis menjadi corong pemerintah (yang sedang berkuasa). Berita-berita tentang HKBP yang dimuat di koran-koran apalagi di TVRI jelas-jelas saja untuk mendukung kepentingan pemerintah. Masyarakat Indonesia benar-benar dihalang-halangi mendapatkan informasi yang seimbang atau cover both side. Seingatku hanya majalah Tempo yang masih objektif memberitakan kasus HKBP. Sebab itu bagi kami yang menolak campur tangan pemerintah terhadap kehidupan gereja jelas saja tidak memiliki sumber informasi yang cukup untuk memberitakan apa yang sesungguhnya terjadi di HKBP kepada masyarakat luas, apalagi di kota-kota besar. (Di kampung-kampung Tapanuli berita menjalar dari mulut ke mulut dengan rasa takut.) Namun bukan berarti saluran komunikasi tertutup sama sekali.

Tiba-tiba saja bermunculan media alternatif antara lain “koran” fotokopi bagaikan jamur di musim hujan. Media-media alternatif itu merupakan prakarsa dan swadaya jemaat. Isinya terutama: laporan kronologi peristiwa penggusuran atau penyerbuan yang dilakukan kelompok Tiara dengan dukungan polisi dan tentara. Bentuknya fotokopian. Seringkali fotokopi atas fotokopi sehingga sangat sulit dibaca. Namun semua berita dilalap habis sebab jemaat sangat haus akan informasi yang benar yang tidak bisa didapatkan di media cetak resmi, apalagi yang namanya TVRI. Aku masih ingat apapun berita yang kufoto kopi habis ludes seperti kacang goreng diambil parhalado dan jemaat. Selanjutnya mereka memperbanyaknya sendiri dan menyebarkannya lagi.

PARTISIPASI WARGA
Sebelum konflik, menurutku HKBP adalah gereja parhalado. Maksudnya parhalado adalah satu-satunya yang berperan dan menentukan di HKBP. Namun di saat konflik warga maju ke depan dan kembali berperan seperti di tahun 1950-an, terutama kaum muda. Bisa dimaklumi dalam konflik fisik tentulah yang dapat maju di depan adalah anak-anak muda sebab mereka masih kuat dan punya nyali. Tapi jangan lupa, pendukung fanatik dan paling berani kelompok pro Aturan justru ibu-ibu atau ina-ina yang tinggal di desa-desa. Mereka kadang rela meninggalkan pencariannya di sawah atau onan hanya untuk mengikuti kebaktian raya Setia Sampai Akhir yang jelas-jelas bakal dihadang polisi dan tentara. Mereka bukanlah orang-orang yang berpendidikan tinggi apalagi kaya secara ekonomi, namun mereka tahu yang benar dan mau memperjuangkan apa yang dianggapnya benar itu.

Konflik HKBP menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya warga gereja ini. Mereka bukanlah para penonton atau penggembira, tetapi anggota gereja yang punya hak dan kewajiban serta tanggungjawab. Mereka ingin berperan dan terlibat dalam proses kehidupan bergereja dan bukan hanya dimintai sumbangannya saja.
HUBUNGAN BARU INJIL & BUDAYA

Secara formal HKBP adalah gereja terbuka. Namun fakta menunjukkan HKBP adalah gereja suku. 90% warga HKBP berasal dari suku Batak. Karena itu krisis HKBP tak bisa tidak juga menjadi krisis suku Batak. Sebelum konflik orang HKBP lebih bangga sebagai Batak ketimbang sebagai Kristen. Mereka lebih marah disebut tidak beradat daripada dikatakan tidak beragama. Namun konflik besar 1990 an telah mengubahnya. HKBP telah menjadi ikatan yang sangat kuat melampaui ikatan berdasarkan marga atau kampung asal.

Selanjutnya konflik ini juga jelas-jelas telah mencairkan ketegangan antar marga dan luat yang sebelumnya menjadi “api dalam sekam” di HKBP. Di kubu Tiara ada DR SM Siahaan namun di kubu Pro Aturan ada Pdt STP Siahaan. Di sini DR SAE Nababan di sana ada Pdt Tionggar Nababan. Di sana DR PWT Simanjuntak di sini Praeses Washington Simanjuntak. Di Palembang ada Pdt Pantas Marpaung di Siantar ada Praeses HS Marpaung. Sebagian orang menyesali “retaknya” kekerabatan marga-marga, tetapi sebagian lagi mensyukuri menguatnya hubungan berdasarkan iman gereja. Ya, menurutku telah terbentuk sebuah ikatan parhahamaranggion baru di HKBP, yang berdasarkan gereja, tanpa harus menghilangkan ikatan-ikatan lama. Bagiku itu jelas-jelas pemerkayaan kehidupan komunitas Kristen-Batak.

SIKAP KRITIS KEPADA KEKUASAAN
Puluhan tahun warga HKBP, sama seperti bagian-bagian masyarakat Indonesia lain, hidup di bawah rejim otoritarian yang sangat represif kepada rakyatnya sendiri yang berbeda pendapat dengannya. Sebelum krisis HKBP kesadaran warga kepada hubungan gereja dan negara sangatlah rendah. Pemerintah dianggap mutlak benar dan tak pernah salah. Namun krisis HKBP menyadarkan banyak orang HKBP pemerintah bukan Allah dan bukan sempurna. Pemerintah adalah lembaga manusia yang bisa khilaf, salah dan bahkan suatu ketika menjadi kejam dan jahat. Itu artinya pemerintah harus diingatkan, dibatasi dan diawasi.

Menurutku inilah kontribusi HKBP bagi masyarakat dan bangsa Indonesia demokratis. Jauh hari sebelum Reformasi 1998 warga HKBP telah mempersoalkan legitimasi pemerintahan Orde Baru. Sebelum banyak orang di Jakarta berani turun ke jalan, warga HKBP telah berani turun ke jalan menyuarakan aspirasinya. HKBP benar-benar ikut menyumbang kepada reformasi, proses demokratisasi dan pemberdayaan rakyat negeri ini. Luka-luka HKBP telah ikut
menyembuhkan bangsa dan negara ini. Itu artinya krisis HKBP tahun 1990-an bukanlah kesia-siaan.)

GEREJA AKAR RUMPUT
Ada berkat besar lain di saat krisis HKBP. Kantor Pusat Pearaja lumpuh total. Defakto Kantor Pearaja memang dikuasai kelompok Tiara (karena didukung polisi dan tentara). Namun aku mendapatkan suatu penglihatan luar biasa. Tiga ribu jemaat HKBP di seantero Indonesia tetap eksis: baik kelompok SSA maupun Tiara. Ini adalah realitas HKBP yang sesungguhnya. Sejak itulah aku disadarkan kekuatan HKBP sebenarnya bukan terletak di Kantor Pusat tetapi di jemaat-jemaat, di akar-akar rumput. Jika memang benar ada operator Orde Baru yang ingin menaklukkan HKBP dan melakukan penghancuran gereja suku terbesar di Indonesia ini secara sistematis (sebenarnya aku tidak terlalu suka teori konspirasi) maka dia salah hitung. Jemaat-jemaat HKBP yang tersebar itu sangat otonom dan independen, termasuk dari segi dana.
Aku bahagia sekali. Inilah rupanya yang membuat HKBP tidak akan bisa dikooptasi sampai kapan pun. Dipikir banyak orang dengan mengganti eforus masalah HKBP selesai, atau HKBP lantas dapat didikte dan dikendalikan. Ternyata tidak. Begitu kantor pusat diduduki jemaat-jemaat HKBP yang jumlahnya 3000-an ini langsung berdiri sendiri dan menjadi kekuatan otonom yang siap berjuang bersama-sama hanya berdasarkan kesamaan visi dan komitmen.

Aku mau mengatakan kepada generasi muda HKBP inilah modal terbesar kita: desentralitas HKBP. Itu sangat sesuai dengan semangat jaman moderen – kultur internet – dimana tidak satu pun berlagak pengendali utama. Semua unit adalah simpul yang penting. Jika warga HKBP berhasil mentransformasi semangat desentralitas ini dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kebudayaan juga ekonomi juga spiritual, aku yakin gereja ini dapat menyumbang besar sekali bagi kehidupan Indonesia majemuk yang moderen.

MEMBANGUNKAN MACAN TIDUR
Demi keamanan dan ketertiban masyarakat Muspida Sumsel sepakat bahwa Palembang dalam masalah HKBP adalah status quo. Maksudnya masing-masing pihak tetap berada di posisi masing-masing sampai masalah HKBP dapat dituntaskan di pusat. Mungkin pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat menyadari konflik HKBP adalah masalah nasional dan bukan lokal, sehingga tentu saja tidak mungkin mengharapkan penyelesaian dapat dilakukan di Palembang. Satu-satunya yang dapat dilakukan di daerah ini hanyalah mencegah terjadinya konflik terbuka yang pasti akan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana terjadi di tempat lain. Namun di lubuk hati aku ingat lagi “kode buntut” di notes intel Kodam: 80 banding 20. Pejabat-pejabat pemerintah (sipil dan militer) di sini tidak berani ambil resiko mendukung Kelompok Tiara sesuai dengan garis komando walaupun merekalah yang diakui Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Agama Tarmizi Thahir sebagai HKBP yang sah. Jika perbandingan pendukung pro Aturan versus Tiara di Palembang hampir sama besarnya, katakanlah 50 banding 50 aku yakin situasinya pasti terbalik. Ini politik Bung! Dalam politik persoalan bukan siapa yang benar atau baik, tetapi siapa yang kuat dan besarlah yang didukung.

Ini pelajaran sangat berharga bagi generasi muda HKBP: kalau kau mau gereja HKBP diperhitungkan oleh pemerintah negeri ini maka HKBP harus benar-benar menunjukkan dirinya kuat, berharga dan berguna bagi bangsa ini, karena itu pantas diperhitungkan. Sebagai gereja tidak ada gunanya HKBP atau gereja-gereja lain di Indonesia merengek-rengek atau menghiba-iba kepada kekuatan politik mana pun. Satu lagi yang mau kukatakan: gereja jangan cengeng!)

Sejak konflik HKBP pecah tahun 1993 seluruh gedung gereja di wilayah Palembang dan Plaju berada di bawah “kendali” kami. Jujur saja sikap status quo itu tentu saja menguntungkan kami. Kami bisa melakukan seluruh aktivitas gereja dengan “normal”. Namun Pendeta Ben Parhusip memang benar-benar pintar. Dia tahu betul sikap pemerintah Sumsel ini bisa saja sesewaktu berubah, karena itu dia membuat sebuah strategi yang menurutku relevan sepanjang waktu: konsolidasi terus-menerus. Alat konsolidasi gereja itu hanya satu: pelayanan. Sebab itu dia terus-menerus mengajak kami kerja-keras melaksanakan program dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada jemaat.

Sebelum konflik pecah sebenarnya kami sudah melakukan pembinaan dan pelayanan jemaat secara intensif, kini kami melakukannya lebih intensif lagi. Dalam hati kami pembinaan dan pelayanan intensif ini sangat diperlukan untuk mengalihkan perhatian agar enerji jemaat tidak terkuras habis oleh konflik ini, sehingga tak punya daya lagi memikirkan hal-hal substansial lainnya seperti pertumbuhan rohani, pelayanan sosial dan pembinaan generasi muda dan lain-lain. Ya, kami sadar betul konflik organisasi dimana-mana sangatlah potensial merusak iman dan moralitas dan kami tidak mau hal itu terjadi. Karena itu berbeda dengan di banyak jemaat lain, semasa konflik kami tetap melaksanakan seluruh pelayanan gereja sebaik-baiknya. Hasilnya jemaat tetap bertumbuh. Hasil lain: masalah internal bisa diminimalisir sehingga tidak bisa dimanfaatkan pihak lain yang ingin mengacau.

Namun ada permintaan Kantor Pusat Pro Aturan agar penahbisan pendeta dapat dilakukan di Palembang. Sebelum penahbisan itu ada kursus atau Latihan Persiapan Penahbisan (LPP) bagi pelayan-pelayan yang hendak ditahbiskan. Penahbisan pendeta dan pelayan lain di Palembang? Wow. Ini tantangan baru. Kami gamang. Di satu pihak HKBP Palembang sepanjang sejarah belum pernah mendapatkan kehormatan menjadi “tuan rumah” upacara penahbisan pendeta (kata “tuan rumah” harus diberi tanda petik, sebab secara teologis tuan rumah gereja adalah Kristus dan jemaat adalah tamu, bukan sebaliknya). Selain itu tidak bisa dipungkiri sebagian jemaat sudah lama sangat rindu
mendatangkan eforus SAE Nababan ke Palembang, sebab sejak konflik pecah beliau tidak pernah punya kesempatan berkunjung ke sini. Kantor Pusat pro Aturan sendiri mengharapkan penahbisan dapat dilakukan di Palembang karena kondisi di sini dianggap aman. Penahbisan harus dilakukan, selain kebutuhan pelayanan juga untuk membuktikan bahwa eforus DR SAE Nababan masih memiliki legitimasi sebagai pemimpin gereja sesuai konstitusi HKBP.

Namun di pihak lain, kami terus terang saja sangat mengkuatirkan penahbisan pendeta di Palembang dapat mengganggu suasana “harmonis” yang sudah terbina selama ini. Yang kami takutkan sebenarnya bukan kelompok Tiara tetapi pemerintah daerah dan aparat keamanan di Sumatera Selatan yang kemungkinan besar berubah dari “kawan” menjadi “lawan” diakibatkan even penahbisan ini. Sebab menurut kami dalam hal menyangkut DR SAE Nababan pemerintah daerah Sumsel dan Pusat sejalan: sama-sama tidak menghendakinya.
Permintaan Kantor Pusat Pro Aturan itu pun dibawakan oleh pendeta Ben Parhusip ke Rapat Parhalado. Semua anggota Parhalado setuju penahbisan dilakukan di Palembang dengan catatan agar rencana itu tetap dikoordinasikan namun dengan pihak pemerintah Sumsel dan Polda yang selama ini membantu terciptanya keamanan di HKBP Palembang.
PAYAKABUNG

Gereja Pentakosta memiliki sebuah retreat center merangkap sekolah pendeta di Payakabung kira-kira 40 km dari Palembang. Kampusnya sangat luas dipagar tembok tinggi dengan pohon-pohon pepaya dibaliknya dan tanpa papan nama. Tempat itu sangat tersembunyi, dikelilingi oleh kebun karet dan sawit, dan benar-benar jauh dari pemukiman penduduk. Pdt JK Siwi, pendeta Pantekosta dan tokoh oikoumene terkenal di Palembang, sudah setuju kami menyewa pusat retret Payakabung untuk tempat Latihan Persiapan Penahbisan (LPP) bagi para pendeta, guru huria, bibelvrouw dan diakones HKBP.

Para calon pelayan yang hendak ditahbiskan itu pun tiba di kompleks HKBP Palembang menggunakan bus besar diiringi tiga mobil Kijang yang ditumpangi staaf Kantor Pusat Pro Aturan. Perasaanku campur aduk. Aku gembira berjumpa kembali dengan kawan-kawanku pro Aturan sebab kami sudah lama sekali tak berjumpa. Namun pada pihak lain aku juga cemas. Palembang walau tampak aman sebenarnya tetap bagai api dalam sekam, yang tiba-tiba bisa marak apalagi bila ditiup angin. Kini kami sendiri yang menghembus sekam itu. Sebab itu agar tidak menarik perhatian jemaat (terutama polisi) kami pun buru-buru menggiring rombongan dari Tarutung itu meninggalkan kompleks gereja HKBP Palembang menuju Payakabung.

KUNJUNGAN KE WAKAPOLDA
Latihan Persiapan Penahbisan (LPP) adalah tugas Kantor Pusat, dan staff Kantor Pusat sudah siap untuk itu. Kami hanya menyediakan tempat dan fasilitas saja. Namun kami punya tugas lain: melobi pemerintah dan Polisi. Bertiga, Pdt Ben Parhusip dan DR BIT Tamba serta aku sendiri, kami pun menghadap Wakapolda Brigjen Pol Iskandar. St BIT
Tamba mengenal beliau sangat baik, kalau tak salah Wakapolda itu bekas muridnya, mungkin sebab itu juga kami diterima hormat dan ramah di ruang kerjanya. Setelah basa-basi sejenak tentang situasi keamanan Sumatera Selatan dan mengucapkan terima kasih atas peran Polda Sumsel menjaga keamanan HKBP Palembang kami pun menyampaikan keinginan kami: meminta restu Polda untuk hajatan besar penahbisan pendeta HKBP yang dipimpin oleh Eforus SAE Nababan. Wakapolda benar-benar perwira tinggi intelek dan santun. Dia tidak terang-terangan menampik namun mengatakan harus mengkoordinasikannya dengan Kapolda, lantas kemudian memberi ceramah singkat pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban yang sudah terpelihara selama ini. Aku menangkap kesan tersirat beliau sebenarnya keberatan, namun mungkin sungkan mengatakannya secara terus-terang kepada DR BIT Tamba. Alasan keberatan itu hanya satu: kehadiran DR SAE Nababan.

Pulang dari pertemuan kami mengobrol. Aku menyampaikan kesan yang kudapat bahwa ganjalan satu-satunya penahbisan ini adalah DR SAE Nababan. Namun Aturan mengatakan penahbisan tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Itu tugas Eforus yang tidak bisa diwakilkan. Eforus kami adalah DR SAE Nababan. Atas saran St DR BIT Tamba kami pun membuat surat resmi kepada Kapolda dengan tembusan kepada Pangdam dan Gubernur berikut semua jajaran instansi terkait untuk memohonkan restu dan penjagaan keamanan kepada rencana penahbisan pendeta dan pelayan lain HKBP itu. Kami sengaja tidak meminta ijin namun restu, sebab untuk menahbiskan pendeta tidak diperlukan ijin pemerintah. Itu wewenang gereja. Yang penting kami lapor secara resmi tentang adanya suatu kegiatan besar dalam rangka penjagaan keamanan. Tidak ada jawaban tertulis. Yang ada malah intel-intel yang selama ini sudah jarang datang kembali bermunculan lagi di kompleks HKBP Palembang. Namun kini mereka tak ramah lagi.

PERTEMUAN DENGAN GUBERNUR SUMATERA SELATAN
Latihan Persiapan Penahbisan (LPP) terus berjalan di Payakabung dibawah bimbingan para Staff Kantor Pusat dan Praeses. Namun setiap perkembangan negosiasi kami dengan Polda terus kami beritahukan kepada Staff Kantor Pusat. Sejak awal aku sudah memberi sinyal bahwa Polda sepertinya sulit bergeming. Namun kami belum mau menyerah.
Upaya terakhir adalah Gubernur. Dia adalah “penguasa tunggal” daerah. Pak BAS Tobing pun mengontak Gubernur Ramli, sahabatnya, mengatakan bahwa para pendeta HKBP Palembang ingin bertemu. Seingatku rombongan kami lima orang. Gubernur sangat ramah dan hangat. Beliau didampingi oleh Kaditsospol. Kami pun mengajukan permohonan agar Gubernur merestui HKBP menyelenggarakan hajatan besar penahbisan pendeta di Palembang. Gubernur tampak menarik nafas berulang-ulang. Aku ingat betul kata-katanya, “apakah yang menahbiskan harus Pak SAE Nababan dan tidak bisa diwakilkan kepada orang lain?”. Kami menjawab “ya”. Dia tampak sangat sulit berbicara. Akhirnya dia berkata lembut, “janganlah, kita sudah bagus menjaga kerukunan, kalau mengenai kursus calon pendeta ya biarkan saja, itu kan kegiatan pendidikan. Namun kalau boleh Pak SAE Nababan jangan dulu hadir di Palembang.” Aku menarik nafas. Sejak awal pertemuan aku terus menyimak ucapan Gubernur, kata demi kata, memperhatikan raut wajah dan bahasa tubuhnya. Hasilnya aku mengambil kesimpulan beliau tidak mau mundur seinci pun menyangkut kehadiran DR SAE Nababan.
Entah ide dari mana, tiba-tiba aku menyelutuk mengambil kesempatan “Pak Gubernur, bagaimana kalau besok-besok DR PWT Simanjuntak atau DR SM Siahaan yang datang ke Palembang?”. Beliau tersentak dari duduknya dan menjawab tegas. “Tidak. Tidak bisa juga. Kita harus adil. Kalau Pak SAE Nababan tidak bisa hadir di Palembang maka Pak Simanjuntak juga tidak bisa. Catat itu Kaditsospol. Kita Pemerintah Sumsel netral dan adil.” Aku merasa Pdt Ben Parhusip diam-diam menginjak ujung sepatuku sambil senyum, kayaknya dia tahu betul apa yang ada dalam hatiku. Kami kalah sekarang tetapi besok pasti menang.
(Catatan: sampai rekonsiliasi ditandatangani tahun 1998 DR PWT Simanjuntak tidak pernah datang ke Palembang. Gubernur Sumsel benar-benar memenuhi janjinya bertindak netral dan adil.)

