Thursday 21 July 2011

Sipayung

Tarombo Silahi Sabungan di Huta Silalahi , Pakpak–Dairi , mengurai bahwa Silahi Sabungan memiliki keturunan yang disebut “Siualu Turpuk“, yaitu : Lohoraja, Tungkirraja, Sondiraja, Butarraja, Dabaribaraja, Debangraja, Baturaja, Tambunraja. Sibagasan adalah anak dari Tungkirraja yang kemudian keturunannya memakai marga Situngkir. Keturunan Situngkir kemudian memakai marga lain sebagai marga keturunannya, yaitu : Sipangkar dan Sipayung.

Pada perkembangannya, keturunan Sipayung di Silalahi, Pakpak-Dairi, kemudian menyebar ke Samosir, Simalungun dan Tanah Karo (Sumatera Timur). Secara goegrafis, huta Silalahi Pakpak Dairi memang berbatasan dengan Kerajaan Purba di Simalungun.
Saya pernah membaca tulisan Kerajaan Purba Simalungun yang kemudian mengangkat marga Sipayung sebagai Panglima Goraha ( kepala pasukan kerajaan ) di kerajaan Purba karena kesaktiaanya. Sang Panglima kemudian dikawinkan dengan parboruon Kerajaan sehingga Sipayung menjadi Boru di Kerajaan Purba. Dari kisah ini kemudian kehadiran marga Sipayung di Kerajaan Purba diakui dan dianggap sebagai bagian dari Kerajaaan.
Kisah lain dari Simalungun, marga Sipayung kemudian mengikat perjanjian (padan) dengan marga Sinaga. Sehingga antara marga Sinaga dan Sipayung merupakan satu kesatuan dan diharamkan untuk saling kawin-mengawini ( sampai sekarang ini, perjanjian ini masih berlaku dibeberapa daerah di Simalungun Kahean).

Dengan demikian , sejak kesepakan perjanjian itu, keberadaan marga Sipayung di Simalungun tidak dipermasalahkan lagi oleh marga-marga di Simalungun.
Keturunan Sipayung telah diterima Simalungun. Bahkan di daerah Raya
Kahean, didapati sebuah perkampungan yang disebut Huta Payung, dimana kampung tersebut hanya dihuni (mayoritas) marga Sipayung. Meski secara tarikh tidak ada fakta yang jelas sejak kapan keberadaan marga Sipayung bermukim disana, yang jelas marga Sipayung sejak lama sudah eksis di Simalungun. Itu sebabnya, marga Sipayung saat ini juga masih banyak didapati sebagai tetua-tetua (sesepuh) kampung ataupun adat di Simalungun.

Pada masa eksodusan marga-marga dari Tapanuli dan Karo di Simalungun, sehingga mengakibatkan pengambilalihan tanah-tanah rakyat Simalungun oleh para pendatang dan hal ini sudah dianggap sangat membahayakan masyarakat Simalungun waktu itu.

Maka Raja Maropat di Simalungun (yaitu Raja : Raya, Siantar, Tanohjawa dan Purba) mengadakan Harungguan (rapat besar empat raja) yang kemudian mengeluarkan ultimatum : “hanya ada empat marga yang boleh memiliki tanah-tanah di Simalungun”, sedangkan marga-marga lain ( selain : Damanik, Purba, Saragih, Sinaga ) hanya sebagai pemakai atau pengusaha dan harus tunduk dengat aturan-aturan kerajaan Simalungun. Kondisi ini sempat mengakibatkan situasi yang mencekam di Simalungun , karena banyak terjadi pengusiran bahkan pembunuhan suku-suku pendatang di Simalungun.

Kondisi ini sangat berbeda dengan marga pendatang seperti Sipayung, karena marga Sipayung jauh sebelumnnya telah diterima dan memiliki perjanjian darah dengan marga Sinaga. Alhasil, banyak marga-marga keturunan Silahi Sabungan , seperti marga: Sihaloho, Situngkir, Silalahi dan lain-lain , kemudian mengakuisisi Sipayung dengan mengganti marga mereka menjadi Sipayung. Itu sebabnya kemudian di Simalungun menjadi suatu kebiasaan , jika seseorang bertanya ; “Sipayung apa?” , kemudian dijawab : “ Sipayung Silalahi, Sipayung Sihaloho, Sipayung Sinurat , dan sebagainya”.
Demikian halnya di Tanah Karo, keturunan Silahi Sabungan kemudian berafiliasi dengan marga Sembiring. Sehingga kemudian ada sebutan marga : Sembiring Sinulaki, Sembiring Keloko, Sembiring Sinupayung, dan sebagainya.

Bahkan lebih jauh, setelah ikatan perjanjian darah antara Sipayung dan Sinaga, banyak kemudian terjadi pertukaran marga karena umumnya beranggapan bahwa marga mereka adalah sama. Marga Sipayung kemudian mengganti marganya dengan Sinaga dan sebaliknya.

Pasca Revolusi Sosial di Simalugun (Maret 1946), dimana penguasa di Simalungun (Raja, Tuan) dan kerajaan-kerajaan di Simalungun dibumi hanguskan oleh para pemberontak (revolusioner) pro kemerdekaan yang menuntut sistem kerajaan (feodalisme) dihapuskan di Sumatera Timur dan segera menjadikan sistem pemerintahan Negara Sumatera Timur. Hanya dalam waktu semalam, kebiadaban itu terjadi. Beberapa kerajaan dan keluarga kerjaaan , Raja dan Tuan-tuan di Simalungun lenyap diculik dan dibunuh.

Pasca revolusi sosial, kemudian marga-marga pendatang yang sempat berafiliasi dengan marga-marga Simalungun kemudian memisahkan diri lagi dan kembali kepada klan marga-marga aslinya. Demikian halnya dengan marga-marga Sihaloho, Situngkir, Sinurat. Namun tidak sedikit pula yang tetap mempertahankan marga Sipayung sebagai marga keturunannya dan sampai sekarang ini keberadaan Sipayung di Simalungun sudah tidak ada bedanya sebagaimana keberadaan marga Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga di Simalungun.

Oleh karena itu , bukan hal yang aneh jika saat ini ada marga Sipayung yang menyebutkan bahwa mereka adalah Sipayung Sihaloho, Sinurat, Situngkir, Silalahi atau sebagainya.

Karena kelamnya masa lalu tersebut, sehingga marga-marga ini harus mengganti marga mereka. Meski pada dasarnya mereka adalah satu keturunan, dari Silahi Sabungan.
Hanya saat ini , masih banyak marga-marga Sipayung belum begitu jelas akan kisah ini sehingga belakangan ini keturunan Sipayung banyak yang kemudian enggan menerima keberadaan mereka di parsadaan Silahi Sabungan karena memang mereka telah dilahirkan oleh Simalungun dan menjadi bagian dari darah-daging Simalungun.
Horas, Diateitupa, Mauliate.

Ditulis oleh Hoga Sipayung

No comments:

Post a Comment