DIINTEROGASI DI POLRES KAYUAGUNG
Esoknya kami menerima undangan Kapolres Kayu Agung. Kota itu terletak 90 km dari Palembang dan pengamanan Payakabung ada di bawah kendalinya. Dengan mobil minibus tua Pdt Ben Parhusip kami pun ke sana. Mula-mula kami diterima Kapolres ramah di ruang kerjanya, namun entah bagaimana, ada telepon masuk, perasaanku dari Wakapoltabes Palembang, entahlah, aku langsung curiga pasti ada sesuatu, dan benar rupanya, setelah telepon itu kami dibawa ke ruang belakang Mapolres dan diinterogasi terpisah. Tadinya kami undangan sekarang kami berubah jadi tersangka. Pertanyaan-pertanyaan menyelidik bintara pemeriksa itu banyak sekali dan macam-macam serta aneh-aneh. Kata demi kata diketik. Aku takut sekali salah omong, apalagi kami tidak didampingi pengacara. Waktu itu belum ada ponsel, jarak Kayu Agung – Palembang 90 kilometer, kami tidak bisa menghubungi siapapun. Aku hanya pasrah saja berdoa.
Jam satu siang tiba-tiba seorang petugas mendatangi kami ke ruang periksa. Kami dipanggil lagi oleh Kapolres. Suasana sudah berubah lagi. Aneh sekali. Kami diterima di ruang kerja dan di sana sudah ada nasi bungkus. Kapolres balik ramah. Petugas yang memeriksa kami tampak kebingungan. Berkas BAP itu disuruh Kapolres dibawa kembali ke belakang. “Tidak perlu. Tidak usah ditandatangani” katanya. Lantas dia bercerita bahwa baru saja menerima telepon dari Kaditsospol Sumsel yang mengatakan pesan Bapak Gubernur agar kegiatan LPP dibiarkan sampai selesai dan agar kami diperlakukan dengan baik.

Sampai sekarang aku tidak tahu siapa yang memberitahu gubernur bahwa kami sedang diperiksa di Polres Kayu Agung. Yang jelas aku menarik nafas lega walaupun raga dan jiwaku sangat lelah. Nasi bungkus itu kami makan dengan tak berselera. Kapolres mencoba ramah dan aku berusaha susah-payah ramah juga. Sesudah itu kami pamit. Mobil tua Pdt Ben Parhusip pun susah-payah kembali ke Palembang. Aku takut sekali mobil itu mogok. Abangku bilang mobil ini sudah dua kali ke Toba sebab itu aku tenang saja. Maksudnya untuk memuji kekuatan mobilnya namun malah membuat aku kian takut. Lantas aku bercanda saja: abang sih terlalu jujur, akibatnya mengganti mobil saja susah.

RAPAT RAHASIA
Malam itu kami rapat di salah satu ruang. Kompleks Payakabung aman, pintu kami biarkan terbuka. Dari staff kantor pusat Pdt STP Siahaan, Pdt Gomar, Pdt Ramlan Hutahaean, Pdt Siter Hutasoit, Pdt Janter Tambunan, seingatku juga ada Pdt WTP Simarmata dan Praeses Faber Simatupang. Mereka menanyakan hasil lobi kami ke Polda dan Gubernur. Kami menyampaikan bahwa Gubernur dan Kapolda tidak mau mundur seinci pun. Keadaan di Palembang sudah panas. Kelompok Tiara bertekad menggagalkan penahbisan. Bahkan rumor yang berkembang preman dari Laguboti sudah datang dan pengusaha DL Sitorus juga sudah mendatangkan orang-orangnya dari Riau untuk ikut menggagalkan penahbisan. Rumor kedatangan preman dari luar itu membuat “orang-orang kuat” Palembang tersinggung. Para preman dari Sungai Batang dan Bom Baru juga sudah siap mengamankan Palembang.

Gomar mengatakan kalau memang Gubernur tidak mau mundur sedikit pun artinya itu sudah tidak mungkin lagi melakukan penahbisan di Palembang. Kita harus mencari tempat lain. Kita tidak mau Gubernur dan Polda disini menjadi lawan kalian. Pertemuan dua pihak pun selesai. Aku dan Pdt Ben Parhusip keluar. Staff Kantor Pusat melanjutkan pertemuan tertutup. Setelah pertemuan selesai, Gomar sebagai Sekertaris Pembinaan mendatangi aku meminta
agar aku mengurus evakuasi calon pendeta yang ditahbiskan. Tapi dia minta agar ini benar-benar dirahasiakan. “Kemana tujuannya,” tanyaku. “Jakarta” jawabnya pendek.

KARNA RAHMAT
Aku pusing sekali memikirkan bagaimana caranya memindahkan 30 orang calon pendeta dari Payakabung tanpa
ketahuan. Kami sudah diawasi oleh Polres Kayu Agung. Saban hari ada saja intel yang datang ke kampus ini sekedar menengok. Kadang mereka cuma keliling-keliling kampus saja dengan motor. Perasaanku semua mata aparat kemanan sedang tertuju kepada kami.

Aku mengajak Hendry Hutabarat, supir Kantor Pusat, melakukan survey. Pikiranku bus tentu tidak boleh berangkat dari kampus Payakabung, namun mesti dari satu titik yang dirahasiakan. Palembang? Itu terlalu ramai, riskan sekali. Terminal Indralaya? Itu juga ramai dan lagi pula itu jelas-jelas kawasan Polres Kayu Agung. Aku lantas mengajak Hendry bergerak ke arah Prabumulih mencari-cari lokasi yang bisa dijadikan pos pemberangkatan. Kebun sawit atau kebun karet? Itu sunyi sekali. Kalau ada puluhan orang anak muda kumpul di situ tentu malah menarik perhatian orang yang lewat. Tambal ban? Ah itu punya orang Batak. Susah kalau di situ. Pastilah dia nanti akan banyak tanya-tanya. Akhirnya aku menemukan sebuah tempat ideal: sebuah restoran Minang, aku lupa namanya, di desa Cambai, sembilan kilometer sebelum Prabumulih. Restoran itu besar dan luas, jauh dari pemukiman, diapit hutan karet, di sampingnya ada gubuk-gubuk istirahat. Satu lagi: itu bukan wilayah Polres Kayuagung. (dalam hatiku intel-intel itu pasti urusannnya banyak sekali tak cuma HKBP, dia tidak mungkin mencari keluar wilayah kerjanya.) Aha. Ini dia yang kucari.

Tempat pemberangkatan sudah ada. Bersama Hendry kami pun balik arah ke Palembang mencari bus. Jarak Prabumulih - Palembang 90 kilometer. Capek sekali. Aku tak mengerti soal bus. Namun otakku mengatakan sebaiknya jangan bus yang supir dan kernetnya Batak. Tiba-tiba aku ingat Bus Karina. Perkiraanku itu bus orang Minang (di kemudian hari aku baru tahu dari kawan2 rupanya supirnya Batak juga). Aku pun mencarter sebuah bus ke Jakarta. Kataku “untuk membawa rombongan mahasiswa ke Jakarta yang habis KKN di Prabumulih, besok jemput di restoran Minang di Cambai jam 12.” Ongkos carter pun langsung kulunasi. “Siapa nama bapak?” Aku bingung. Siapa ya? Sejak bolak-balik dipanggil karena urusan konflik HKBP namaku sudah terkenal di polisi, apalagi wajahku. Akhirnya kusebut saja seenaknya: “Karna Rahmat.” Ya terjemahan bebas sola gratia. Artinya: hanya oleh rahmat.

Pagi-pagi sekali. Staff kantor pusat diam-diam menghilang. Yang tinggal hanyalah Sekertaris Pembinaan Pdt Gomar Gultom sebagai penanggungjawab LPP. Aku pun mengatur evakuasi. Gomar sudah memberikan aku sejumlah uang untuk dibagi-bagikan kepada semua calon pendeta yang hendak diberangkatkan. “Pokoknya ikut aku dan diam. Nanti kalian akan diantar satu per satu ke suatu tempat dan tunggu di sana. Ini uang, makan masing-masing, dan jangan ngomong banyak.” pesanku tegas dan jelas. Adik-adikku ini mengangguk. Mungkin mereka juga sudah ketakutan. Beberapa hari ini keadaan memang sudah tegang. Apalagi mereka sedang di kampung orang, jika ada apa-apa tentu tak tahu mau lari kemana.

Bersama Hendry aku pun mengantar empat-empat orang ke pos Cambai dengan mobil kijang. Kadang kami berpura-pura dulu ke arah Palembang kemudian tiba-tiba berbalik lagi. Ya, aku takut sekali dibuntuti. Jarak restoran Minang itu ke kampus lebih sepuluh kilometer. Demikianlah kami bolak-balik sampai semua selesai. Mulut ku benar-benar terkatup menahan rasa tegang dan takut.

Bus pesananku tiba persis jam 12. Aku berusaha tenang dan menyuruh semua calon pendeta, guru huria dan bibelvrouw yang hendak ditahbiskan itu segera naik ke bus. Tak ada seorang pun yang berani bertanya mau dibawa kemana. Aku dan Hendry berdiri tak jauh dari bus. Perasaanku rumit sekali, aku ingin semua langsung naik, dan bus bisa segera lari menghilang di belantara hutan lintas Sumatera sebelum polisi datang membuyarkan semua rencana kami. Namun entah kenapa perasaanku proses pemberangkatan itu begitu lambat dan lambat sekali, dan itu membuat aku berkeringat dingin. Akhirnya, akhirnya bus itu berangkat juga. Aku berdiri bagai patung di pelataran debu Restoran Cambai itu dihembus asap knalpot bus. Ayo pergilah cepat-cepat kataku dalam hati. Kami persis seperti pelarian di negeri sendiri. Kami orang baik-baik tetapi harus bersembunyi.

“Kalau kalian bisa selamat sampai Jakarta itu hanya karena rahmat Tuhan!”, teriakku keras-keras membalas lambaian adik-adikku.

PENAHBISAN GAGAL DI PALEMBANG
Aku pulang lagi ke Payakabung. Masih ada tiga puluh orang lagi yang tinggal. Mereka adalah rombongan LPP 2 yang baru akan ditahbiskan tahun depan. Semua lantas kubawa ke rumahku. Bersesak-sesak. Kemudian Gomar dan Hendry pun pamit pergi. Kami berpelukan. Perasaanku ngeri sekali. Gereja HKBP Palembang sudah ramai. Selain anggota jemaat yang ingin tahu acara penahbisan besok juga beberapa polisi berseragam dan berbaju preman. Naposo sangat sibuk. Banyak sekali yang bertanya kepadaku apakah penahbisan jadi besok? Aku hanya menjawab: kita lihat besok saja. Bagaimana dengan spanduk? “Naikkan” kataku. Naposo pun menaikkan spanduk dengan tulisan “selamat datang Ompu i Eforus DR SAE Nababan” ke teras atas gereja dibawah pengawasan polisi. Aku senyum kecut.

Namun diam-diam aku membisikkan kepada dua orang tentang hal yang sesungguhnya, yaitu PY Pardede dan BIT Tamba. Aku tak ingin kami dianggap bermain-main atau membohongi parhalado. Sebab itu aku harus memberitahu rahasia itu kepada dua orang yang bisa jadi saksi di kemudian hari. “Tempat penahbisan sedang dipersiapkan di tempat lain, tetapi biarlah moncong meriam tetap diarahkan ke kita,” kataku sambil meminta mereka diam. Mereka hanya mengangguk dan tak bertanya macam-macam.
Sabtu siang. Telepon rumahku berdering. Dari balik sana terdengar suara Kadit Intelpam Polda Kol Harahap dengan nada tinggi mengancam akan menangkapku. Oh Tuhan! Aku hanya bisa berdoa. Perasaanku sepertinya saatku sudah tiba. Kemarin kawan-kawanku yang ditangkap sekarang mungkin giliranku. Tapi sebelum ditangkap mending aku datang ke sana pikirku. Sendiri. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bukan penjahat. Aku orang baik-baik dan bertugas sebagai pendeta. Aku tidak salah, karena itu untuk apa takut? Ya, aku tak salah, tapi ternyata aku takut juga.

Aku sudah biasa ke Mapolda Sumsel ini dan langsung masuk ke Kaditintelpam. Petugas jaga di bawah sudah mengenalku. Kadit Intelpam yang kebetulan bermarga sama denganku ini tampak sangar atau seram sekali. Tak ada senyumnya sama sekali. “Dimana kau sembunyikan pendeta-pendeta itu?!” katanya dengan nada keras menggertak.
Aku tak mau digertak, lantas aku pun menjawab hampir sama kerasnya: “di rumahku! Kenapa rupanya?” Memang para pendeta itu di rumahku. Aku tak bohong. Aku hanya tidak mengatakan seluruh kebenaran. (Menurutku dia tidak perlu tahu bahwa calon pendeta yang hendak ditahbis itu ada dua macam, ada yang ditahbis tahun ini dan sebagian tahun depan. Yang di rumahku sekarang adalah yang akan ditahbis tahun depan, sementara yang benar-benar hendak ditahbis minggu ini sudah pergi entah kemana.)
Melihat aku tak bisa digertak nada suara Abangku ini menurun. “Palembang besok akan kacau. Kami sudah menahan rombongan preman di Kertapati dan Betung.” katanya. Lantas dia memberikan instruksi macam-macam kepada anak buahnya untuk mengantisipasi kerusuhan besok. Merasa urusanku sudah selesai, aku pun pamit pulang. Tiba-tiba dia bertanya: “dimana DR SAE Nababan?” Aku tahu itu metode perwira intel kawakan yang selau mendapatkan keterangan yang paling benar di akhir percakapan. Aku tak mau terpancing, tapi aku tak mau juga menyusahkan abangku ini sebab dia baik padaku. Kami bertatapan lama, “aku tidak tahu, pokoknya tidak disini” jawabku. Wajahnya tampak lega dan dia mengulurkan tangannya dan aku menyambut jabat tangannya. Ya aku tak bohong. Memang aku tak tahu dimana Eforus Nababan sekarang. “Pokoknya dia tidak ada di sini.”

Pulang dari Mapolda aku menginstruksikan semua calon pendeta pulang siang itu juga. Mereka sangat terperanjat. Keadaan berubah cepat sekali. Aku takut sekali Palembang besok benar-benar tumpah darah. Itu bisa jadi mimpi buruk seumur hidupku. Aku pun segera menelpon bus Sipirok Dolok Hole mencarter satu mobil ke Tarutung siang ini juga. Oke. Bus ada. Aku pun tak mau buang-buang waktu, segera membawa mereka ke stasiun SDH.

Namun entah kenapa bus itu lama sekali baru berangkat. Ada-ada saja masalahnya. Ban. Mesin. Kenek. Aku gelisah sekali. Dalam hatiku orang Batak sudah puluhan tahun main di transportasi tapi tak pernah bisa jadi profesional. Bagaimana mau maju? Ah dasar! Aku terus-menerus melihat jam. Rasanya lambat sekali. Akhirnya semua beres juga. Namun giliran bus mau berangkat, seorang calon bibelvrouw malah tak kelihatan. Bus pun gagal berangkat lagi. Kami bukan hanya lama sekali menunggu namun capek sekali mencari-carinya. Tiba-tiba si bibelvrouw muncul melenggang tanpa rasa bersalah sehabis belanja oleh-oleh. Aku benar-benar sudah di ujung tanduk. Kemarahanku pun meledak. Maaf, aku tak bisa menahan emosiku. Aku membentaknya keras dan kasar. Dia menangis. Aku pura-pura tak perduli. Keadaan sudah sangat genting dan aku tak mau dipusingkan lagi dengan soal-soal kecil.

Bus SDH itu pun berangkat menuju Tarutung. Aku pun lari pulang lagi ke gereja. Rumahku sudah sepi. Kosong. Lantas aku menelpon lagi Kolonel Harahap. “Semua orang kami sudah tidak ada di Palembang! Jika besok ada yang bikin rusuh, itu bukan orang kami ya?!” “Terima kasih Pak Pendeta.” balasnya, “aku akan bersihkan semua.” Aku diam saja. Aku tak mengerti apa yang hendak dibersihkannya.
Malam itu banyak sekali polisi berjaga-jaga di kompleks gereja HKBP Palembang. Mereka memeriksa semua sudut gereja. Mereka tampak tegang. Rumor yang berkembang mengatakan kami menyembunyikan DR SAE Nababan, sebab itu mereka melacak semua hotel dan penginapan. Kosong. Lebih aneh lagi, katanya kami membuat terowongan rahasia di belakang gereja. Ada-ada saja. Emangnya mau perang?

Ada cerita menarik. Gereja HKBP Palembang selama ini hanya punya satu tangga yaitu di depan. Bagiku itu riskan sekali. Aku selalu kesulitan naik ke gereja atau meninggalkan gereja bila ada yang tiba-tiba perlu sementara kebaktian sedang berlangsung sebab akan kelihatan jemaat. Aku mengusulkan agar dibangun tangga di belakang. Menurut St B Siregar tangga besi itu sebenarnya sudah lama ada, disimpan di gudang, tinggal memasang saja.
Pasanglah, kataku. Rupanya pemasangan tangga besi itu dianggap bukti keseriusan kami menyelenggarakan penahbisan di Palembang. Polisi tampaknya panik. Tangga itu dipotret-potret dan disebut tangga rahasia. Aku diam saja. Dasar paranoid, kataku dalam hati.

Minggu keesokam harinya. Sebelum kebaktian minggu dimulai polisi berseragam sudah memenuhi kompleks gereja HKBP Palembang. Tak jauh dari kompleks, tentara berseragam loreng siap-siap membantu. Di belakang gereja juga ada polisi lengkap dengan anjing pelacaknya, mungkin mereka kuatir kami akan menyelundupkan Eforus dari pagar belakang. Manalah mungkin pikirku. Aku diam saja dan duduk tenang sepanjang kebaktian. Ini benar-benar anti klimaks. Tak ada terjadi satu apapun dalam kebaktian. Semua berjalan seperti kebaktian minggu biasa. Beberapa orangtua calon pendeta yang sudah terlanjur datang ke Palembang marah-marah karena merasa diperdaya. Mereka datang khusus ke Palembang hendak menghadiri penahbisan anaknya menjadi pendeta, namun tidak terjadi apa-apa dan tidak ada satu pun yang tahu apa alasannya. Aku tetap membisu.

Persis para sintua sedang berdoa di konsistori, seorang naposo menjumpaiku dan mengatakan ada telepon untukku di rumah. (Saat itu belum ada ponsel). Aku pun lari ke rumahku yang terletak di samping gereja. Rupanya dari Sekertaris Pembinaan Pdt Gomar Gultom. Dia mengatakan terima kasih kepada kami semua dan memberitahukan bahwa penahbisan pendeta sudah selesai dilakukan di HKBP Pulomas. “Sampaikan salam kami kepada semua Parhalado dan Jemaat HKBP Palembang.” Aku merinding, bulu kudukku berdiri. Air mataku menetes karena bahagia.

Aku lari lagi ke gereja. Parhalado masih sibuk menghitung uang persembahan. Aku pun mengumumkan bahwa penahbisan sudah dilakukan di HKBP Pulomas. Parhalado terperanjat hampir tak percaya. Punguan Ina masih latihan di atas. Aku pun menyampaikan kepada mereka berita itu. Para Ina Parari Kamis, kawan-kawan setia kami ini, spontan bertepuk tangan, berpeluk-pelukan dengan air mata bercucuran. Kemudian mereka turun dari gereja sambil bernyanyi dan menari-nari lagu perjuangan kami “Setia setia Sampai Akhir”. Di bawah jemaat masih ramai . Mereka sangat bingung menyaksikan para Ina Parari Kamis bernyanyi dan menari gembira sekali. Apa yang terjadi? Penahbisan sudah terjadi di HKBP Pulomas! Seluruh jemaat yang masih tinggal ikut bernyanyi dan menari gembira. Setia, setialah, setia sampai akhir! Tiba-tiba kulihat polisi dan intel satu per satu surut meninggalkan kompleks HKBP Palembang.

Kerumunan jemaat masih sangat ramai membicarakan peristiwa dramatis itu. Aku lantas segera menghilang, tak ingin jadi pusat perhatian. Namun, besoknya kudengar dari Pdt Parhusip, seorang intel yang kebetulan Batak mengatakan di arisan, “kami sudah dilego pdt Harahap”. Aku hanya ketawa kecil. (Lego adalah istilah anak-anak di Medan dalam permainan sepak bola, maksudnya menggiring bola melewati beberapa lawan sekaligus lantas memasukkannya ke gawang dengan cantik sekali.) Skor 5 - 0 untuk kami.

Kisah ini adalah tuturan kawan-kawanku dan kakakku yang kebetulan tinggal di Pulomas. Para calon pendeta yang hendak ditahbiskan itu benar-benar bingung dan buta, mereka sungguh tidak tahu hendak dibawa kemana. Hanya percaya dan menurut saja. Bermacam perasaan jadi satu: cemas, takut dan tegang serta sendu. Istilah mereka kami seperti permen yang dibungkus. Berhubung sebagian besar belum pernah ke Palembang dan juga dalam keadaan tegang, mereka benar-benar mengalami disorientasi. Mereka baru sadar sedang menuju Jakarta sewaktu bus hendak menyeberang naik ferry Selat Sunda. Tapi perjalanan belum berakhir, bus tidak berhenti di Jakarta, namun menuju salah satu villa di Puncak. Sampai Minggu pagi sebelum penahbisan mereka tidak tahu hendak ditahbiskan dimana. Jemaat HKBP Pulomas pun tak tahu bahwa penahbisan pendeta akan dilakukan di sana. Hanya pendeta dan beberapa
parhalado. Menurut tuturan kakakku, mereka kaget sekali ketika datang kebaktian melihat banyak sekali pendeta berjubah hitam. Rupanya ada penahbisan.
Masa itu adalah jaman Orde Baru. Pemerintah yang sedang berkuasa bertekad menggagalkan penahbisan itu, berapapun harganya, sebab penahbisan itu akan menjadi bukti bahwa Eforus DR SAE Nababan masih legitim sebagai pemimpin gereja HKBP, dan mereka tak mau itu. Sebab itu jaman dulu segala yang baik dan benar pun terpaksa harus dirahasiakan. Manusia boleh-boleh saja punya banyak rancangan, namun keputusan akhir Tuhan yang menentukan.

SEMINAR GLOBALISASI
27 Juli 1996. Puncak Pesta Kebangunan NHKBP Palembang diisi dengan Seminar Sehari berjudul: Ketahanan Pemuda Menghadapi Globalisasi. Acara dimulai tepat jam 09.00 dihadiri kurang-lebih 300 orang pemuda termasuk undangan dari gereja tetangga. Ya kami sangat ingin pemuda HKBP bukan saja memahami baik tetapi benar-benar siap menghadapi globalisasi yang telah, sedang dan akan datang menggelombang serta mengubah segalanya. Panitia telah mengundang para narasumber guna membantu pemuda memandang globalisasi dari berbagai perspektif. Namun ada satu hal menarik yang ditunggu-tunggu: presentasi internet.

Atas saran dan sarana Simson Tampubolon, seorang bekas aktivis naposobulung HKBP Pabrik Tenun Medan yang pindah kerja ke Palembang, Naposo HKBP Palembang mendapat kesempatan melihat langsung apa sebenarnya mahluk yang bernama internet itu. Kau jangan tertawa. Tahun 1996 internet masih sangat langka dan dianggap mewah, boleh tanya kepada orang-orang yang lebih tua, namun naposo HKBP Palembang telah mendapatkannya. Suatu lembaga pendidikan komputer dan provider di Palembang diundang presentasi. Pesanku: mereka cukup menjelaskan dan menunjukkan apa dan bagaimana internet secara teknis, mengenai soal moral atau etika jangan disinggung sebab itu tugas dan tanggungjawabku sebagai pendeta. Layar multimedia pun dipasang dan kabel ditarik dari kantor gereja. Semua penasaran. Presenter bertanya kepadaku: apakah dia boleh menunjukkan salah satu situs porno hanya sekedar sebagai contoh? Aku menjawab, “boleh, tapi jangan lama-lama, cukup sekedar tahu saja.”

GEREJA LAMA DIDUDUKI
Seminar yang memikat itu baru saja berjalan ketika aku mendengar berita mengejutkan. Kelompok Tiara menduduki gereja lama. Sebagai informasi HKBP Palembang punya dua gedung gereja. Yang pertama di Jalan Sakyakirti. Gereja itu sudah lama tidak terpakai dan dibiarkan kosong tak terawat. Yang kedua gereja baru di Jalan Mayor Ruslan. Gereja baru itu besar dan megah dan halamannya sangat luas. Di bawahnya ada gedung serba guna. Seluruh aktivitas sekarang dilakukan di kompleks gereja baru di Jalan Mayor Ruslan. Naposo sendiri sudah memiliki sebuah sekertariat di gereja baru, persis di samping kantin sekolah Yapon lengkap dengan fasilitas sebuah telepon umum koin yang bisa berdering.

Kabar pendudukan gereja lama oleh kelompok Tiara segera menyebar. Anggota jemaat pendukung kami pun berdatangan ke kompleks gereja: Laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Namun berhubung di gedung serba guna seminar kebangunan naposo masih berlangsung, mereka semua duduk-duduk saja mengobrol di teras dan halaman sekaligus menunggu-nunggu arahan. Konsentrasiku langsung pecah. Di satu pihak aku sangat sadar pentingnya seminar ini bagi para pemuda, namun di pihak lain pikiranku sudah tidak tertuju kepada seminar ini melainkan kepada masalah konflik HKBP. Begitulah aku bolak-balik, sebentar di dalam gedung sebentar ikut ngobrol di luar bersama orang tua-tua.

Siang. Anggota jemaat yang datang sudah semakin banyak. Mereka tidak sabaran lagi ingin ramai-ramai ke gereja lama membubarkan kelompok yang dianggap melanggar kesepakatan status quo itu. Mereka belum bisa melupakan gagalnya rencana penahbisan pendeta di Palembang yang juga disebabkan oleh status quo itu. Dari antara jemaat yang sangat semangat itu adalah Kapten Pol Simarmata. Dia polisi aktiv di bagian reserse, namun entah kenapa sejak awal tidak pernah takut menunjukkan secara terang-terangan dirinya pro SSA. Itu membuat kami para pendeta sangat kuatir.
Selain itu ada yang menggelikan. Yang paling emosional ingin segera membubarkan kelompok Tiara dari gereja lama justru orang tua-tua, yang menurutku jangankan berkelahi namun berjalan saja pun sudah susah dan karena itu harus dipapah. Juga Ibu-ibu rumah tangga. Mereka terus gelisah menunggu-nunggu saatnya bertindak. Akhirnya aku berdiskusi dengan Pdt Ben Parhusi, para pendeta lain serta parhalado. Semua sepakat gereja lama harus diambil lagi. Namun bagaimana? Seminar belum selesai. “Tunggulah sebentar lagi” kataku.

PENGEPUNGAN PERTAMA
Jam 16.30 sesuai kesepakatan dengan Parhalado dan pengurus Naposobulung serta Panitia, aku pun masuk ke ruang serba guna mengumumkan dengan penuh penyesalan dan permohonan maaf kepada para undangan khususnya dari gereja-gereja tetangga bahwa seminar harus dihentikan. HKBP sedang menghadapi masalah. Seminar pun langsung bubar. Presenter MDP buru-buru menggulung layarnya dan para pemuda HKBP berhamburan keluar. Para jemaat sudah mulai bergerak berjalan kaki. Aku benar-benar tidak sempat melakukan koordinasi dan buru-buru menggabungkan diri.
Dari luar gereja lama tampak sepi. Jendela-jendela tertutup. Mereka melakukan aktivitas di dalam. Perkiraanku jumlah orang di dalam hanya 30 orang. Sementara jumlah kami yang datang lebih dari seratus lima puluh orang. Jika terjadi konflik fisik kupikir kami menang dengan mudah. Apalagi dua jalan di depan gereja sudah kami tutup. Tapi apa akibatnya? Aku bersyukur rombongan kami sangat tertib dan mudah diatur. Tak ada yang berteriak-teriak, memaki-maki, apalagi bertindak sendiri. Semua tenang menunggu arahan, mengisi waktu duduk mengobrol sesamanya sambil sesekali bercanda.

Sudah bisa diduga pihak polisi pun segera datang. Jumlahnya tak banyak. Seorang perwira Intelpam Poltabes lantas mengajak kami kedua belah pihak negosiasi di warung depan gereja. Negosiasi pun dilakukan sambil dikerumuni jemaat dan masyarakat yang ingin tahu. Dari kelompok Aturan aku dan Pdt Ben Parhusip, dan seperti biasa dia menyuruh aku jadi jurubicara. (Mungkin alasannya dia kurang pintar bicara, hanya pintar kerja saja, jangan-jangan aku sebaliknya). Aku pun memainkan peranku dengan baik sebagai negosiator. Terus terang aku merasa punya bakat untuk itu.
Ada dua argumen kukedepankan. Pertama: kesepakatan Muspida Sumsel bahwa Palembang status quo. Masing-masing pihak tetap pada posisinya sampai masalah HKBP dituntaskan di Pusat. Namun fakta kini kelompok Tiara melanggar kesepakatan. Kedua: untuk menguatkan argumen pertama, aku mengingatkan bahwa jumlah kami lebih banyak secara signifikan. Aku sengaja tidak mengungkit-ungkit masalah Aturan, karena kupikir tidak ada gunanya, toh polisi itu tidak tahu apa-apa soal Aturan HKBP. Kesanku polisi yang memediasi kami dapat menerima argumenku, itu bisa kubaca dari raut muka dan sikap tubuhnya.

Sebaliknya, jubir kelompok Tiara bertahan bahwa mereka adalah HKBP yang sah yang diakui oleh Pemerintah Pusat cq Menteri Agama. Selain itu gereja lama ini kosong dan terlantar dan mereka ingin membersihkan dan menggunakannya.
Negosiasi alot. Aku tak mau mundur sedikit pun dari posisi status quo yang disepakati Muspida Sumsel. Sengaja kutambahkan bahwa kemarin sewaktu rencana penahbisan kelompok kami sudah mau mengalah, karena itu kami sekarang tidak mau lagi mundur. Perwira polisi dari Poltabes ini mengambil sikap netral berempati, namun aku mendapat kesan dia terjepit, sepertinya ada kekuatan yang menekannya diam-diam. Percakapan benar-benar alot dan beberapa kali terputus, karena si perwira minta ijin melakukan koordinasi dengan atasnnya. Aku terus-menerus menghela nafas untuk mengendalikan diriku agar kata-kata yang keluar dari bibirku tak ada yang salah, dan bisa dipakai menyerang balik.

Namun diam-diam aku membisikkan kepada beberapa naposo dan jemaat agar memanggil lebih banyak lagi pendukung kami datang. Aku sadar betul psikologi perundingan. Kekuatan juru runding bukan hanya ditentukan kepintarannya berbicara dan adu argumen, tetapi terutama peta kekuatan di lapangan. Aku ingin secara halus meyakinkan pihak keamanan bahwa suara kami harus diperhitungkan.

Menjelang jam 6 sore kami dipanggil lagi. Perwira Poltabes itu meminta rombongan
kami pulang. Mereka berjanji bahwa kelompok Tiara yang ada di dalam juga akan pulang. Aku tak mau percaya begitu saja. Lantas aku pun bertanya jam berapa? Perwira polisi itu tidak menjawab. Aku menarik nafas. Ini benar-benar perang urat syaraf. Jika kami tidak mengikuti sarannya, maka citra kami akan jelek, kami bisa-bisa dikatakan tidak menuruti saran pihak keamanan. Nanti seandainya ada apa-apa tentulah kami yang dipersalahkan. Namun bila kami mengikuti begitu saja sarannya, apa jaminan bahwa kelompok Tiara juga akan pulang?

Berhubung polisi itu tidak bisa memberi jadwal pasti aku menetapkan sendiri deadline. “Pokoknya kami tunggu sampai jam sembilan malam. Bila polisi tidak mau membubarkan maka kami yang membubarkan” kataku sedikit berbau nada mengancam. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri berbicara empat mata dengannya, “Pak tolong sampaikan kepada atasan, kalau empat puluh orang dianggap potensial bikin rusuh, bagaimana dengan empat ratus orang”. Tetapi sesuai saran polisi rombongan kami pun patuh pulang ke gereja Mayor Ruslan. Mungkin dipikir polisi kami akan bubar sendirinya. Namun ternyata rombongan itu kami bukan saja tetap sabar menunggu di gereja baru, melainkan memanggil lebih banyak lagi anggota jemaat datang. Apalagi ina-ina, sepertinya senang sekali ramai-ramai.

Perasaanku sendiri tidak menentu. Aku tidak bisa memastikan apa yang bakal terjadi
malam nanti. Aku tidak kuatir soal pribadiku bila konflik fisik. Kawan-kawanku naposo sudah siap di depan. Namun berapa harga yang mesti kami bayar? Maksudku bukan soal uang, berapa besar pengorbanan yang harus ditanggung? Aku tidak menginginkan ada korban luka apalagi nyawa di Palembang, dari pihak mana pun, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Konflik ini sudah jadi perangkap bagi kami semua. Untunglah Martha pacarku, tiba-tiba datang. Dia sedang koas di RSUP Palembang dan kebetulan tidak jaga. Aku sedikit terhibur. Aku meminta dibelikan jus mangga. Kataku setengah bercanda, “siapa tahu nanti malam aku mati, aku kepingin minum jus dulu”. Dia tidak suka mendengar kalimat itu, namun dia pergi mencari yang kuminta. Perasaanku itulah jus mangga paling sedap di dunia. Sampai hari ini.

Namun ada masalah baru. St TH Sihombing, salah satu pendukung pro Aturan yang
paling gigih, sejak pagi dipanggil ke Poltabes dan sampai malam ini tidak pulang-pulang. Rupanya dia ditahan. Kelak di kemudian hari kami tahu penahanan ini adalah kreasi seorang perwira di Poltabes pendukung Tiara tanpa koordinasi dengan atasan. Seorang sintua kami, dr. Theresia Lumbantoruan (suatu saat kelak beliau menjadi ibu mertuaku), menawarkan jasa menghubungi Kadit Intelpam Polda yang baru Kolonel Muharram yang dikenalnya secara baik secara pribadi. St TH Sihombing pun segera dibebaskan.


PENGEPUNGAN KEDUA
Jam sembilan malam tak ada tanda-tanda sama sekali polisi membubarkan kelompok Tiara yang menduduki gereja lama. Kami sudah bertekad bulat: Polisi tidak mau membubarkan maka kamilah yang akan membubarkannya. Namun, atas saran pendeta Ben Parhusip, kami naik dulu ke dalam gereja, untuk bernyanyi dan berdoa. Aku membacakan Injil tentang harga mengikut Yesus dan mengajak jemaat menyanyikan BE 223 Husomba Ho Tuhan. Pdt Ben Parhusip berdoa. Sebelum rombongan turun aku mengingatkan: “tidak ada satu orang pun yang boleh membawa senjata, batu atau kayu. Tidak ada satu orang pun yang boleh bertindak sendiri. Tunggu arahan!”

Malam sudah naik. Kami benar-benar didesak waktu. Para jemaat dari sore sudah tidak sabaran hendak lekas-lekas berangkat. Aku tidak sempat lagi koordinasi secara matang dengan kawan-kawan. Aku hanya bisa memesankan kepada aktivis naposo agar menyebar dan mengenali seandainya ada penyusup ke dalam barisan.
Rombongan yang berjumlah kurang-lebih 500 orang itu berjalan kaki tenang dan hening. Aku sempat beberapa kali menoleh ke belakang mau melihat ujung barisan yang sangat panjang itu. Kami sengaja memutar arah agar tidak melewati pemukiman penduduk. Ya kami harus tetap menunjukkan bahwa di saat konflik sekali pun kami adalah orang-orang santun.

Sewaktu kami tiba di jalan depan gereja lama sudah banyak sekali polisi anti huruhara lengkap dengan helm, tameng dan pentungan. Dekatnya sebuah panser parkir. Aku bergidik ngeri. Malam. Aku tak bisa melihat jelas muka orang-orang. Namun di belakang polisi aku melihat banyak pasukan loreng. Seorang naposo membisikkan bahwa Komandan Korem Kolonel Ryamirzad Ryacudu juga ada di situ, duduk dalam jeep, mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Rombongan kami semua sudah berhenti persis di depan gereja lama. Tertib dan tenang. Lantas apa yang akan terjadi? Aku tak berani membayangkannya. Aku hanya bisa berdoa dalam hati agar Tuhan kasihan melihat kami.

Seorang perwira berseragam loreng mendatangi kami. Aku mengenalnya sebagai
Komandan Kodim Palembang tapi lupa namanya. Dia Muslim. Kami pernah sekali diundang ke kantornya dan beliau sangat hormat dan santun. Rupanya dia masih mengenal aku.
“Pak Harahap kan?” Aku mengangguk.
“Siapa pemimpin rombongan dari gereja Mayor Ruslan?”
Aku menjawab spontan “saya”. Dia memandangku.
“Bapak bisa meminta rombongan mundur enam meter ke belakang?” tanyanya.
“Bisa”
kataku. Melalui pengeras suara aku meminta rombongan kami mundur dan
duduk tenang, sengaja kutambahkan anak kalimat “kita semua orang baik-baik yang mengendaki kota ini aman dan tenteram.” Semua rombongan kami mundur enam meter ke belakang, lantas diam lagi menunggu. Suasana tegang sekali. Lantas Dandim itu berkata “Bapak tenangkan rombongan. Biar kami yang bertindak.” Aku baru tahu di kemudian hari rupanya Dandim itu sedang mengetesku. Dia sengaja menyuruh aku memundurkan rombongan dan ternyata rombongan kami mau mundur. Pikirnya jika rombongan yang sedang marah ini mau disuruh mundur tentu mereka juga mau jika disuruh maju menyerbu. Sebab itu pihak keamanan tidak mau mengambil resiko sedikit pun.

Beberapa meter di depanku aku melihat Dandim tampak bersoal-jawab dengan seorang
pendeta pendukung Pro Tiara. Aku tidak tahu isi percakapan mereka, namun aku melihat kawanku pendeta yang pro Tiara itu tiba-tiba ditempeleng oleh Komandan Kodim itu. Plak. Aku menggigit bibirku. Dia yang ditampar tapi entah kenapa perasaanku sakit sekali. Aku tidak suka keaadaan ini.

Tiba-tiba aku mendengar aba-aba komando. Pasukan polisi anti huru-hara bertameng
itu pun bergerak bagaikan robot-robot menakutkan di kegelapan malam bercahaya pendar-pendar lampu sirene. Lampu gereja lama tiba-tiba tampak dipadamkan. Aku mendengar suara gaduh. Suara gebukan-gebukan pentung. Suara perempuan menjerit-jerit. Aku tak tahan mendengarnya. Aku yakin mereka tidak dikerasi atau digebuki oleh polisi itu, sebab mereka adalah kelompok HKBP yang diakui dan didukung pemerintah pusat, tetapi yang jelas mereka sedang dipaksa pergi. Suara sirene mobil taktis terdengar meraung-raung keras membawa kelompok Tiara ke suatu tempat. Semua kami diam membisu menyaksikan adegan pengusiran paksa itu. Raung sirene mobil taktis yang mengungsikan “lawan-lawan” kami itu makin sayup lantas hilang lenyap. Aku sekonyong-konyong merasa sunyi.

Rombongan kami pun pulang lagi ke gereja HKBP. Makan bersama. Aku tak bergairah dan lebih banyak diam. Suara sirene dan jeritan-jeritan perempuan itu masih terus mengiang-ngiang di telingaku. Aku merasa bersalah. Rasa bersalah itu begitu kuat sehingga aku tak mampu menahannya. Alih-alih merasa menang dan bangga, aku merasa sepi, seperti seorang diri di padang kubur yang sunyi. Aku sengaja pulang lebih awal ke rumahku. Aku ingin menyendiri.

Malam itu aku menelpon abangku sekedar untuk bercerita tentang kejadian di HKBP. Namun malah dia yang balik menyampaikan berita. Katanya Jakarta rusuh. Ada banyak sekali korban. Pagi-pagi tadi Markas PDI Pro Mega di Jalan Diponegoro diserbu oleh pendukung Suryadi didukung preman dan aparat keamanan dan sesudahnya Jakarta hangus terbakar dan disusul penangkapan besar-besaran. 27 Juli 1996. Aku semakin takut.)
Aku mau menyampaikan kebenaran kepada murid-muridku sekaligus kawan-kawanku generasi muda HKBP sekarang, dengarlah baik-baik kata-kataku: dalam perang saudara tidak ada satu orang pun dari antara kita yang menang sebab kita semua akan kalah secara memedihkan. Ingatlah, tiap-tiap hal yang kauanggap “kemenangan”-mu bukan saja tidak memberimu rasa bangga, tetapi malah semakin menorehkan luka jiwamu semakin dalam. Tertanda: Daniel T.A. Harahap.

SELAMAT TINGGAL PALEMBANG
Gereja HKBP Palembang tetap eksis saat konflik HKBP namun aku merasa sangat letih. Kupikir tugas dan tanggungjawabku di Palembang cukuplah sudah. Aku tidak bisa berkutat terus di rawa masalah HKBP yang tidak berujung ini. Itu bisa merusak jiwaku. Aku harus mundur atau retret dulu. Ya, aku butuh mensistematisir ulang pemikiranku. Memakai bahasa komputer: aku harus menginstal ulang kepribadianku. Bagaimana? Aku ingin sekolah lagi dan Eforus setuju. (Sebenarnya diam-diam aku tidak hanya ingin melanjutkan studi, tetapi sekaligus ingin mempersiapkan pernikahanku dengan Martha.)

Aku pun pamit. HKBP Palembang melepas aku penuh kehormatan dan kasih. Terus terus aku bangga sekali. Tahun 1991 dulu saat datang aku tidak disambut. Bukan karena jemaat HKBP Palembang ini tidak mau menyambutku, namun akibat bus ALS yang kutumpangi dari Tarutung mogok dua hari di hutan lintas Sumatera padahal babi untuk penyambutanku sudah sempat dipotong. Akhirnya jamuan yang seyogianya untuk menyambutku mereka makan sendiri. Dalam kata-kata mohon diri di gereja aku mengatakan, “ibarat pendaki gunung, aku sudah sampai di satu bukit pelayanan, dan aku harus mendaki bukit pelayanan lainnya. Ibarat pelompat galah, aku sudah meloncati satu mistar kini aku mencoba meloncati mistar lainnya.”

SALIB EMAS
Tradisi di HKBP perpisahan pendeta selalu ditandai dengan pemberian bros salib emas kepada pendeta yang hendak pergi. Bagi kami para pendeta itu adalah suatu kehormatan besar, upah pelayanan seorang hamba Tuhan, sekaligus bukti keberhasilan pelayanan kependetaan. Sebab ada juga pendeta yang harus angkat kaki buru-buru dari jemaat karena direkkes dipaksa
pergi karena dianggap bermasalah. Namun syukur aku tidak begitu. Aku menerima salib emas pertama dalam hidupku ini di altar. Aku haru sekali menerimanya. Terbayang semua kenangan indah yang kualami. Rasanya waktu begitu cepat berlalu. Kupikir bukan hanya aku yang sedih meninggalkan Palembang, tetapi jemaat ini juga sedih melepas aku pergi, apalagi kawan-kawanku naposo. Kami lima tahun lebih sama-sama beribadah, berdoa, belajar dan berkarya, bermain dan berjuang. Ada banyak sekali pengalaman indah membekas dalam yang takkan mungkin lagi kami lupakan sepanjang hidup. Tapi jam kehidupan tidak pernah bisa diputar mundur. Aku tak mau diperangkap masa lalu, betapa pun agungnya. Aku ingin maju dan aku bangga sekali.

Seorang anggota jemaat HKBP Palembang, pendukung fanatik SSA, bermarga Panjaitan, kebetulan berbisnis di bandara, entah bagaimana dia mengurus agar semua pengantar bisa masuk lounge. Aku naik ke pesawat lewat pintu khusus, diantar langsung olehnya dan seorang gadis bernama Martha sampai ke tangga pesawat. Dia, yang terakhir, adalah pacarku. Kami sudah janji akan menikah dan dia akan menyusul aku ke Jakarta.

DISTRIK JAKARTA DUA
Sampai di Jakarta aku pun segera berkabung dengan kawan-kawanku kelompok Pro Aturan yang saban hari Senin mengadakan sermon bertempat di HKBP Pulomas. Bagiku Palembang sudah berlalu, kini aku siap berkarya dan belajar lagi yang baru. Namun aku baru sadar sekarang di Jakarta ternyata kelompok pro Aturan atau SSA ini minoritas. Lebih celaka lagi, menurutku kami adalah minoritas yang tidak terpandang. Aku terus terang merasa kecil hati namun tidak ada pilihan lain aku harus menerima kenyataan yang menyakitkan dan memalukan ini.

Di Jakarta sekitarnya hanya ada beberapa jemaat HKBP saja yang jelas-jelas menolak fungsionaris HKBP produk Sinode Istimewa, dan jemaat-jemaat itu hampir semuanya ada di pinggiran Jakarta: Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Yang berada di pusat hanyalah HKBP Sudirman, namun entah dengan pertimbangan apa gereja ini juga tampaknya tidak total mendukung kelompok pro Aturan. HKBP Pulomas dan Pondok Bambu (terbelah dua) memang terletak di Jakarta Timur, namun menurutku juga tidak memiliki pengaruh yang besar di Jakarta. HKBP Jatiwaringin menyatakan independen, walaupun hatinya ke kelompok Pro Aturan namun uang tidak disetorkan ke pusat kami. Di Kebayoran dan Pasar Minggu, kelompok pro Aturan hanya merupakan sempalan kecil. Di UKI Cawang, yang berpisah dari HKBP Sutoyo, tadinya di awal konflik kelompok pro Aturan sangat besar, namun berhubung banyaknya masalah internal kronis, kelompok ini semakin hari kian menciut. Kasihan. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan keadaan kami di Palembang. Ini membuat aku bukan saja sangat prihatin tetapi hampir frustrasi. Aku tak habis pikir apa yang membuat kelompok pro Aturan di Jakarta seperti lumut yang tumbuh di batu. Hidup malas mati tak mau.

YANG PENTING AMAN
Dalam waktu singkat aku mendapatkan kesan umummya gereja-gereja HKBP di Jakarta, terutama yang besar-besar, punya sikap sama: ingin hidup aman dan tenteram. Pokoknya tidak ada keributan. Okelah. Sepintas sikap itu tampak baik dan luhur sekali. Gereja-gereja HKBP yang berada di tengah-tengah masyarakat metropolitan yang majemuk dan moderen ini tidak mau ikut-ikutan ribut apalagi terlibat kekerasan. Malu. Mereka lebih mengutamakan keutuhan, kesatuan dan “kerukunan” jemaat. Namun bila sikap itu direnung-direnungkan lebih mendalam, menurutku sikap
yang sadar atau tidak diambil gereja-gereja HKBP di Jakarta punya konsekuensi etis atau moral serius: itu artinya mereka juga tidak mau terlalu tahu dengan soal-soal benar dan salah.

Pertanyaan yang sangat mengusikku: apakah artinya jika sebuah gereja tidak memiliki minat, keprihatinan atau beban kepada apa yang benar dan salah dalam kehidupan ini? Bukankah gereja dipanggil bukan hanya percaya kepada Kristus, dan menyebut-nyebut namaNya, tetapi juga harus menggumuli pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk, bertanggungjawab atau tidak dalam kehidupan ini? Namun suka atau tak suka itulah fakta yang sedang kulihat dan fakta itu memukulku.
Dalam percakapan informal aku sering mendengar para sintua dan elit HKBP di Jakarta berkata: pokoknya siapa Pimpinan HKBP yang di Pearaja itulah yang kami dukung. Sepintas, sikap itu pun baik dan benar serta seolah berorientasi kepada kepentingan jemaat. Namun bagiku sendiri pernyataan itu menyakitkan. Apakah orang-orang ini tidak tahu bahwa Pimpinan HKBP yang duduk di Pearaja sekarang adalah hasil “kudeta berdarah” dengan bantuan pemerintah dan aparat keamanan? Tidak tahukah orang-orang ini Kantor Pusat HKBP diambil-alih secara paksa dan kekerasan (Eforus Nababan dan semua staff kantor pusat dipaksa keluar dari rumahnya dan barang-barangnya dicampakkan)? Jika mereka memang sungguh-sungguh tidak tahu kejadian tersebut, tapi itu mustahil rasanya, aku dapat memakluminya. Namun jika mereka tahu betul peristiwa itu, namun tidak mempersoalkan atau tidak menganggapnya masalah, menurutku memang ada yang salah dalam gereja HKBP ini secara keseluruhan.

Pertanyaanku kepada generasi muda: bolehkah kita sebagai orang Kristen hanya melihat hasil dan bukan juga cara yang dipakai guna mendapatkan hasil itu? Apakah tujuan yang benar dapat dicapai dengan cara yang tidak benar? Persis dalam dunia sekolah, Kristen apakah kita jika berprinsip yang penting mendapat nilai A atau lulus, tidak perduli apakah nilai bagus atau kelulusan itu didapatkan dengan cara mencontek atau mencuri? Kembali ke soal HKBP: sekelompok orang dengan alasan tertentu yang mungkin “baik dan benar menurutnya” menggulingkan kepemimpinan gereja (dengan bantuan aparat keamanan) kemudian mengambil-alih Kantor Pusat secara kekerasan (juga dengan dukungan aparat keamanan dan preman). Terus terang aku penasaran mau tahu pendapatmu: apakah tindakan itu benar atau salah? Baik atau buruk? Bertanggungjawab atau tidak? Ayo jawab!

Namun pertanyaanku belum selesai: lantas apakah sikap dan tindakan yang akan kautunjukkan berdasarkan jawabanmu atas pertanyaan-pertanyaan moral di atas? Di sinilah aku memberitahumu: bahwa dalam kekristenan mengetahui hal yang benar, baik dan bertanggungjawab saja itu tidak cukup. Mengetahui apa yang benar dan baik adalah bentuk paling dasar dan dangkal dari iman Kristen. Kau dan aku dipanggil tidak hanya untuk mengetahui apa yang benar dan baik, tetapi ikut memperjuangkan apa yang benar dan baik itu di tengah realitas hidup.

Aku pernah terpikir: bagaimana kalau kelompok Pro Aturan merebut segera Pearaja, berapapun harga sosialnya, dengan kekuatan massa pendukung kami yang besar dan fanatik? Bukankah sebagian besar masyarakat yang hidup di bawah Bukit Pearaja memihak kami (walau dengan rasa takut dan was-was kepada aparat keamanan yang memihak)?

Jika kami berhasil mengambil kembali Kantor Pusat Pearaja, bukankah dukungan gereja-gereja HKBP besar di Jakarta akan segera diperoleh sebab toh banyak orang hanya melihat siapa yang duduk di Pearaja? Tapi, aku buru-buru menarik lagi pikiranku. Jika memang kami juga menganut politik menghalalkan segala cara mencapai tujuan, lantas apa lagi keunggulan kami secara moral?

SSA DIANGGAP ANEH
Percakapanku dengan banyak anggota jemaat HKBP di Jakarta pada masa itu membuat aku semakin frustrasi. Ternyata sebagian besar anggota HKBP di Jakarta, tidak hanya yang muda-muda, benar-benar “buta” atau tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di HKBP. Kacau! Yang mereka ketahui hanya HKBP ribut-ribut karena para pendeta berebut jabatan eforus dan uang, dan itu membuat mereka bingung, risih dan malu.
Mula-mula aku mempersalahkan anggota jemaat HKBP atas ketidaktahuan ini. Dalam hatiku: mereka adalah kura-kura dalam perahu yang pura-pura tidak tahu. Namun setelah kurenung-renung lagi aku mendapat kesadaran baru: jangan-jangan anggota jemaat HKBP di ibukota ini memang tidak tahu apa-apa tentang HKBP dan ketidaktahuan itulah yang mendorong mereka memilih sikap netral dan berjarak atau tidak mau ikut campur. Mengapa? (Sebagian lagi yang tahu masalah lantas takut atau malu buru-buru melarikan diri ke gereja-gereja lain, dan di sana ditampung dengan “senang” seperti menangguk ikan yang berlompatan dari kolam orang lain saat banjir.)

Pertama: memang ada orang, terutama para pendeta dan sintua “pemegang kunci” HKBP, menyembunyikan kebenaran. Mereka sengaja meredam atau membelokkan keingintahuan jemaat tentang konflik HKBP dengan mengatakan “itu bukan urusan jemaat”, “ini masalah perebutan kekuasaan”, “yang penting kita beribadah dengan tenang”, “yang penting gereja kita aman”, “pokoknya kita mengikut pusat saja” dan macam-macam pernyataan lain membungkam rasa ingin tahu jemaat. Sebagai pemimpin dan narasumber, tentulah kata-kata mereka menjadi pegangan. Namun yang kusesali kenapa anggota jemaat tidak mengorek motif-motif yang ada dibalik pernyataan itu dengan berondongan pertanyaan: kenapa? Kenapa? Ya, kenapa? Tapi, sudahlah itu masa lalu. Besok-besok aku ingin kaubelajar sering-sering bertanya “kenapa” atas hal-hal yang tak kaupahami dalam hidup ini termasuk di gerejamu, juga di persekutuan kampusmu.

Kedua: aku semakin sadar akan kedahsyatan kekuatan media memanipulasi informasi. Jaman itu hampir seluruh media cetak dan elektronik (baca: TVRI dan RRI) di bawah kontrol pemerintah, dan karena itu dipergunakan sebagai corong pemerintah. Berhubung pemerintah pusat punya agenda menguasai HKBP maka logis-logis saja jika seluruh media cetak dan elektronik itu dipaksa hanya boleh menyiarkan berita-berita versi pemerintah tentang konflik HKBP tersebut. Akibatnya: masyarakat luas dan anggota HKBP hanya mendapatkan informasi sepihak (yang berasal dari pemerintah) secara terus-menerus. Informasi sepihak itulah yang dijadikan banyak warga HKBP di Jakarta dan kota-kota besar di luar Sumatera Utara dasar mengambil sikap.

Ketiga: aku semakin sadar masyarakat dan bangsa ini sudah terlalu lama dikuasai dan dicekoki Orde Baru, sehingga benar-benar kehilangan daya kritisnya. Seperti saudara-saudaranya sebangsa banyak warga HKBP juga cenderung menerima saja apa yang dikatakan pemerintah yang sedang berkuasa dan disebar-luaskannya lewat media massa. Masyarakat di jaman Orde Baru belum terbiasa berpikir dengan berbagai perspektif, mencari sumber-sumber informasi lain, apalagi berani berpendapat berbeda. Sebab itu tidak aneh jika kelompok Pro Aturan atau SSA dianggap sebagai “mahluk aneh” di Jakarta ini. Bahkan kadang aku merasa kami ini ibarat “orang kusta politik” yang harus dihindari dan dijauhi. Takut tertular apa ya?

OTOKRITIK KELOMPOK SSA
Sadar akan apa yang diperjuangkan oleh kelompok Pro Aturan bukan saja tidak dianggap penting namun malah dianggap aneh oleh sebagian besar jemaat HKBP di Jakarta, aku benar-benar bergumul lahir dan batin. Pikiranku mengatakan kami bukan hanya harus mengubah strategi tetapi juga harus merumuskan ulang visi dan substansi perjuangan kami. Jika tidak maka kami akan habis.

Aku masih ingat di awal konflik beberapa jemaat HKBP pro Aturan sangat bersemangat, berkibar-kibar dan memberi harapan. Namun sejalan dengan perjalanan waktu kelompok Pro Aturan atau SSA meredup. Jemaat-jemaat HKBP pro Aturan seperti Pulomas, Pondok Bambu, UKI Cawang, Tangerang, Sudirman akhirnya jenuh, kehilangan visi, dilanda internal, atau sibuk dengan urusannya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan perjuangan kami. Sudah kusinggung di atas, kelompok SSA di Jakarta minoritas, dan celakanya minoritas yang tidak terpandang pula. Menurutku kini kami tidak punya kekuatan dan kelebihan apa-apa lagi yang bisa “dijual”. Aku merasa kecewa sekali dan cenderung mulai apatis. Bagiku SSA telahkehilangan greget dan daya tariknya. Aku pun bertanya lagi kepada diriku: apa sih sebenarnya SSA? Mengapa dan untuk apa aku ada di sini?

MERUMUSKAN ULANG MAKNA SSA
Satu hal yang kusayangkan sampai sekarang waktu itu kami tidak punya waktu banyak berdiskusi dan bersama-sama melakukan refleksi teologis mendalam terhadap visi dan substansi perjuangan kami. Banyak hal terjadi secara spontan dan sporadis saja.
Namun menurutku SSA bukanlah kelompok, apalagi kelompok tertutup yang sedang memperjuangkan kepentingan jangka pendek dan sempit. Berdasarkan pergumulanku bersama kawan-kawan “Setia sampai Akhir” lebih merupakan cita-cita atau semangat bergereja, yang bermuatan paling sedikit empat hal:

PERTAMA: INDEPENDENSI HKBP
Bagiku, seperti kesadaran cukup banyak kawan-kawanku pendeta muda, gereja harus independen. Sebab itu gereja HKBP juga tidak boleh menjadi sub-ordinat atau perpanjangan tangan lembaga-lembaga dunia. Memakai bahasa eforus GHM Siahaan “let the church be church”. Biarlah gereja menjadi gereja. HKBP bukan agen atau perpanjangan tangan pemerintah, lembaga adat, partai politik atau lembaga bisnis. HKBP adalah gereja Tuhan. HKBP hanya boleh dependen atau tergantung mutlak kepada Tuhan.

Jangan salah sangka. Sikap independen ini tidaklah identik dengan sikap antipati atau bermusuhan atau antipati. Gereja HKBP tidak boleh memusuhi pemerintah, adat Batak, atau lembaga ekonomi, atau pribadi-pribadi. Yang dimaksudkan dengan independen adalah sikap mengambil jarak. Gereja harus mengambil jarak (tidak terlalu jauh namun tidak terlalu dekat) kepada kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan juga budaya. Hanya dengan demikianlah gereja dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai gereja Tuhan.

KEDUA: SIKAP KRITIS KEPADA KEKUASAAN
Isi kedua dari perjuangan SSA adalah sikap kritis kepada kekuasaan. Itu adalah warisan para nabi (Amos, Yesaya, Yeremia dan Mikha dll) dan Yesus. Gereja termasuk HKBP harus melaksanakan tugas profetik atau tugas kenabian: menyuarakan kebenaran dan keadilan. Orde Baru jelas-jelas telah melakukan penyimpangan dan HKBP dipanggil Tuhan menyampaikan kritik kepada kekuasaan itu. (Kelak tahun 1998 Orde Baru yang pada awal 1990-an masih dipuja-puji banyak orang itu dijatuhkan oleh Reformasi yang dipelopori para mahasiswa, dan banyak orang yang tadinya memujanya berbalik menghujat dan memaki-makinya.) Mungkin bahasa penyampaian HKBP kurang halus atau terlalu berterus-terang namun intinya benar. Gereja tidak boleh tinggal diam atau masa bodo bila terjadi penyimpangan dalam masyarakat.

Namun menurutku agar kita bisa tetap kritis kepada kekuasaan, maka kita pertama-tama dan terutama harus kritis kepada diri sendiri. Kesanku, sikap otokritik itulah yang makin lama makin hilang dalam kelompok Pro Aturan. Mungkin sebagian kawan beralasan, nanti kelompok kami pecah, namun di sinilah masalahnya. Bagaiman mungkin kita mengkritisi kekuasaan dan orang-orang lain sementara kita tidak kritis kepada diri sendiri dan kelompok sendiri? Menurutku dilemma kebenaran dan solidaritas persaudaraan sudah lebih dulu dialami oleh Yeremia, dan semua pendeta serta orang Kristen harus ikhlas menerimanya sebagai bagian panggilan.

KETIGA: KOMITMEN KEPADA PEMBAHARUAN
Tahun 1986 DR SAE Nababan tampil di HKBP dengan gagasan pembaharuan. Aku masih mahasiswa Teologi ketika itu. Namun aku sangat tertarik dan mendukung gagasan: Mempersiapkan HKBP menghadapi era industrialisasi yang maju dan moderen. Gagasan itu sangat brilyan. Eforus SAE Nababan sendiri benar-benar bergelora menjemaatkan dan memasyarakat gagasan pembaharuan HKBP itu. Mungkin karena itu jugalah dia dianggap menjadi ancaman bagi banyak orang.

Namun pembaharuan apa yang terjadi di Distrik Jakarta? Aku benar-benar frustrasi. Aku tak melihat keseriusan kelompok kami melakukan perubahan dan pembaharuan HKBP. Kesanku, maaf jika salah atau berlebihan, jemaat-jemaat HKBP pro Aturan tidak ada yang bisa dijadikan sampel atau contoh pembaharuan yang menjadi manifestasi semangat SSA. Sadar atau tidak, kami sudah kembali ke pola-pola lama dan “tradisional” HKBP? Jika kami tidak mau dan tak mampu mengadakan pembaharuan HKBP lantas apa yang mau diharapkan dari kelompok yang bernama “Pro Aturan” atau “Setia Sampai Akhir” ini?

KEEMPAT: KESETIAAN KEPADA PARTISIPASI WARGA GEREJA
Yang terakhir, SSA adalah kesetiaan kepada partisipasi warga HKBP seluas-luasnya, secara khusus partisipasi perempuan dan pemuda. Gereja HKBP bukan milik pendeta atau parhalado seumur hidup atau segelintir elit, tetapi milik seluruh warga HKBP. Sebenarnya HKBP adalah milik Tuhan namun Dia menitipkan dan mempercayakan gerejaNya kepada seluruh jemaat. Sebab itu HKBP harus melibatkan anggota jemaat sebanyak-banyaknya berperan dalam pelayanan dan kesaksiannya. Bukan hanya itu HKBP harus mengundang warga ikut berperan aktiv dan melibatkan dirinya dalam seluruh proses pengambilan keputusan gereja termasuk di bidang keuangan. Siapa mau?
Aku masih ingat ketika pendeta-pendeta HKBP dikejar-kejar oleh aparat keamanan dan preman, dan harus bersembunyi, maka yang tampil ke depan adalah anggota jemaat. Kelompok SSA harus mengakui bahwa yang paling gigih membela dan mendukung perjuangan adalah para perempuan dan pemuda. Namun setelah sekian lama waktu berjalan, peran jemaat kembali surut. Warga jemaat sudah kembali dipinggirkan menjadi penonton dan penggembira. Jemaat-jemaat HKBP pro Aturan kembali didominasi kami para pendeta dan penatua. Lantas untuk apa aku di sini?

KEMBALI KE KAMPUS DAN BUKU
Di kenyataan yang paling sulit sekali pun selalu ada berkat tersembunyi bagi orang-orang beriman yang mau mencari. Di tengah frustrasi disebabkan kondisi jemaat-jemaat pro Aturan di Jakarta yang tidak menjanjikan, aku mendapatkan pencerahan. Aku jadi lebih sadar diri dan rendah hati. Menyitir bahasa Gunawan Mohammad: dulu saat aku muda aku kepingin sekali membereskan segala persoalan dengan segera. Kini aku lebih dewasa, aku lebih arif, ternyata banyak persoalan yang tidak bisa dibereskan segera, dan bahkan ada persoalan yang memang tidak bisa selesai.”
MENCARI AKAR KONFLIK HKBP
Aku mulai mencoba mengambil jarak dari masalah HKBP untuk mencoba merefleksikan ulang segala pengalaman dan pemikiranku tentang konflik yang menyerupai benang kusut ini. Aku sangat ingin tahu akar-akar konflik HKBP. Lewat permenungan panjang yang sangat melelahkan, aku akhirnya menemukan sedikit-sedikitnya 6(enam) hal yang kuanggap merupakan akar konflik HKBP. Keenam akar pahit HKBP itu terkait satu sama lain.

AKAR KONFLIK PERTAMA: CAMPUR TANGAN EKSTERNAL
Walaupun kelompok SSA mengangkatnya sebagai isu utama, menurutku campur tangan pemerintah terhadap HKBP bukanlah akar tetapi pemicu sekaligus penajam konflik HKBP. Bibit-bibit konflik itu sendiri sebenarnya sudah lama ada di tubuh HKBP, tidak hanya di pusat melainkan juga di jemaat-jemaat lokal. (Jika kita perhatikan sejarah HKBP sarat konflik). Namun campur tangan pemerintah membuat konflik 1990-an ini meledak dan berakibat sangat parah, sehingga seolah-olah tidak terselesaikan.
Pertanyaan: mengapa pemerintah mencampuri urusan HKBP? Atau lebih baik: mengapa pemerintah bisa mengaduk-aduk HKBP? Itu pertanyaan sulit. Alasan resmi yang sering dikemukakan pemerintah saat itu adalah untuk membantu HKBP menyelesaikan masalahnya. Demi menjaga stabilitas pembangunan. Pada jaman Orde Baru pemerintah memang memposisikan dirinya sebagai pembina atau pengayom segala-galanya termasuk lembaga-lembaga agama. Organisasi-organisasi sosial dan keagamaan harus “dibina” dan diarahkan agar dapat ikut menjaga stabilitas nasional demi suksesnya pembangunan berdasarkan Pancasila. Generasi muda sekarang tidak usah pusing dengan kalimat di atas. Itu bahasa khas Orde Baru. Namun fakta menunjukkan “bantuan pemerintah” bukan saja tidak menyelesaikan konflik HKBP selesai tetapi membuatnya semakin menjadi-jadi dan ruwet sekali. Hal ini antara lain disebabkan telah tumbuh rupanya kesadaran kritis di sebagian warga HKBP sehingga tidak lagi dapat menerima campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama.

Aku bukan penganut teori konspirasi yang dengan mudah akan mengatakan memang ada usaha penghancuran secara sistematis gereja HKBP sebagai sebuah institusi. Menurutku teori konspirasi hanya cocok untuk sebuah novel (jaman sekarang mungkin untuk talkshow infotainment televisi), namun tidak terlalu berguna untuk penyelesaian masalah yang sesungguhnya. Tetapi kuakui juga tidak sedikit orang yang percaya bahwa memang ada konspirasi mengobok-obok HKBP. (Kasus-kasus mirip yang dialami oleh PDI dan NU memperkuat hal itu.) Aku sendiri tidak habis mengerti peran yang sedang dijalankan Menteri Agama Tharmizi Thaher dalam konflik HKBP. Menurutku sebagai Menteria Agama dia tahu betul bahwa DR PWT Simanjuntak dan DR SM Siahaan jelas-jelas tidak mampu menyelesaikan masalah HKBP, namun alih-alih mencari jalan keluar Menteri Agama Tharmizi Thaher justru “mengukuhkan” bahwa kepemimpinan mereka di HKBP dengan menyatakannya sudah final. Sulit menampik jika ada orang mengatakan adanya semacam “politik pembiaran” dalam sikap itu.

Presiden Soeharto sendiri bungkam soal HKBP. Aku belum pernah satu kali pun mendengar statement Presiden Soeharto tentang HKBP. Itu pun sebenarnya aneh sekali. Masa seorang Kepala Negara tidak berbicara sedikit pun tentang konflik berdarah yang melanda sebuah gereja protestan terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Apakah Presiden Soeharto menganggap masalah HKBP terlalu kecil dibanding urusan sapi di Tapos untuk ditangani oleh seorang Presiden? Atau memang Soeharto sengaja membiarkan konflik HKBP dengan alasan yang hanya dia sendiri yang tahu? Entahlah. Mungkin ada orang lain yang lebih mampu menjelaskannya.

Aku mendengar samar-samar pernah ada tiga orang pendeta yang diutus menjumpai Abdurahman Wahid Ketua PBNU di kantornya di Jalan Kramat. Gus Dur mengatakan, bahwa HKBP memang test case. Sebenarnya yang hendak “ditelan” adalah NU. Namun disayangkan oleh Gus Dur bahwa Kantor Pusat HKBP di kampung Tarutung, jauh dari pandangan masyarakat luas, sehingga “operator-operator” Orde Baru dengan mudah mengobok-obok HKBP. Sebaliknya kantor PBNU ada di Jakarta, dimana ada begitu banyak kedutaan dan lembaga internasional serta media asing, yang pasti akan segera bereaksi jika PBNU diusik secara kasar dan telanjang.

Jaman itu memang masa hegemoni Orde Baru. Ya masa puncak kekuasaan Soeharto. Tidak ada satu organisasi pun yang boleh independen di Indonesia. Semua harus ditundukkan kepada pemerintahan Soeharto yang menganggap dirinya identik dengan negara atau jangan-jangan juga dengan Tuhan. Celakanya di HKBP muncul seorang pemimpin agama berkaliber internasional yang kritis kepada kekuasaan, punya gagasan membaharui HKBP, dan memiliki banyak pendukung fanatik. Jadi logis saja jika HKBP harus digebuk. (kata gebuk itu digunakan sendiri oleh Soeharto dalam pidatonya di depan publik untuk ditujukan kepada lawan-lawan politiknya.)

Tapi menurutku nafsu syahwat penguasa Orde Baru itu bukan urusan HKBP, atau lebih tepat di luar kendali HKBP. Yang jadi masalah, di HKBP ada banyak sekali celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Tanpa perlu susah-susah berpikir, semua orang yang mengamati HKBP akan bisa segera tahu ada cukup banyak pendeta-pendeta senior dan juga warga elit-elit HKBP yang merasa sakit hati dan ingin menghentikan langkah-langkah Eforus SAE Nababan. Semua orang yang sadar politik pasti tahu bahwa “barisan sakit hati” adalah kelompok yang paling gampang digarap untuk menghancurkan satu organisasi.

Di sini aku benar-benar sedih. Menurutku ada dua kegagalan HKBP. Pertama HKBP gagal melakukan pembinaan ke dalam, sehingga orang-orang HKBP, pendeta atau anggota jemaat biasa, sangat mudah dimanfaatkan untuk agenda kelompok lain. Kedua: HKBP juga gagal (kurang berhasil?) mengkomunikasikan dirinya ke luar, untuk meyakinkan elemen-elemen lain bangsa ini bahwa jika HKBP kuat itu bukan ancaman tetapi keuntungan bagi bangsa dan negara ini. Aku berandai-andai. Seandainya HKBP waktu itu mampu mengkomunikasikan kepada masyarakat luas bahwa HKBP dapat memberi kontribusi bagi Indonesia yang pluralistik dan demokratis jika gereja ini dibiarkan tumbuh dan berkembang, tentulah sejarah akan lain ceritanya. Namun semua sudah terjadi.

AKAR KONFLIK KEDUA: TEKANAN KULTUR BATAK
Eforus Nababan seringkali mengatakan HKBP bukan gereja suku. Secara formal ya. Konstitusi HKBP mengatakan gereja ini adalah persekutuan segala bangsa, bahasa dan kaum. Namun prakteknya 99% warga HKBP berasal dari suku Batak. Suka tak suka, diakui tak diakui, HKBP benar-benar menyatu atau tidak terpisahkan dengan kultur dan masyarakat Batak. Apa yang terjadi dengan kultur dan masyarakat Batak pasti berdampak kepada HKBP, sebaliknya apa yang terjadi di HKBP berdampak juga kepada kebatakan.

Aku teringat lagi tulisan Kartini Syachrir (boru Panjaitan) di Majalah Prisma tahun 80-an. Tulisan doktor antropolog Boston tersebut membuat banyak orang marah pada saat itu . Dia mengatakan bahwa orang2 Batak di bawah sadar sudah merasa kalah di pentas nasional lantas karena itu ramai-ramai menarik diri ke dalam. Fenomena maraknya pembangunan tugu dan organisasi berdasarkan pengelompokan marga menurut Kartini adalah semacam bentuk kompensasi kekalahan masyarakat Batak dibidang ekonomi dan politik di pentas nasional itu. Saat konflik HKBP terjadi aku berpikir jangan-jangan Kartini benar. Berhubung elit-elit Batak merasa tidak mampu lagi bersaing di tengah-tengah masyarakat luas dibidang ekonomi dan politik, mereka lantas ramai-ramai kembali ke HKBP yang merupakan “tugu dari segala tugu” dan “punguan dari segala punguan” Batak, sekedar untuk menunjukkan dirinya tetap eksis. (Kalau thesis Kartini benar maka tugas sangat berat HKBP adalah mendorong warganya kembali ke masyarakat, bangsa dan negara ini, bukan sekedar jadi pegawai negeri, pejabat atau salah satu menteri, tetapi terutama menjadi expert dan pedagang yang memberi kontribusi bagi kesejahteraan dan keadilan negeri ini.)

Analisisku kultur Batak pada masa itu juga sedang merasa terancam oleh maraknya gerakan kharismatik yang sangat anti kepada kultur Batak. Gerakan kharismatik ini jelas-jelas punya agenda “mentobatkan” HKBP. Gereja suku ini dianggap rimba yang belum diinjili dan “diubahkan”. Mereka pun secara sistematik dan semangat militan terus-menerus melakukan propaganda menolak adat Batak yang ditandai dengan ajakan membakar ulos Batak yang dianggap salah satu unsur kekafiran dalam kebatakan. Tentu saja masyarakat kultur Batak merasa sangat terancam dan terpancing melakukan perlawanan. Ide pembaharuan yang digagas Eforus Nababan sialnya disalah-mengerti sebagai usaha penghancuran tatanan kebatakan. Apalagi Eforus SAE Nababan dianggap pernah memberi angin kepada kelompok kharismatik dengan mengijinkan kelompok evangelisasi dari HKBP Jalan Jambu masuk ke Toba dan melakukan berbagai aktivitas yang sangat “asing” bagi masyarakat Kristen-Batak di Tapanuli sebelumnya.
Gerakan kharismatik dan orang Batak sebenarnya bagaikan api dan bensin. Gerakan kharismatik sangat menekankan spontanitas dan partisipasi warga jemaat. Orang Batak sangat haus berperan dan berbicara. Sebab itu orang-orang Batak yang tidak mendapatkan tempat di HKBP melihat tanpa sadar gerakan kharismatik adalah jawaban atas kebutuhan (bawah sadar) untuk berperan dan diakui. Nanti akan kujelaskan lebih lanjut mengapa begitu banyak orang HKBP (baca: Batak Kristen) terkagum-kagum dan tergila-gila kepada gerakan kharismatik yang kalau beribadah sangat hobi sekali bertepuk-tangan diiringi band pemekak telinga ini.

AKAR KONFLIK KE TIGA: KETIDAKJELASAN TEOLOGI
Visi HKBP tidak jelas. Benar eforus Nababan sedang membuat visi Mempersiapkan HKBP menghadapi era industrialisasi yang maju dan moderen. Namun visi itu kurang diterjemahkan ke dalam konsepsi yang benar-benar baik dan dalam. Akibatnya gagasan itu bukan saja kurang mendapatkan dukungan para pendeta dan warga yang sangat mencintai dan membela kebatakan, namun dirasakan sebagai ancaman. Sebab itu analisisku HKBP menghadapi tiga tekanan sekaligus: pemerintah yang ingin berkuasa total dan mencampuri semua kehidupan organisasi yang ada di negeri ini, kultur Batak yang merasa sedang terancam, plus gerakan kharismatik dan kaum fundamentalis Kristen yang sangat bernafsu mengubah HKBP.

Kembali ke soal teologi, menurutku ada 3(tiga) ketidakjelasan teologi HKBP ini yang menurutku ikut menyumbang konflik di tingkat Pusat maupun di jemaat-jemaat lokal ini.
Pertama: ketidakjelasan eklesiologi atau konsepsi tentang gerja. Lama HKBP terlena dan lupa mendidik warga jemaatnya agar benar-benar mengerti dan menghayati apa sesungguhnya gereja. Kadang atau selalu warga HKBP tidak dapat membedakan gereja dengan perkumpulan arisan, klub, koperasi, warung pribadi, bioskop, atau negara. Menurutku, ketidakjelasan eklesiologi ini mengakibatkan banyak warga jemaat tidak memahami secara jernih hubungan gereja dengan negara, begitu juga relasi gereja HKBP dengan kultur Batak. Ketika terjadi ketegangan antara gereja dengan pemerintah, maka warga HKBP kebingungan dan tidak punya pegangan merumuskan sikapnya. Di bidang lain, ketika terjadi permasalahan dalam persekutuan adat, maka masalah itu dibawa-bawa juga ke dalam gereja.

Kedua: ketidakjelasan liturgi atau konsepsi dengan ibadah. Serangan bertubi-tubi kelompok kharismatik dan fundamentalis kristen terhadap HKBP adalah menyangkut. terhadap liturgi HKBP yang mereka katakan kaku, kering, membosankan dan tidak hidup. Berhubung HKBP kurang atau tidak menjelaskan kepada warganya apa sebenarnya liturgi itu, maka warga HKBP terutama yang muda-muda, yang memang sangat haus akan perubahan dan pembaharuan ibadah, menelan bulat-bulat apa yang dikatakan orang lain tentang liturgi HKBP. Sebelum mempelajarinya sungguh-sungguh, apalagi menghayatinya, warga jemaat HKBP yang sudah termakan ajaran kelompok kharismatik dan fundamentalis, langsung ingin mengganti tata ibadah HKBP atau memasukkan segala hal baru yang dilihatnya di luar ke HKBP. Celakanya HKBP sendiri bersikap reaktif dan emosional. Alih-alih mengembangkan dan membaharui kehidupan ibadahnya berdasarkan prinsip-prinsip liturgi yang benar dan baik, HKBP malah mempertahankannya mati-matian dan menganggap liturgi warisan itu sudah final, tidak boleh berubah satu titik pun. Warga HKBP yang merasa dibina di luar dam selalu mengatakan “berjumpa Yesus bukan di HKBP itu” juga tak mau menyerah, mereka pun terus bergerilya “mengubahkan” HKBP, akibatnya terjadilah ketegangan atau bahkan konflik terbuka di banyak jemaat.

Konflik antara kelompok kharismatik HKBP versus kelompok konservatif ini sangat melelahkan kedua belah pihak. Berhubung HKBP belum terbiasa mengelola konflik (selama ini konflik “diatasi” dengan perpisahan) maka penyelesaiannya selalu menang-kalah atau kompromi murah-meriah. Lahirlah apa yang dinamakan “liturgi alternatif” yang merupakan anyaman kasar dari banyak keinginan, selera, dan gaya yang belum tentu match atau cocok satu sama lain. Aku sering melukiskan, maaf untuk kawan-kawanku, liturgi alternatif ini ibarat minyak campur air. Atau, mirip sekali pengantin bermuka Batak yang mengenakan brokaart Perancis, songket Palembang, sanggul melati Jawa, tusuk konde Jerman, dan buket Eropah lantas dengan nikmat makan sangsang babi dan sup daun kol yang dipotong lebar-lebar. Tidak ada yang salah di sana, tapi nggak mecing saja.

Ketiga: ketidakjelasan etika. HKBP terlalu sibuk dengan ritus, upacara dan seremoni, sehingga lupa mengajarkan etika Kristen kepada warganya. (Etika artinya: apa yang harus dilakukan.) Keadaan ini sebenarnya mempunyai akar yang sangat dalam, yaitu pemahaman dualisme kehidupan yang sejak dahulu hidup di kalangan warga gereja. Yang kumaksud dualisme adalah pemahaman yang memisahkan secara absolut yang rohani dan yang jasmani, surgawi dan duniawi, ibadah di gereja dan kehidupan sehari-hari. Bahasa Bataknya: manirang ngolu partondion asa sian ngolu pardagingon. Berhubung hal-hal rohani dianggap terpisah dan tak punya hubungan sama sekali dengan hal-hal jasmani, akibatnya apa yang dipercayai oleh warga gereja seringkali juga tidak punya korelasi langsung terhadap apa yang dilakukannya sehari-hari dalam lapangan bisnis, ekonomi, adat dan politik. Sebaliknya praktek kehidupan sehari-hari dalam berbisnis, beradat dan berpolitik juga ber-seks, tidak sungguh-sungguh lahir dari iman atau kepercayaan.

Berhubung seremoni atau ritus ibadah dianggap mahapenting, atau satu-satunya yang penting di dunia ini, maka pertanyaan-pertanyaan etika atau moral (sosial, politik, budaya, seks dll) tidak mendapat perhatian serius. Contohnya: seorang warga HKBP bisa sangat terganggu “imannya” melihat pemimpin ibadahnya yang kebetulan flu, batuk-batuk atau membuang ingus saat memimpin ibadah, namun bisa tidak terusik sama sekali mendengar kabar penggusuran orang-orang miskin tanpa ganti rugi, kekerasan yang terjadi terhadap tahanan, atau hasil survey yang mengatakan Indonesia juara korupsi se dunia. Kembali ke soal konflik HKBP, kini aku semakin paham mengapa dalam konflik HKBP banyak warga jemaat HKBP tidak terlalu mempermasalahkan kekerasan yang terjadi di HKBP selama tidak mengusik kenyamanan dan ketenangan beribadah di tempatnya.

Kini HKBP sudah berdamai, namun sikap yang terlalu mementingkan seremoni atau ritus itu ketimbang etika masih saja hidup. Ini jelas-jelas “kabar baik” bagi para maling atau “tikus” di HKBP. Para maling bebas mengambil uang gereja dengan berbagai cara halus atau kasar, dan kalau ketahuan tidak usah juga terlalu kuatir sebab banyak orang tidak akan mau mengusut pencurian itu, apalagi membawa kasus itu ke polisi, demi ketenangan beribadah dan “keutuhan” jemaat.)

AKAR KONFLIK KE EMPAT: KELEMAHAN ORGANISASI
Kelemahan visi itu jelas-jelas berdampak kepada organisasi HKBP. Gereja HKBP yang berawal lebih seratus tahun lalu di Tanah Batak itu oleh penginjilan Jerman, sekarang sudah memiliki 300 resort dan 3000 jemaat dan 2 juta jiwa yang tersebar di seantero Indonesia dan beberapa bagian dunia lainnya, dan dikendalikan dari sebuah kampung kecil yang bernama Pearaja, kurang-lebih 300 kilometer dari Medan. HKBP sungguh-sungguh organisasi besar. Bahasa Batak: HKBP na bolon i. Namun bagaimana gereja besar ini dikelola?

STRUKTUR TIDAK MATCH DENGAN KULTUR
Sudah lama aku sadar struktur organisasi HKBP yang sangat sentralistis tidak match atau mecing dengan kultur Batak yang sangat de-sentralistis. Gagasan sentralisasi dalam bidang apa pun (termasuk keagamaan) bertentangan dan mengalami resistensi dari orang Batak. Tiap-tiap orang Batak (dulu hanya laki-laki, sekarang juga perempuan) merasa dirinya sebagai raja, setidak-tidaknya penguasa atas dirinya dan apa yang ada di bawahnya. Secara umum orang Batak, diakui atau tidak, sangat ingin berkuasa (marhuaso) dan mulia (marmulia). Namun di HKBP keinginan ini dihambat oleh aturan organisasi yang menyatakan bahwa kekuasaan ada di Pusat (baca: eforus), dan sebagian lagi diberikan kepada pendeta dan parhalado (seumur hidup). Tidak heran jika sepanjang sejarah terjadi ketegangan antara Pusat dan jemaat-jemaat lokal. Pusat mengklaim merekalah yang berkuasa (berdasarkan aturan), namun jemaat-jemaat lokal mengatakan merekalah yang berkuasa (sebab mereka sumber uang pusat). Pendeta merasa berkuasa (berdasarkan klaim panggilan dari Tuhan) dan jemaat merasa merekalah yang harus mengendalikan pendeta, sebab mereka yang menggajinya. Lantas bagaimana HKBP menyelesaikan perebutan klaim-klaim kekuasaan ini?

PARHALADO SEUMUR HIDUP
Aku ingin menyebut satu akar masalah di HKBP yang tidak disadari banyak orang, yaitu: sistem parhalado seumur hidup. Di HKBP parhalado pada mulanya dipilih dari anggota jemaat di weik atau lungguk secara demokratis. Namun sekali seseorang terpilih maka dia akan terus menjadi sintua atau anggota parhalado mencapai usia pensiun 65 tahun yaitu saat pensiun, atau sampai mati. Menurutku inilah salah satu “biang kerok” konflik HKBP. Mengapa?

Pertama: HKBP kehilangan mekanisme melakukan penyegaran kepengurusan jemaat-jemaat lokal. Tentu saja sintua-sintua HKBP pada dasarnya orang baik-baik, namun berhubung terlalu lama menjadi parhalado, logis saja jika dia kehilangan kreativitas dan daya kritisnya, dan sedikit-banyak mendukung status quo. Kedua: HKBP tidak bisa melakukan kontrol dan melakukan mekanisme reward and punishment kepada parhalado, sebab bagaimanapun kinerja atau prestasinya seseorang tetap saja menjadi parhalado sampai pensiun usia 65 tahun atau meninggal dunia. Ketiga: sistem parhalado seumur hidup menghambat partisipasi warga jemaat. Peran yang diberikan kepada warga hanyalah peran pembantu dan bukan pengambil keputusan. Jemaat-jemaat HKBP pun lantas menjadi sangat elitis. Keempat, inilah yang terpenting: sistem parhalado seumur hidup ini bertentangan dengan kultur Batak yang dianut 99% warga HKBP yang justru sangat menjunjung mekanisme pergiliran peran dan jabatan: hari ini hula-hula besok jadi boru. Sekarang duduk di belakang melayani, nanti duduk di depan dilayani. Tapi bagaimana di HKBP? Persis seperti kisah lawak tentang keluhan seorang penumpang bus PPD: mulai dari kenaikan sampai keturunan aku tidak dapat kedudukan.

Menurutku banyaknya jumlah warga HKBP yang aktiv di persekutuan atau gereja-gereja “sayap kanan” haruslah juga dimengerti dalam kerangka analisis kultural ini. Berhubung mereka tidak mendapat peran (ulaon) dan bagian (jambar) di HKBP maka mereka pergi mencari tempat-tempat dimana mereka bisa memperolehnya secara mudah. Kebetulan orang Batak sangat suka pula berbicara. Jadi tidak heran jika si Batak ini sangat senang di kelompok kharismatik dimana mereka punya banyak kesempatan bicara banyak-banyak dan berlama-lama. Nama resminya bersaksi. Bahasa Bataknya: mandok hata.

KETIDAKBERESAN PENGELOLAAN KEUANGAN
Satu lagi masalah organisasi HKBP yang harus disebutkan secara gamblang adalah masalah keuangan. HKBP ini gereja rakyat. Uang HKBP datang dari bawah (baca: jemaat) dan bukan dari atas (baca: Pusat). Jemaat-jemaat HKBP sejak dulu bebas mengelola keuangannya, yang penting mengirim setoran ke Pusat (banyak jemaat nakal yang menyunat setoran itu sesukanya tanpa sanksi). Namun aturan HKBP menyangkut keuangan tidak jelas, tidak transparan dan juga tidak akuntabel.
Di HKBP sampai tahun 1990-an (sampai sekarang?) uang memang dilaporkan setiap minggu, namun hanya penerimaan saja. Pengeluaran hanya dilaporkan sekali setahun (itu pun seringkali lisan). Bendahara gereja berfungsi sebagai penerima, pemegang buku, pengambil kebijakan, juru bayar, dan kadang-kadang juga pembeli barang. Transaksi keuangan (penyerahan persembahan syukur, pengeluaran program) seringkali tidak dilengkapi kuitansi apalagi rangkap tiga atau empat, apalagi dengan bukti-bukti pihak ketiga. Yang kami namakan Parhalado Parartaon (Majelis Perbendaharaan) bertugas sebagai perencana, pengawas sekaligus pelaksana. Runyam. Tim audit (istilahnya di HKBP tim verifikasi) bertugas sekali setahun menjelang Natal, bisa bayangkan repotnya dan hasilnya. Para pendeta, parhalado, pengurus pemuda, termasuk guru Sekolah Minggu tidak disiplin menggunakan uang. Apa akibatnya? Kami di HKBP sering bertengkar dan berkelahi soal uang sampai habis enerji.

Warga jemaat umumnya tidak mau (mampu) mencampuri urusan keuangan gereja HKBP. Menurut mereka uang itu sudah dipersembahkannya ikhlas kepada Tuhan, karena itu dia tidak mau tahu apakah uang itu digunakan secara benar atau diselewengkannya. Dalam hatinya mungkin itu urusan pengelola kepada Tuhan. Parhalado yang diserahi tanggungjawab mengelola keuangan gereja juga berpendapat sama. Klop. Namun aku selalu mengatakan uang itu diserahkan jemaat kepada Tuhan. Harus disadari bahwa parhalado bukan Tuhan. Itu artinya parhalado harus membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan uang Tuhan itu.

Pada jaman dulu pengelolaan keuangan secara sederhana, lisan dan asal percaya ini bisa dimaklumi dan tidak menimbulkan masalah. Di desa-desa uang gereja tidak banyak dan kebutuhan juga tidak besar. (Catatan: gaji pendeta dibayar dengan padi setiap panen.) Namun sejalan dengan perkembangan jaman, uang HKBP sudah sangat banyak, namun aturannya tetap tidak jelas. Pengelolaan keuangan di banyak HKBP masih mirip pengelolaan keuangan keluarga di desa tahun enam puluhan. Jaman sudah berubah banyak namun HKBP belum mau berubah. Kenapa? Sudah tahulah kau. Tapi, kalau sudah tahu, bagaimana?

Namun supaya kaujangan berpikir terlalu jelek tentang HKBP aku juga harus mengatakan kenapa di gereja lain orang-orang tidak bertengkar soal uang. Pertama: gereja-gereja kharismatik dalam hal keuangan mirip perusahaan pribadi. Gereja mirip bioskop atau restoran milik pribadi. Gembala atau pendeta adalah pengelola restoran dan jemaat adalah pengunjung. Uang gereja tentu sepenuhnya wewenang gembala atau pemilik. Sebab itu di gereja kharismatik yang sangat rajin disambangi orang-orang HKBP itu tidak ada laporan keuangan sama sekali. Sebab untuk apa restoran menyampaikan laporan keuangan kepada tamu-tamunya? Bahkan uang persembahan itu juga sering tidak dihitung di gereja, namun bulat-bulat dibawa oleh gembala guna dihitung di rumahnya. Tim audit? Tidak ada jalannya. Korupsi? Ya jelas saja tidak dianggap ada, karena ini adalah uang pribadi. Suka-suka. Bertengkar soal uang? Tentu saja tidak. Sebab apa hakmu mempersoalkan yang bukan uangmu? Sekarang aku ingin mendengar komentarmu jujur: dimana kemungkinan uang Tuhan yang paling besar diselewengkan, di HKBP yang memiliki sistem yang jelek atau di tempat dimana tidak ada sistem sama sekali?

AKAR KONFLIK KE LIMA: KUALITAS PENDETA RENDAH
Aku harus jujur. Aku tidak mau menjelek-jelekkan pendeta atau diriku sendiri, tapi menurutku memang banyak pendeta HKBP tidak melakukan tugas kependetaannya dengan baik dan benar. Memakai bahasa sederhana: mutu atau kualitas kami pendeta (tentu termasuk aku) juga rendah. Sebagai otokritik aku melihat ada tiga kelemahan dalam diri pendeta HKBP yang ikut menyumbang kepada konflik dan krisis HKBP ini.

Pertama: kotbah banyak pendeta HKBP secara substansial kurang menjawab pergumulan-pergumulan nyata di jemaat. (Pdt Einar Sitompul, Pdt Bonar Tobing, Pdt Andar Pasaribu yang muda dan ganteng itu, Pdt Gomar Gultom, dan Pdt Lidya Simanjuntak dll adalah pengecualian.) Para pendeta seringkali asyik-masyuk dengan dirinya sendiri, kisah-kisah masa lalu yang tak berhubungan dengan masa kini, atau penjelasan-penjelasan istilah teologis asing. Namun kelemahan yang lebih besar menurutku adalah hal metode atau gaya penyampaian yang terkesan sering menggurui, mendikte, dan cenderung menyalahkan warga jemaat. Pada pihak lain warga jemaat HKBP sudah sering mendengar pendeta atau pengkotbah lain di luar HKBP, dan mereka serta-merta membanding-bandingkannya dengan kami pendetanya di HKBP. Celakanya banyak jemaat juga tidak bisa membedakan mana bungkus dan mana isi, sehingga berhubung penyampaiannya kurang baik (apalagi dengan bahasa Indonesia yang kurang fasih), warga jemaat yang sudah “hidup baru” ini langsung menolaknya mentah-mentah di bawah sadar. Lebih celaka lagi, sebagian pendeta HKBP kurang percaya diri, mereka pun meniru-niru gaya pengkotbah kharismatik di luar sana. Makin kacaulah semua.

Kedua: kami para pendeta HKBP juga memiliki kelemahan dalam hal konseling. Aku tidak tahu apa penyebabnya, padahal di STT konseling adalah salah satu mata kuliah penting. Warga jemaat yang memiliki pergumulan pribadi yang sangat berat sebab itu tidak tahu kemana harus mencari dukungan, akhirnya pergi ke luar. Aku sering mendengar pembelaan diri para pendeta yang mengatakan bahwa kami siap namun jemaat yang tidak mau datang. Aku diam saja. Dalam hatiku: orang yang bermasalah selalu mencari orang yang dipercayanya. Jika mereka tidak datang kepada pendeta HKBP jawabnya sederhana saja: mereka tidak percaya. Warga jemaat yang punya masalah pribadi dan merasa dibantu di luar, kembali lagi ke HKBP sebagai “duta-duta” yang sangat militan memaksa HKBP berubah. Makin ramailah kami berkelahi.

Ketiga dan mungkin bukan yang terakhir: kami pendeta HKBP juga lemah sekali dalam hal mengorganisir dan memimpin perubahan. Perubahan di HKBP seringkali berjalan mengikuti arus dan gelombang bukan berdasarkan perencanaan dan pengorganisasian yang matang. Aku setuju pendeta adalah gembala dan pelayan. Tapi pendeta bukan gembala kambing atau pelayan restoran. Pendeta adalah pemimpin jemaat. Persekutuan, kesaksian dan pelayanan HKBP harus diorganisir rapih. Jika tidak, maka jemaat akan sibuk bertengkar dan berkelahi tentang soal-soal sepele dan melupakan panggilan dan tujuan gereja yang sesungguhnya.

AKAR KONFLIK KE ENAM: MASALAH KEPEMIMPINAN
Pada akhirnya harus disebut ada faktor kepemimpinan. Menurutku lagi-lagi tersangkut dengan budaya. Dalam kultur Batak tidak dikenal kepemimpinan tunggal tetapi komunal. Semua orang Batak merasa dirinya raja, mampu dan berkuasa, dan ingin dihormati serta diakui perannya. Namun eforus Nababan tampil dengan kekuatan karakter pribadinya. Dia hampir-hampir menjadi “pemain tunggal” di HKBP, sebab itu banyak orang tersinggung dan melawan. Aku mendengar di kelompok sana, kepemimpinan Sekjen SM Siahaan juga digoyang. Aku suka bercanda, mungkin karena di Tanah Batak orang jarang melihat ada pohon kelapa. Pohon yang menjulang tinggi sendirian dianggap congkak karena itu harus digergaji. Dulu Eforus GHM Siahaan yang sangat low profile dihormati oleh orang-orang Batak ini.

Terus terang hal ini membuat aku takut dan ragu untuk maju. Aku tak ingin menonjol sendiri. Sejak itu aku sadar bahwa pada waktu-waktu tertentu aku harus mundur, sebelum aku dipotong atau dijatuhkan, bukan karena bikin kesalahan tetapi karena dianggap ingin menonjol sendirian. Tapi masalah tidak selesai juga. Akibat harus kerap mundur banyak program harus ditunda atau tidak selesai hanya dengan alasan agar jangan ada orang yang merasa disingkirkan atau kehilangan peran. Lagi-lagi ini menimbulkan pertanyaan dalam hatiku: mungkinkah gereja HKBP ini bergerak maju dengan kepemimpinan kolektif? Atau jangan-jangan HKBP hanya berputar-putar seperti gasing di tempat? Kepalaku sudah pusing. Aku tak mampu lagi mencernanya dan mencarikan solusi. Mungkin kalian yang muda-muda lebih mampu menangani masalah ini.

SIAPA YANG DIUNTUNGKAN DALAM KONFLIK HKBP?
Ada satu pertanyaan menggoda dalam benakku: siapa yang paling diuntungkan dalam konflik HKBP ini baik di tingkat Pusat maupun di jemaat-jemaat lokal? Dengan bahasa lebih vulgar, siapa yang paling menarik keuntungan jika HKBP hancur? Aku berani menjawab cepat: bukan DR SAE Nababan, bukan PWT Simanjuntak, bukan SM Siahaan, bukan OPT Simorangkir, bukan Jend M Panggabean, bukan Laksamana Farel Parapat, atau tokoh-tokoh HKBP lain. Mereka semua tidak mendapat apa-apa bila HKBP hancur lebur. Lantas siapa? Aku tak tahu.

Aku tidak suka teori konspirasi. Aku bertanya lagi jangan-jangan memang kita harus kembali memakai pendekatan kultur Batak melihat masalah ini. Sebab ada pameo Batak: ndang di au ndang di ho tagonan disintak begu. Tidak untukku, tidak untukmu, biar diambil hantu. Jangan-jangan politik bumi hangus itu yang sedang terjadi. Jika itu yang terjadi, mungkin kita harus berdoa agar Tuhan menyuruh Nommensen bangkit lagi sebab kekristenan itu rupanya belum mengakar di jiwa Batak. Iman Kristen yang dibawa oleh Nommensen dan para misionaris itu mungkin baru sampai di kulit, wajah, rambut dan baju, dan sedikit bagian kepala. Entahlah. Aku lelah. Ya, aku lelah sekali.
Pesan moral: generasi muda HKBP jangan hanya mengeluh atau menggerutu apalagi dari jauh, namun lakukanlah sesuatu untuk HKBP. Lakukanlah sungguh-sungguh dan tulus bersama Tuhanmu!

KEMBALI KE PROKLAMASI
Sesuai surat penugasan yang kuterima dari Eforus SAE Nababan, aku pun melanjutkan studi S2. Ya, aku kembali ke kampus lama yang pernah membesarkan aku: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta di jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat, tak jauh dari Megaria. Tapi aku kaget, kampus kecil ini rupanya sudah berubah banyak. Lantainya, yang dahulu tegel kusam tapi kukuh, kini berubah jadi keramik putih, licin mengkilap tapi ringkih, dilengkapi sebuah pengumuman “lucu” di dinding: mahasiswa dilarang duduk di lantai. Ruang-ruang kuliahnya dilengkapi mesin penyejuk udara atau AC. Perpustakaannya kini tak lagi gelap, tapi terang-benderang memikat hati. Dosen-dosennya banyak yang muda-muda sekali, masih hangat bagai brownies kukus yang baru keluar dari oven. Namun yang paling mengesankan aku, mahasiswa-mahasiswi STT jaman kini tampak modis, trendi, dan necis. Beda sekali dengan jaman kami dahulu. Itu membuat aku merasa dipisahkan tidak saja oleh jarak umur tetapi juga gaya hidup dan selera musik. Mereka juga kayaknya lebih rajin belajar kelompok, baca buku dan latihan ketrampilan mengajar Sekolah Minggu: bikin boneka-boneka dan pohon natal putih (kenapa harus putih ya?). Aku selalu mendesah dan menghela nafas. Aku mengakui secara fisik kampus ini jauh lebih baik dan bersih (dulu juga sebenarnya bersih) namun entah kenapa aku kini merasa asing di rumahku sendiri.

KAPEL PERLAMBANG SURGA?
Satu hal yang menurutku paling berubah di kampus teologi ini adalah kapel atau ruang ibadahnya. Dulu waktu aku kuliah S1 antara tahun 1983-1988, kapel kami sangat bersahaja. Terletak di lantai dasar di bawah Asrama Putra, kapel ini hanya sebuah ruang besar tanpa asesori dengan sebelah dindingnya terbuka menghadap taman hijau di belakang. Kursi-kursinya sebagian dari bahan kaleng dan sebagian dari besi berlubang-lubang yang kalau diduduki tak begitu nyaman. Dulu saat pertama kali masuk STT aku merasa kapel ini sama sekali tidak membangkitkan rasa hebat, justru karena terlalu sederhana itu. Bayangkan: Meja altarnya, mimbar kotbah dan salibnya dari bambu yang divernis namun sudah pudar. Mimbar kotbah itu bahkan sudah reot bergoyang. Aku masih ingat sewaktu Richard Haskin, si Amerika guru besar Perjanjian Baru yang disebut “liberal” itu berkotbah, sebelum memulai kotbahnya dia malah sengaja menggoyang-goyangkan mimbar itu dengan badannya yang besar. Untung saja tak rubuh. Satu-satunya yang menarik perhatian di kapel kami hanyalah sebuah pelita gerabah, bersumbu kain dan berbahan bakar minyak goreng. Saban kebaktian hendak dimulai pelita itu akan dinyalakan oleh pelayan liturgi lantas diletakkan di atas meja altar. Nanti sesudah kebaktian usai pelita itu akan ditiup, lantas nyala api yang sangat kecil pun akan padam sekali tiup, mengeluarkan sedikit kepulan asap berbau.

Tapi kini, kapel ini berubah sama sekali. Altarnya dihiasi bentangan kain warna-warni: merah, hijau dan putih. Entah apa artinya. Dindingnya dipasang ikon-ikon atau “gambar-gambar kudus” yang banyak terdapat di gereja ortodoks atau katolik. Entah apa pula maksudnya di sini. Mejanya berukir dan di atasnya ada salib gemuk bermosaik. Sementara itu tiang-tiang kapel ditempeli lampu-lampu lilin elektronik, seperti yang biasa di rumah-rumah orang baru kaya. Lagu-lagu ibadahnya bukan lagi dari Kidung Jemaat tapi kebanyakan diambil dari koleksi biara ekumenis Taize di Prancis Selatan. (Aku suka nada dan ritme berulangnya, namun isinya menurutku harus disesuaikan dengan keadaan negeri yang sengsara karena ketidakadilan ini.) Kesanku kapel STT Jakarta ini ingin genit, tapi tak lucu. Persis seperti gadis kampung kurang percaya diri yang karena tak tahan godaan akhirnya ikut-ikutan berdandan gadis kota. Kasihan.

KANTIN HANGAT DAN MURAH
Hari-hariku di kampus sebenarnya lebih banyak di kantin. Sebagai mahasiswa S2, yang dituntut belajar mandiri, kami tidak setiap hari punya jadwal kuliah tatap muka. Seyogianya mahasiswa S2 belajar sendiri di perpustakaan. Begitulah sebaiknya. Tapi aku bukan orang yang terbiasa belajar sendiri apalagi di perpustakaan yang dingin hening. Aku lebih suka mengobrol mendapatkan kehangatan. Syukurlah kantin STT menjawab kebutuhan atau lebih tepat kesukaanku yang sebenarnya kurang baik ini. Apalagi kantin STT sejak dulu murah meriah. Mahasiswa bisa sepuasnya makan dan minum tanpa takut membayar terlalu mahal. Kebetulan seorang dosen, seniorku di HKBP, juga punya hobi sama denganku: mengobrol. Bahasa lebih keren: berdiskusi. Siapa lagi kalau bukan DR Einar Sitompul? Setiap hari sehabis mengajar dia akan turun dan kami pun mengobrol gembira sambil ketawa-ketawa. Kadang-kadang Bang Einar membawa buku baru untuk ditunjukkan atau bawa fotokopian (tentang masalah HKBP) untuk dibagi-bagikan. Mahasiswa-mahasiswa S1 tingkat akhir, terutama yang Batak dan juga mewarisi bakat duduk lama-lama di lapo satu per satu akan bergabung ke meja kami. Namun, kadang-kadang mahasiswa tingkat rendahan ada juga yang berani ikut nimbrung, dan kami senang-senang saja, sebab sejak dulu di kampus ini tidak ada pembagian meja kantin berdasarkan senior-junior. Ini milik bersama.
Apa saja yang kami bicarakan di kantin? Banyak sekali. Topik utama tentu saja politik dalam negeri dengan tokoh utamanya yang bernama Soeharto. Topik lain: gereja-gereja, kehidupan mahasiswa, budaya, cinta, agama-agama. Yang terakhir adalah keahlian Bang Einar. Namun ada yang menarik, bagaimana pun meluasnya percakapan ujung-ujungnya kami pasti kembali ke soal konflik HKBP. Ya, ini topik yang tidak pernah mati. Namun siapa yang membayar kopi atau es jeruk? Tentu saja kami para mahasiswa studi lanjutan (semuanya sudah pendeta) secara bergiliran. Ya wajarlah, dulu aku juga sering sekali dibayari.

MIMBAR BEBAS
Akhir Maret 1998. Suhu politik Jakarta mulai panas. Beberapa kampus swasta sudah kegiatan mengadakan mimbar bebas berdemonstrasi mengkritik pemerintahan Orde Baru. Namun kampus STT masih tenang-tenang seolah-olah negeri sudah adil-makmur dan normal-normal saja. Aku tidak tahu ide siapa untuk mengadakan mimbar bebas di kampus. Tapi yang jelas aku sangat setuju, apalagi kawanku yang bernama Saut Sirait. Ajakan mengadakan mimbar bebas itu pun segera menjalar seperti segelas kopi penuh yang tumpah di meja. Sehabis jam kuliah, puluhan mahasiswa pun kumpul di halaman depan kampus STT di sekitar pohon flamboyan. Halaman itu dari luar tidak kelihatan karena tertutup bangunan di depan. Perasaanku aman. Wireless sudah disiapkan. Tapi tiba-tiba saja tanpa kompromi Saut mengajak mimbar bebas pindah ke pinggir jalan. Aku masih ingat kata-katanya, “mana ada gunanya mimbar bebas di dalam kampus, ayo ke depan!” katanya dengan mimik khasnya. Aku ketawa. Dasar, kataku dalam hati. Dia memang tak mengatakannya, tapi kuduga pastilah dalam hatinya mimbar bebas di dalam areal kampus seperti masturbasi alias tak ada gunanya selain senang-senang sendiri.

Para mahasiswa pun segera pindah ke halaman depan, persis di pinggir jalan Proklamasi. Sebagian berdiri, sebagian duduk di halaman, sebagian duduk di pagar kampus yang rendah. Aku mulai ekstra hati-hati dan pasang mata waspada melihat kesana-kemari. Ini benar-benar cari perkara kataku dalam hati. Benar saja. Tak sampai sepuluh menit, dua truk polisi anti huru-hara sudah datang dan berhenti di depan kampus. Kok cepat sekali? Pasti rencana Mimbar Bebas ini sudah tercium intel. Ya sudahlah, mau bilang apa?
Saut Sirait pun naik ke atas meja. Dia mengajak nyanyi plesetan lagu Pramuka untuk meledek tentara yang pada jaman Orde Baru sangat sibuk melakukan banyak kegiatan yang tidak berhubungan sama sekali dengan pertahanan negara. Aku cemas sekali. Lantas Saut pun berorasi: “Kawan-kawan, Rakyat sudah sangat menderita, hanya ada satu kata untuk mengatasinya: turunkan Soeharto!” pekiknya lantang sekali sambil tangannya menunjuk ke arah jalan Cendana yang hanya satu kilometer dari kampus kami. Aku kaget sekali. Tak ada diplomasi sama sekali. Tapi bukan Saut namanya kalau tak berani. Ya sejak dulu aku kagum melihat keberanian kawanku satu ini. Mahasiswa teologi pun mulai terbakar emosi. Mereka pun menyambut dengan teriakan yang sama: “Turunkan Soeharto! Turunkan Soeharto!” Aku menarik nafas.
Pada jaman itu Soeharto masih amat sangat berkuasa sekali. Tak pernah terpikirkan satukali pun dalam benakku ada orang yang berani berteriak lantang “turunkan Soeharto” di depan aparat keamanan Orde Baru. Tapi kami telah melakukannya. Memakai bahasa Medan, hajablah kami.

Tak lama kemudian Saut turun sambil senyum-senyum. Aku geleng-geleng kepala. Orasi vakum sebentar. Aku degdegan. Mahasiswa S2 yang hadir dalam mimbar bebas itu hanya aku dan Saut. Dalam hatiku sesudah Sait tentulah giliranku. Oalah. Matilah aku ini. Hatiku berkecamuk. Aku tak takut orasi, aku sudah biasa kotbah di mimbar di depan seribu jemaat, tapi, tapi masalahnya, masalahnya tiga minggu lagi aku menikah. Undangan pernikahan sudah dibagi-bagi. Bagaimana kalau? Aku tak memikir diriku sendiri. Tapi bagaimana calon istriku Martha seandainya aku ditahan? Aduh.

Belum sempat aku mencari-cari dalih, adik-adikku sudah datang. “Bang, ayo naik bang orasi, biar anak-anak berani”. Aku tak sempat berpikir panjang dan hanya bisa berdoa pendek di hati. Ya. Aku pun mengumpulkan semua remah keberanianku lantas naik ke meja. Di depan mataku dua peleton polisi anti huru-hara berdiri tegap dengan pentung dan perisai plastiknya. Jalan Proklamasi sudah mulai macet. Kenderaan-kenderaan yang lewat sengaja melambat hendak tahu apa yang terjadi. Apa yang akan terjadi, terjadilah, kataku dalam hati. Aku siap. Tapi, aku berpikir lagi, aku pendeta jemaat. Pantaskah seorang pendeta berorasi di mimbar bebas di jalan, sambil memaki-maki? Tapi adik-adik ini harus dikompori, maksudnya disemangati agar berani. Aku lantas ingat pelajaran Boehlke tentang teknik berkotbah, pandang dulu mata audiens beberapa detik, sapu pandangan ke segala arah, kau pasti menang. Namun, mata para polisi itu terlalu tajam, aku hampir tidak berani menatapnya.

Akhirnya aku pun berorasi pura-pura gagah, “kawan-kawan, musuh kita bukan prajurit atau tentara. Mereka juga rakyat yang menderita. Hidup mereka juga susah, gaji kecil, atap rumah bocor, dan anak-anak kesulitan uang sekolah. Hanya satu yang harus kita lakukan: turunkan Soeharto!”. Para mahasiswa di bawahku mengepalkan tinjunyadan berteriak keras: “turunkan Soeharto!” Aku tak tahu darimana keberanianku mengatakan ini. Aku lebih tak tahu lagi apa akibatnya nanti. Aku masih melanjutkan sedikit lagi orasiku tentang perlunya pemberantasan korupsi, kemudian aku pun mengakhirinya dengan seruan yang satu itu “turunkan Soeharto!”. Selesai. Tugasku “memprovokasi” sudah beres untuk digantikan oleh yang lain lagi.

Aku pun tergopoh-gopoh masuk ke areal kampus lantas terduduk di bawah pohon flamboyan. Tungkai kakiku lunglai. Dagingku lemas. Kurasa mukaku juga pucat. Aku lantas memesan teh botol dan langsung meneguknya habis, dan kemudian memesan satu botol lagi. Sedikit lega, tapi tak menghilangkan rasa waswas. Mahasiswa sudah “terprovokasi”. Orasi terus diselingi lagu perjuangan dan plesetan meledek penguasa Orde Baru yang korup dan bengis. Para polisi itu tidak bertindak. Mungkin karena mimbar bebas walaupun di pinggir jalan protokol tetap masih di dalam pagar kampus.
Jam tiga siang, semua sudah capek dan mungkin juga habis kamus, mimbar bebas itu pun bubar. Mahasiswa masuk lagi ke kampus. Polisi pun juga menarik diri. Aku pulang ke rumahku. Sebentar-sebentar aku menoleh ke belakang. Aku takut sekali ada yang membuntuti yang berakhir kepada pernikahanku.

HARI BAHAGIA
18 April tiba. Tahun 1998. Aku dan Martha mengikat perjanjian dan menerima pemberkatan nikah di gereja HKBP Pulomas. Aku bahagia sekali. Ini adalah babak baru dalam sejarah hidupku. Kini aku tidak hidup sendiri lagi. Sejenak aku sengaja “melupakan” krisis HKBP, tugas-tugas kampus dan obrolan politik dalam negeri di kantin. Aku ingin menghayati dan menikmati pernikahan ini.
Aku ingat ucapan Viktor Tanja, “masalah hidup tidak selesai dalam satu malam, sebab itu tidurlah nyenyak malam hari, dan besok bila pagi datang lanjutkan lagi memikirkan masalah.” Tapi pagi sudah beberapa kali datang dan aku belum mau juga memikirkan lagi krisis HKBP dan keadaan dalam negeri yang makin genting. Aku punya tugas yang lebih penting, yaitu menata awal hidupku sendiri dan rumah tangga kami yang akan berlangsung seumur hidup sampai mati. Kami tinggal di rumah mungil di Pondok Rajeg Cibinong, di perumahan Widyatama, tak jauh dari makam pahlawan. Rumah BTN tipe 30. Itu awal hari-hari indah kami. Kami memulai segalanya dari nol. Ya nol koma sekian. Dan kami bahagia.

MAHASISWA BERGERAK
Namun beberapa hari sebelum pernikahanku aku masih menyempatkan diri datang ke kampus STT. Bagaimanapun pikiranku tetap juga ke kampus, terutama kepada perjuangan adik-adikku mahasiswa S1, dan juga kepada obrolan dan kopi kantin. Aku kaget sekali. Rupanya adik-adikku sudah maju sekali. Empah langkah di depanku. Mereka bercerita sudah membentuk Forum Kota bersama sejumlah mahasiswa kampus swasta lain termasuk IAIN Ciputat. Aku memuji-muji mereka. Ya, aku tulus memuji mereka. Perasaanku bangga sekali, apalagi setiap kali menyaksikan mereka berpeluh dan kadang memar-memar pulang demonstrasi. Kantin STT setiap hari makin ramai sekali. Kampus ini dijadikan salah satu pos Forum Kota. Aku dalam hati gembira sekali. Adik-adikku tentu saja lebih-lebih. Aku mendengar cerita-cerita demo mereka dengan antusias, dan mereka sangat bangga menceritakannya. Kalian hebat, kataku. Ya memang hebat.
Saat itu belum ada tanda-tanda sedikit pun bahwa rejim Orde Baru sedang diambang kehancurannya. Orde yang berpusat kepada kepentingan Soeharto dan keluarganya ini tampak masih kuat sekali. Mahasiswa hampir setiap hari berdemonstrasi. Setiap kali berdemo selalu saja bentrok dengan polisi, dan sering melarikan diri ke kampus ini. Maklumlah kampus proklamasi letaknya sangat strategis namun letaknya agak tersembunyi. Cocok sekali.

Pada saat itu kampus-kampus besar sama sekali belum bergerak. Yang maju barulah mahasiswa kampus kecil dan swasta, dan mereka selalu digebuki polisi. Namun aku sangat bangga dengan keadaan ini. Gerakan perlawanan yang akhirnya membuahkan reformasi negeri ini dimulai dari kampus-kampus tak terkenal, dimana mahasiswanya sebagian besar adalah anak Rakyat kebanyakan yang penghasilannya pas-pasan namun harus menanggung sendiri biaya pendidikan yang mahal (kebalikan dari kampus negeri tempat anak-anak pejabat dan pengusaha kaya bersekolah dengan subsidi negara). Ya, aku bahagia gerakan reformasi mahasiswa dimulai dari kampus rakyat! Aku lebih bahagia lagi karena adik-adikku mahasiswa STT Jakarta terlibat sejak awal dalam gerakan ini. Tiba-tiba aku merasa Roh sudah kembali ke kampus Proklamasi 27. Roh itu sedang menghembus kencang mengembalikan kemerdekaan dan kemanusiaan kami.

KERUSUHAN MEI
Gerakan mahasiswa hendak menurunkan rejim Orde Baru benar-benar marak. Kampus-kampus besar kini sudah bergerak. Aku mendapat kesan bahwa adik-adikku mahasiswa kampus-kampus swasta tidak ternama ada merasa sedikit kecil hati. Mereka yang memulainya susah-payah namun kampus-kampus besar yang mendapatkan nama dan disebut-sebut sebagai pahlawan di media massa. Aku diam saja. Pikirku kehidupan memang selalu menyisakan ketidakadilan. Yang penting hati kita tetap tulus melakukan yang benar dan baik.

Aku dan Martha sedang di Palembang saat tragedi di kampus Trisakti terjadi. Empat mahasiswa ditembak di kampusnya. Menyedihkan sekali. Berita-berita simpang-siur. Belum selesai memikirkan tentang tragedi penembakan di kampus Trisakti aku mendengar Jakarta dilanda kerusuhan rasial. Penjarahan besar-besaran. Gedung-gedung tiba terbakar sendiri. Aneh sekali.

Aku dan Martha jalan kaki berdua. Jalan-jalan sepi sekali. Mobil-mobil raib. Sebelumnya di Palembang setahuku tidak ada gelombang demonstrasi besar-besaran seperti di Jakarta. Tak ada angin tak ada hujan tapi tiba-tiba saja kota ini juga dilanda penjarahan. Toko-toko milik orang Tionghoa dijarah massa. Aku benar-benar bingung. Sedih. Frustrasi. Ngeri. Apa yang sedang terjadi di negeri ini? Pasti ada yang menggerakkan semua ini. Namun siapa dan untuk apa? Naluriku mengatakan bahwa drama horror pergantian kekuasaan sudah dimulai. Tapi aku hanya seorang pendeta yang dibesarkan di akar rumput. Aku tidak tahu apa-apa tentang kejadian di langit politik. Tapi apa semua ini?

Syukurlah aku sudah lama mengenal prinsip “think globally act locally”, berpikir global bertindak lokal. Dalam kehidupanku sebagai pendeta jemaat aku boleh dan bahkan harus menganalisis situasi dan kondisi secara nasional, bahkan global, tetapi tetap harus bertindak lokal, sesuai dengan tugas dan peranku saat itu. Dengan kata lain, aku tidak mau terlalu dipusingkan oleh hal-hal yang di luar kendali pengetahuan, pengaruh, wewenang dan porsi tanggungjawabku. Politik pergantian kekuasaan itu dengan segala intriknya itu di luar kemampuan pengaruhku. Cukuplah aku memahaminya saja sebagai kerangka

berpikir, namun yang terpenting apa yang harus kulakukan kini dan disini?
Aku dan Martha kembali ke Jakarta tanggal 15 Mei menggunakan mobil travel. Bandar Jaya Lampung juga hangus. Kami sampai di Jakarta tengah malam. Beberapa penumpang diantar lebih dulu. Aku melihat Pasar Minggu gosong. Jatinegara hangus. Glodok hancur. Perasaanku remuk. Dalam hatiku orang-orang yang merekayasa kerusuhan ini jahat sekali. Kasihan sekali negeri kami ini. Apakah Indonesia masih bisa bangkit lagi? Entahlah

REFORMASI
Pagi-pagi aku ke kampus STT. Rombongan mahasiswa STT bergerak lagi. Seperti biasa mereka ada di kelompok Forum Kota, gabungan mahasiswa dari beberapa kampus swasta. Kudengar Forum Kota sudah pecah. IAIN Ciputat masih di dalam, tetapi STF Drijarkara pindah ke kelompok lain. Aku menghela nafas dan tidak memberi komentar apa-apa. Adik-adikku mahasiswa S1 tentu lebih tahu apa yang harus mereka kerjakan di jaman mereka pikirku.

Mereka mengajak aku ikut ke Gedung MPR yang mereka namakan Studio-1. Aku ragu. Pikirku, aku akan benar-benar tampak tua dalam rombongan mereka. Tapi aku ingin sekali ikut. Akhirnya aku memilih jalan sendiri. Aku lantas naik bus dan turun di Sudirman. Jalanan tampak sepi sekali. Tidak ada mobil namun masih banyak pejalan kaki. Aku melihat ada banyak sekali marinir dengan tank-tank tua amphibie parkir. Aku bergidik melewatinya. Tapi kayaknya pasukan baret ungu ini tak berbahaya. Kesanku mereka tampak rileks. Aku merasa sedikit aman meneruskan perjalanan.
Aku akhirnya tiba di depan gedung MPR. Di luar pagar massa cair sudah banyak sekali. Juga pedagang kaki lima. Iring-iringan mahasiswa masih terus berdatangan menambah bilangan. Berbaris rapih dan tertib, mengenakan jaket almamaternya, dan memasang tali mengawal barisan agar tak disusup. Cantik. Aku kagum sekali. Mahasiswa Indonesia sudah sangat pintar berdemonstrasi pikirku. Kupikir tadinya hanya mahasiswa Korea yang bisa berdemo rapih. Sebagian lagi mahasiswa berkeliling dengan bus-bus besar ber-AC, ramai-ramai duduk di atap sambil melambai-lambaikan bendera. Kayaknya mereka berasal dari kampus ternama tempat anak-anak orang kaya. Aku senyum-senyum masam saja. Aku terbayang rombongan mahasiswa yang biasa demo dengan metromini dan membayarnya dengan urunan.

Namun ada keanehan. Aku melihat sebuah pintu gerbang DPR dibiarkan terbuka. Rombongan mahasiswa itu masuk dengan bebasnya, seperti sedang dipersilahkan saja. Padahal biasanya mahasiswa harus saling dorong di pintu gerbang dan dipaksa bubar dengan gas air mata atau semprotan mobil pemadam kebakaran. Aku pun menyelinap masuk ke halaman gedung wakil rakyat ini dengan jaket ungu STT Jakarta yang sudah kekecilan. Tak ada seorang pun memperdulikan aku. Wow. Pemandangan di dalam luar biasa. Puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung MPR
dalam arti harafiah. Persis seperti semut-semut yang mengerubungi dua roti manis bundar. Gedung dan halaman MPR itu benar-benar dikuasai mahasiswa, bahkan sampai atapnya, tiang benderanya, juga kolamnya. Aku ketawa sendiri.

Kemarin seorang mahasiswa mengatakan mereka juga sudah gantian mencoba duduk di kursi yang biasa dipakai Pimpinan MPR untuk merasakan empuknya. Ada-ada saja.
Aku mendengar ada orasi-orasi tapi tak jelas apa yang dikatakannya. Kupikir mereka menggunakan mik car call, yang biasa untuk memanggil supir-supir anggota Dewan. Aku tak perduli orasi itu. Isinya pastilah yang sudah kutahu. Wartawan-wartawan dalam dan luar negeri benar-benar berpesta dengan even yang sungguh jarang terjadi ini. Di halaman gedung MPR tempat pesta mahasiswa itu aku tiba-tiba melihat dan mengenali beberapa tokoh masa lalu dengan lengan kemeja tergulung berdecak pinggang, ngobrol dengan sesamanya sambil berdecak pinggang, sambil menunjuk-nunjuk. Aku mencibirkan bibirku dari jauh. Muak sekali. Menurutku orang-orang ini hanya menumpang menang dan nama saja. Itu membuat aku mual. Capek jalan-jalan dan melihat-lihat pemandangan akhirnya aku duduk saja dekat kolam. Beberapa mahasiswa sedang sembahyang. Aku mengangguk hormat dalam hati. Ya demonstrasi sih boleh-boleh saja, tapi kewajiban agama juga harus dijalankan.

Aku duduk melamun sendiri di tengah puluhan ribu massa mahasiswa yang bersorak riang gembira itu. Tiba-tiba aku terbayang lagi kejadian empat tahun lalu. Tepatnya: 6 Juni 1994. Kami, 231 orang pendeta HKBP yang menolak campur tangan pemerintah Soeharto terhadap HKBP datang ke gedung terhormat ini memakai jubah hitam kependetaan kami. Seperti kata Kompas keesokan harinya, “kami datang dalam hening membawa keprihatinan hati”. Ya, memang kami tidak berteriak-teriak, tidak orasi, tidak bawa poster atau spanduk, namun hanya menyampaikan suara keprihatinan HKBP tentang campur tangan negara yang membuat banyak orang harus meninggalkan kampung halamannya sendiri karena dikejar-kejar aparat dan preman. Kami datang baik-baik namun malamnya kami diusir pergi oleh aparat keamanan dari gedung yang sekarang dikangkangi oleh mahasiswa ini. Syukurlah sore harinya kami sempat berfoto bersama di tangga, dan foto itu masih kusimpan sebagai kenang-kenangan. Terus terang, mengingat itu aku merasa bangga sekali sebagai pendeta HKBP.

Tapi kini ada perasaan kecil di hatiku. Terus terang aku merasa sedikit iri kepada adik-adikku sendiri. Aku mendengar suara Roy Simanjuntak orasi. Dia mahasiswa STT. Rupanya dia salah satu “bintang” di sini. Ya ini jaman mereka, setiap jaman punya anak-anaknya sendiri, kataku menghibur diri. Lantas aku melihat seorang lagi naik ke podium. Itu Adian Napitupulu, anak UKI Cawang. Dia salah satu “pemimpin” Forum Kota. Dia pidato berapi-api di depan ribuan mahasiswa di sebuah drama kolosal pergantian sejarah Indonesia. Hebat sekali.

Puluhan ribu mahasiswa dengan berbagai warna jaketnya membuat gedung ini seperti sedang pesta saja. Namun agaknya tak seorang pun yang tahu aku ada di sini. Jujur ada perasaan kecil hati, kecewa bercampur iri, merasa tidak ada apa-apanya: mengapa aku tidak dilahirkan beberapa tahun lebih lambat, sehingga aku juga bisa berdiri bagaikan bintang yang bersinar terang di depan ribuan massa di titik pergantian sejarah ini? Alangkah bangganya jadi tokoh. Alangkah enaknya kalau menjadi bintang, keluhku. Seorang remaja penjual rokok entah kenapa tiba-tiba datang lantas duduk di sampingku ikut memandang kerumunan mahasiswa. Aku tak merokok dan tak juga memanggilnya. Mungkin Tuhan yang menyuruh dia duduk dekatku, supaya aku tidak merasa kesepian dan sadar diri. Doaku: “Terima kasih Tuhan, Kau mengingatkan aku bahwa panggilan hidupku bukan menjadi politikus, apalagi selebritis harum bergelimang puja-puji. Engkau memanggil aku menjadi hambaMU, seorang pendeta jemaat biasa dalam hidup keseharian. Cukuplah bagiku jika aku bisa memberikan sedikit inspirasi moral politik kepada mereka yang Kaupercayakan ada di dekatku.”

KAMIS KENAIKAN ISA ALMASIH
Sebenarnya aku ingin lama-lama di sana, tapi ini hari Rabu, besok aku harus kotbah hari kenaikan Yesus, dan istriku sendirian di rumah di Cibinong. Aku pun pulang meninggalkan Gedung MPR tanpa harus pamit kepada siapa pun.
Keesokan harinya persisnya tanggal 21 Mei, pagi-pagi sebelum ke gereja aku melihat televisi hampir tak percaya: Soeharto mengumumkan berhenti menjadi presiden. Kuulangi sekali lagi: Soeharto, orang kuat yang sudah tiga puluh
tahun menguasai negara ini, menyatakan berhenti. Orde sudah berganti kataku. Puji Tuhan. Itu tidak disangka-sangka sama sekali.

Sekonyong-konyong aku mendapat bahan renungan berkotbah di hari Kenaikan Yesus ke surga ini. Soeharto turun ke tempat rendah tapi Yesus naik ke tempat tinggi. Aku mengartikan kenaikan Yesus adalah proklamasi Allah tentang pemuliaan Anak Manusia, peninggian kebenaran. Siapa yang merendahkan diriNya akan ditinggikan Allah, tetapi siapa yang meninggikan dirinya akan direndahkan Allah. Aku pun berkotbah dengan sedikit percik-percik api. Aku mengatakan lantang di depan jemaat dan menurutku itu pantas, bahwa selama ini banyak orang menganggap Soeharto tuhan yang tidak terkalahkan. Namun hari ini Allah memaklumkan bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa.

Pesan moral:
jangan memperlakukan pemimpin sebagai dewa atau tuhan. (pesan ini kutujukan sekarang kepada sebagian kaum muda yang tidak berani mengkritik pemimpin, pendeta, apalagi pemimpin persekutuan kampusnya.)
Namun pulang dari gereja aku benar-benar tak tahan godaan, aku pergi lagi ke gedung MPR. Mahasiswa tampak masih ramai, tapi tak seramai kemarin. Maklum ini hari libur. Gerbang MPR menganga lebar-lebar. Sekali lagi kukatakan: menganga lebar-lebar! Tak ada polisi atau tentara sama sekali. Pedagang2 kecil bebas keluar-masuk. Masyarakat bebas datang menonton. Aku pun berkeliaran sendiri menelusuri ruang-ruang kosong dengan nama-nama Sanskerta yang sulit dilafal. Sampah berserakan dimana-mana. Gedung ini benar-benar telah kehilangan wibawa dan kemuliaan palsunya. Aku tak selera berlama-lama di sana. Aku pulang. Namun sorenya kudengar suasana Jakarta benar-benar mencekam. Ada begitu banyak rumor intrik di sekitar pergantian kekuasaan di negeri yang bernama Indonesia ini. Jakarta siaga satu. Aku sangat kecut. Aku hanya seorang pendeta di akar rumput yang tidak tahu-menahu tentang kejadian-kejadian di langit politik. Tapi aku tetap mencoba menyimak berita di sekitar pergantian kekuasaan itu dan merenungkannya dalam batin.

REFLEKSI ULANG GERAKAN MAHASISWA
Soeharto sudah jatuh yang lantas digantikan Habibie. Namun mahasiswa masih terus saja demonstrasi. Menurut aku pribadi seharusnya tidak lagi, sebab tugas mereka sebagai penjaga moral bangsa sudah selesai (sementara) dan itu artinya mereka harus kembali ke kampus belajar lagi. Jika mereka terus-terusan demo aku sangat kuatir mereka akan ditunggangi kelompok-kelompok yang ingin berkuasa. Tapi kawan-kawan mahasiswa rupanya berpikir lain. Kesanku mula-mula mahasiswa tidak ingin memberi kuitansi kosong kepada pemerintahan baru yang bisa diisi sesukanya, namun lama-lama aku berpikir jangan-jangan, semoga aku salah, mereka sudah tergoda ingin ikut-ikutan bermain kekuasaan. Jika kecurigaanku benar, semoga saja tidak, ini adalah suatu pertanda buruk yang menjadi awal kegagalan reformasi. Namun yang jelas, demo-demo mahasiswa yang tak kunjung usai dibalas aparat dengan kekerasan berlipat. Mahasiswa pun korban lagi. Terjadilah peristiwa Semanggi sampai dua kali. Aku hanya mengikuti kejadian itu lewat televisi swasta dengan gundah.

Mengurus negara dan menjalankan roda pemerintahan menurutku bukan tugas mahasiswa. Itu urusan politikus dan partai-partai. Tugas mahasiswa hanya mendesak agar agenda reformasi dijalankan, tidak perduli siapa yang berada di puncak kekuasaan. Selain itu mahasiswa juga harus sadar diri mereka masih sangat muda dan harus belajar banyak lagi sebelum terjun ke dalam pertandingan politik sehat mengambil kekuasaan. Mahasiswa juga harus rendah hati dan jangan sampai mengklaim merekalah satu-satunya atau yang paling berjasa menumbangkan rejim Orde Baru, sebab sebelum mereka bergerak ada daftar panjang aktivis pro demokrasi yang berjuang tak kenal lelah tanpa jadi berita media massa dan dianggap pahlawan.

Sebagai gerakan moral menurutku ada 3(tiga) yang tetap harus dijaga oleh mahasiswa: pertama idealisme. Bahwa mahasiswa berpikir luhur atau ideal, jujur, dan tidak memiliki kepentingan pribadi atau kelompok. Kedua: menjaga jarak dengan kekuasaan. Mahasiswa harus tetap bersikap menjaga jarak dengan kekuasaan dan partai-partai politik yang ingin merebut kesempatan berkuasa. Ketiga: melakukan otokritik. Mahasiswa harus berani rendah hati dan berani melakukan kritik ke dalam dirinya sendiri. Mobiltas gerakan mahasiswa Setiap jaman memiliki anak-anaknya sendiri. Mahasiswa yang baru masuk kuliah tahun 1999 tentu tidak bisa diharapkan sama dengan mahasiswa yang mengalami demo menentang Soeharto sebelum 1998. Sebab itu jangan terpaku dengan romantika masa lalu. Tugas mahasiswa adalah menyongsong masa depan. Mahasiswa angkatan 1998 (jika boleh disebut demikian) telah melakukan tugasnya memaksa Soeharto mundur dan membuka jalan kepada pemerintahan reformasi. Mahasiswa sesudah 1998 mempunyai panggilan yang berbeda lagi dan tidak harus menggantungkan diri kepada senior-seniornya yang sudah tamat dan sebagian sudah menikmati nikmatnya berkuasa.

Mahasiswa jaman sekarang harus merumuskan sendiri tugasnya. Tapi aku ingin memberi satu masukan. Menurutku salah satu tantangan sekarang dan di masa depan adalah mengerasnya politik etnis dan keagamaan. Mahasiswa mungkin suatu ketika harus kembali berdiri di garda depan membantu bangsa ini keluar dari kesempitan pola dan cara berpikirnya.

AGENDA REFORMASI
Aku merenung dan bertanya pada diriku sendiri: apa sebenarnya yang dituntut mahasiswa Angkatan 1998 dan sebelumnya para aktivis LSM pro demokrasi? Secara singkat aku menjawab sendiri: Soeharto turun. Lebih konkret: Soeharto diadili.
Tapi aku bertanya lagi: Soeharto sudah turun dan diadili (walaupun kayaknya pengadilan
ecek-ecek) lantas kita mau apa? Sebagai seorang teolog yang sudah tidak remaja lagi, aku membiarkan diriku tenggelam dalam permenungan panjang tentang reformasi.

Aku sangat setuju dan mendukung demo-demo menurunkan rejim Soeharto. Malah menurutku seharusnya sudah dari dulu-dulu. Tapi menurunkan seorang penguasa lalim, walaupun signifikan, hanya satu langkah dalam suatu perjuangan panjang. Langkah berikutnya apa? Jika agenda-agenda (baca: hal-hal yang harus dikerjakan) ke depan tidak jelas, bisa-bisa negara ini akan kacau-balau, apalagi jika Soeharto bikin politik bumi hangus ala Batak: ndang di au ndang di ho, tagonan di begu. Tidak untukmu tidak untukku, lebih baik dimakan hantu. Atau ala Jawa: mati satu mati semua. Lupa aku bahasa Jawanya.

Apa sesungguhnya agenda reformasi? Jika kita perhatikan seksama spanduk, poster, dan orasi mahasiswa, serta diskusi-diskusi ada banyak sekali. Bahkan terlalu banyak yang harus dikerjakan di era reformasi ini. Bisa-bisa saking banyaknya agenda itu orang tidak tahu lagi prioritas, dan lebih celaka lagi jika tidak tahu bahwa agenda yang satu bertentangan dengan agenda lainnya.

Namun menurutku sendiri ada 4 (empat) agenda utama reformasi, yaitu: (1) pemberantasan korupsi. (2) demokrasi (3) gerakan pendidikan (4) pluralisme Indonesia. Itu cukup untuk mengubah Indonesia.

AGENDA PERTAMA: PEMBERANTASAN KORUPSI
Adagium Lord Acton yang termashur itu mengatakan “power tend to be corrupt”, kekuasaan cenderung membusuk. Maksudnya siapapun manusia tanpa kecuali, termasuk mahasiswa, ibu rumah tangga, pendeta, penginjil atau pemimpin persekutuan kampus, yang berkuasa akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu. Pemahaman itu berakar dalam Alkitab yang mengatakan bahwa semua manusia berdosa. Jangan anggap remeh. Dosa artinya bukan sekedar melakukan yang jahat, tetapi memiliki potensi, bakat dan kecenderungan melakukan yang jahat. Potensi, bakat dan kecenderungan melakukan yang jahat itu dibawa manusia sejak lahir, melekat terus dalam dirinya sampai mati, dan tidak bisa sepenuhnya dihilangkannya. (Karena itulah Alkitab mengatakan manusia tidak dapat meraih surga dengan prestasi kesalehannya sendiri.)

MULAI DARI DIRI SENDIRI
Apa konsekuensi pemahaman ini bagi agenda pemberantasan korupsi? Pemberantasan korupsi artinya perlawanan terhadap diri sendiri. Yaitu: perjuangan melawan potensi, bakat dan kecenderungan korupsi yang ada dalam diri sendiri. Sebab itu menurutku gerakan pemberantasan korupsi harus dimulai dari pribadi dan bergerak ke lingkungan terdekat. Namun masalahnya banyak orang apalagi Kristen yang sudah “hidup baru” tidak percaya bahwa dirinya dan orang-orang terdekatnya juga berpotensi, berbakat, dan punya kecenderungan menyelewengkan uang!

Organisasi pemuda dan mahasiswa harus belajar memberantas potensi, kecenderungan dan bakat korupsi dari dirinya sendiri. Inilah kritikku yang paling besar kepada gerakan mahasiswa. Aku tak mengatakan mahasiswa dan pemuda sebagai orang-orang jahat, tetapi pengalamanku sebagai pendeta pemuda dan mahasiswa, membuat aku berkesimpulan pemuda (termasuk mahasiswa di dalamnya) seringkali tidak kritis kepada dirinya sendiri, apalagi kepada kawan-kawannya sejenis (kelamin, hobi, ideologi, klub, persekutuan, dll). Pertanyaanku: bagaimana mungkin kita mengkritik pengelolaan keuangan negara sementara keuangan organisasi kita sendiri tidak rapih, tidak transparan dan tidak akuntabel? Aku sering melihat mahasiswa mengenakan jaket almamater berdiri di pintu jalan tol dengan kotak sumbangan terbuka untuk reformasi atau bencana alam. Kukatakan kepada adik-adikuku, di gereja kami persembahan setiap minggu dicatat, ditandatangani, diumumkan ke publik, dan diverifikasi, tetapi tetap saja ada kebocoran. Bagaimana pula dengan sumbangan yang tidak tercatat dan tidak dilaporkan? Aku tak percaya mahasiswa lebih kudus dari pada kami HKBP yang suka dicela karena sering bertengkar soal uang ini. Ingat baik-baik: adagium Lord Acton juga berlaku kepada pemuda dan mahasiswa. Power tend to be corrupt! Seorang mahasiswa demonstran mengatakan jujur padaku: “sumbangan yang kuterima langsung kubelikan jins baru”. Aku hanya ketawa merasa pendapatku memang benar adanya.

Mulai dari yang paling mudah Di sebuah radio swasta dan di pertemuan raya pemuda gereja (PRPG) di Kinasih, aku mengatakan pemberantasan korupsi harus mulai dari hal-hal konkret dan mudah. Mengapa? Karena sulit sekali memberantas korupsi. Sebab itulah Mohamad Hatta sudah mengatakan tahun 1950-an korupsi telah jadi budaya. Apa yang dimaksud cara yang mudah?

Jika kaubelanja di supermarket dan dikasi permen sebagai kembalian belanja, tolaklah terang-terangan, dengan suara keras agar terdengar orang lain, dan panggillah manajernya untuk mengajarkan kepadanya bahwa yang dilakukannya salah. Jika kau diturunkan oleh kenek metromini Batak satu kilometer sebelum terminal sebab dia buru-buru ingin balik arah, jangan mau dan kalau dia tetap ngotot mintalah ongkosmu kembali. Jika kau memarkir mobil di gedung dan tidak dikasih tanda terimanya, mintalah kepada petugasnya. Jika kau membayar uang PLN atau PAM dan pembayaranmu dibulatkan, mintalah uang receh hakmu. Atau jika pembayaranmu langsung ditambahkan dengan sumbangan tanpa meminta persetujuanmu, tolaklah. Sebelum aku lupa, jika kau membayar gaji pembantumu, suruhlah dia menandatangani kuitansi. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Percayalah, bila kau sudah terlatih melawan korupsi kecil maka kau akan berani melawan korupsi besar. Rajin beribadah rajin korupsi?

Kembali ke soal HKBP, menurutku gereja ini juga dipanggil Tuhan agar ikut dalam pemberantasan korupsi ini. Menurut survey lembaga internasional, Indonesia yang suka mengaku religius ini ternyata juara korupsi se dunia. Apa konsekuensi logis pernyataan itu? Orang-orang beragama ternyata suka korupsi. Atau kalau dibalik, para koruptor itu ternyata orang-orang yang taat beragama. Doa dan korupsi artinya berlangsung simultan. Berdoa sambil tipu-tipu?

Jujur, aku melihat gereja-gereja termasuk HKBP ambigu atau gamang dalam soal pemberantasan korupsi ini. Di satu pihak mungkin gereja menyadari uang sangat perlu untuk membiayai pelayanan, namun di lain pihak gereja tahu juga bahwa Tuhan tidak suka jemaatNya korupsi (istilah halus dari mencuri). Lantas bagaimana? Gereja pura-pura tidak tahu saja. Atau anggap dan nyatakan saja korupsi itu soal pribadi dan tergantung kepada pribadi masing-masing. Gereja aman. Atau ada cara lain, belokkan saja perhatian dan fokus jemaat dari masalah-masalah dunia (baca: pemberantasan korupsi) ke perkara-perkara surga (doa semalam suntuk dan nyanyi sampe pagi). Ini sangat gampang dilakukan, karena orang Kristen mewarisi pemahaman yang memisahkan secara absolut hal-hal rohani dari jasmani, surgawi dan duniawi. Jika tidak diberi tahu maka orang Kristen tidak akan pernah tahu memberantas korupsi sama mulianya dengan pergi menginjili.

TEOLOGI SUKSES DAN MATERIALISME BATAK
Namun ada soal lebih mendasar, yaitu teologi (refleksi sistematis terhadap iman) tentang uang. Aku tidak tahu dari mana asal-usulnya, tetapi telah berkembang Teologi Sukses, yang mengajarkan kesuksesan terutama dalam hal kepemilikan
materi sebagai bukti kuat berkat Allah. Artinya: jika seorang kaya secara materi itu adalah bukti dia adalah orang yang diberkati Allah. Sebaliknya: jika seseorang miskin bagaimanapun baiknya dia, kemiskinan itu menunjukkan dia masih kurang atau tidak diberkati Allah. Ya ampun!

Pertanyaan pekerjaan rumah: jika seseorang menjadi kaya-raya dengan cara mencuri atau menipu orang lain atau negara, mengambil yang bukan haknya, atau memperkaya dirinya dengan cara merusak kehidupan alam, apakah orang itu masih dapat disebut orang yang diberkati Allah? Ayo tidak usah malu-malu, jawablah! (jangan-jangan kau tetap mengatakan YA.) Bagi HKBP sendiri agenda pemberantasan korupsi ini benar-benar sulit. Mengapa? Sebab 99% warga HKBP adalah orang Batak yang nyata-nyata mewarisi kultur Batak yang justru sangat mementingkan kepemilikan materi. Itu nampak melalui salah satu filsafat hidup Batak: menjadi kaya (mamora). Yang buat semakin repot materialisme tradisional Batak ini berjumpa dengan paham materialisme dan hedonisme Barat yang disebar-luaskan melalui media cetak dan elektronik. Makin kental dan keras sajalah keinginan kaya itu dalam diri si Batak.

Sudah disinggung di atas, secara umum orang Batak ingin kaya. Ya silahkan. Itu sah dan baik-baik saja. Namun sebagian orang ingin kaya mendadak, seketika, dan tanpa prosedur susah-payah. Tunggu dulu! Bagaimana mungkin? Kecuali karena kau dapat warisan, bagaimana jalannya kau bisa kaya mendadak secara mudah tanpa harus melakukan yang jahat?

EMPAT CARA EFEKTIF MEMBERANTAS KORUPSI
Mari kita lihat kembali ke soal pemberantasan korupsi di negara ini. Menurutku, kalau kausetuju, ada empat cara yang paling efektif memberantas korupsi. Mari bersama-sama memperjuangkannya tak kenal lelah. (Catat baik-baik siapa tokoh yang tidak setuju dan selidiki kenapa dia tidak setuju).

Pertama: perjuangkanlah azas pembuktian terbalik dalam kasus korupsi. Jika seseorang dituduh korupsi, maka dia sendirilah yang harus membuktikan bahwa kekayaannya diperolehnya secara sah (misalnya karena dia dapat warisan atau lotere atau karena usaha lain.)

Kedua: doronglah agar negara ini menghidupkan kembali Komite Pemeriksa Kekayaan Pejabat Penyelenggara Negara. Desaklah agar semua pejabat publik (termasuk anggota DPR) wajib melaporkan kekayaannya di awal masa jabatan, setiap tahun, dan di akhir masa jabatannya. Mari kita lihat apa yang terjadi!

Ketiga: doronglah agar negara ini dapat segera memberlakukan Sistem Identitas Tunggal bagi warga negara RI. Setiap warga negara hanya punya satu nomor identitas (Paspor, KTP, Jaminan Sosial dll). Nomor itulah yang dipakai untuk membuka rekening bank. Aku yakin akan banyak sekali orang yang panik kebingungan menyembunyikan harta
jarahannya.

Keempat: mulailah memeriksa para guru dan kepala sekolah serta rektor. Aku yakin sesudahnya, para pendidik ini akan berdiri di garda terdepan pemberantasan korupsi. Itu akan efektif sekali.
Pesan moral: aku ingin menitipkan empat pernyataan di atas kepada generasi muda HKBP agar didoakan saban Jumat di persekutuan-persekutuan kampus dimana kalian aktif. Mau kan? Aku percaya jika persekutuan kalian cukup beriman kepada Kristus tak ada alasan untuk tak setuju denganku tentang empat strategi di atas.
AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI KEUANGAN
Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secara emosional, hanya dengan marah-marah atau memaki-maki orang lain. Kita perlu kerja kerasa yang sangat sistematis. Pemberantasan korupsi mensyaratkan mekanisme akuntabilitas dan transparansi dalam keuangan. Itu berlaku di tingkat negara namun juga di masyarakat luas. Keuangan negara itu sangat rumit. Aku mengaku tidak paham menjelaskannya, namun aku tetap berpendapat bagaimanapun rumitnya keuangan negara tetap harus dikelola secara akuntabel dan transparan. Sebab itu mari kita langsung ke gereja saja, atau ke persekutuan doa kampus/ kantor.
Gereja adalah persekutuan orang-orang beriman, yang dipanggil dan diutus Tuhan, dan dijanjikan masuk surga berdasarkan penebusan Kristus, namun gereja tak bisa tidak juga bersentuhan atau berurusan dengan uang. Aku tahu ini topik yang kurang disukai oleh banyak orang Kristen karena dianggap tabu (baca: suka dilakukan diam-diam, namun tak boleh dibicarakan terang-terangan) dan bisa mengurangi kekudusan gereja. Ada-ada saja.

Menurutku kita harus serius membicarakan bagaimana mengelola keuangan gereja yang kita katakana milik Tuhan itu. Di sini ada dua kata kunci: akuntabilitas dan transparansi. Ilmu Keuangan telah mengajarkan kita tentang prinsip-prinsip keuangan yang baik. Antara lain: memisahkan fungsi-fungsi agar memudahkan pengawasan dan mencegah penyimpangan. Ingat sekali lagi: kita adalah orang berdosa, yang juga punya potensi, bakat dan kecenderungan jahat juga di bidang keuangan. (Jangan pernah berpikir bahwa pendeta atau bendahara gereja atau persekutuan kampusmu itu adalah mahluk suci, lugu, dan tak tahu menyenangkan diri dengan cara tidak sah.)

Itulah sebabnya Ilmu Keuangan (yang menurutku berakar dalam Alkitab) sejak dulu mengajarkan kita bahwa bendahara tidak boleh merangkap pemegang buku keuangan. Ada yang memegang uang, namun ada yang mencatat dan membukukannya. Bahkan si bendahara yang baik hati namun berdosa itu juga tidak diijinkan memegang uang dalam jumlah besar. Uang milik Tuhan itu harus disimpan di bank. Namun, bank penyimpanan uang tidak boleh sembarangan, tetapi ditentukan berdasarkan keputusan rapat atau aturan. Itu pun belum cukup, uang tidak boleh disimpan atas nama pribadi si bendahara atau pendeta, namun nama organisasi. Namun celah masih harus ditutup lagi. bendahara tidak boleh mengambil uang itu sendirian, harus dengan sepengetahuan ketua majelis. Semua transaksi harus tertulis, dibuat rangkap, kalau perlu tiga sampai empat, agar makin banyak mata dan hati yang ikut menjaganya. Selanjutnya pengelolaan semua uang itu sendiri harus dilaporkan secara terbuka sehingga jemaat tahu keadaan dan perkembangannya. Laporan keuangan gereja itu beserta bukti-bukti yang sah diperiksa oleh tim audit. Rumit? Tidak juga. Namun begitulah caranya gereja (yang mengaku masih berdosa ini) menjaga harta Tuhannya. Aku ingin mengusik: bagaimana uang Tuhan dijaga di gerejamu atau di persekutuan doa kampusmu? Coba selidiki seksama.

No comments:

Post a Comment