Thursday 21 July 2011

Adat dan kepentingan ekonomi sebagai perekat masyarakat Sumut

Oleh : Limantina Sihaloho


Medan, kota terbesar ketiga di Indonesia, yang lahir pada 1 Juli 1590 ini dikenal sebagai kota yang multi etnis sampai hari ini. Penduduknya lebih dari 12 juta jiwa. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut pada tahun 2000, peta jumlah penganut agama-agama yang ada di kota ini adalah sebagai berikut: Islam 65,45%, Kristen 26,62%, Katolik 4,78%, Buddha 2,82%, Hindu 0,19% dan lain-lain 0,14%.
Pada zaman kolonial, di sini kita menjumpai berbagai macam etnis seperti Melayu (termasuk Melayu-Aceh), Batak (Toba, Simalungun, Karo, Angkola-Mandailing, Pakpak) Jawa, Cina , India (biasa disebut orang Medan sebagai Keling), dan Eropa. Pada masa sekarang, keragaman suku tersebut tidak jauh berbeda kecuali bahwa warga Eropa hanya segelintir saja di sini, bekerja di berbagai konsulat negara masing-masing yang ada di Medan atau di lembaga-lembaga lainnya seperti perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh negara-negara maju.

Etnis Jawa jumlahnya termasuk besar di Medan , sekitar 40%. Besarnya jumlah etnis ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkebunan di Sumatra Timur yang sudah dimulai sejak tahun 1860-an oleh orang-orang Eropa. Untuk mengerjakan lahan-lahan perkebunan yang luas di Sumatra Timur, para pemilik modal memerlukan jumlah tenaga kerja yang banyak. Tenaga kerja dalam jumlah besar-besaran didatangkan dari Jawa khususnya dari daerah-daerah yang tandus dan minus sejak awal abad ke-20 sebab mendatangkan tenaga kerja dari Daratan Cina seperti yang dilakukan sebelumnya membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal. Setelah Indonesia merdeka, sebagian besar para tenaga kerja yang bekerja di perkebunan di Sumatra Timur tidak kembali lagi ke Jawa.

Sampai sekarangpun, Sumatra Utara masih merupakan salah satu titik penting perkebunan di Indonesia . Di sini terdapat lahan-lahan perkebunan yang luas yang ditanami khususnya kelapa sawit, teh dan karet yang sebagian besar diexport ke luar negeri. Lahan-lahan perkebunan, sebagian besar merupakan warisan dari masa lalu, dari masa kolonial yang kemudian diambil alih oleh pemerintah.
Keragaman etnis kota Medan juga sekaligus menggambarkan keragaman agama masyarakatnya. Di sini terdapat gereja, mesjid, klenteng/vihara dan juga rumah ibadah penganut Parmalim yang pembangunannya terkendala sejak tahun lalu.
Riak-riak konflik di permukaan

Medan sampai sekarang dikenal sebagai kota yang relatif aman, jauh dari konflik horizontal yang pernah menimpa beberapa kota-wilayah di Indonesia seperti Jakarta , Ambon dan Poso. Poso sampai sekarang masih terus dilanda konflik yang berlarut-larut yang malah cenderung meluas menjadi konflik vertikal, antara masyarakat dengan aparat keamanan.

Keragaman etnis dan agama yang berimbang di kota Medan diyakini oleh banyak kalangan sebagai salah satu fondasi yang penting mengapa penduduknya tidak mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis semisal konflik antar agama. Beberapa kali gereja pernah diteror dengan kiriman bom atau bom meledak di gereja tetapi penduduknya tidak sampai terprovokasi untuk melakukan hal-hal yang merugikan komunitas plural di sini. Hal yang sungguh melegakan.

Walau begitu, kota ini bukan tanpa riak konflik. Potensi konflik bahkan antar umat beragama itu ada tetapi sampai sekarang masing-masing pihak masih dapat menahan diri. Pada tanggal 25 November 2006 yang lalu, saat saya mengikuti sebuah sarasehan di mana yang hadir berasal dari berbagai unsur keagamaan yang ada di Sumut, sebagian peserta menyampaikan keluhan berkaitan dengan tindakan-tindakan penganut agama tertentu yang terlalu bersemangat dalam mendirikan rumah-rumah ibadah mereka tanpa atau kurang memperdulikan perasaan dan kekuatiran para tetangga yang kebetulan berbeda agama dengan mereka.

Tanggal 7-9 Desember 2005 yang lalu, di Medan berlangsung perayaan natal bersama yang berlangsung di Lapangan Benteng. Dihadiri ribuan warga Kristen tidak hanya dari kota Medan tetapi juga dari daerah-daerah di Sumut. Panitia menghadirkan seorang pendeta dari Canada , Peter Youngren yang merupakan salah satu tokoh penting selama tiga hari itu. Perayaan natal bersama ini lebih tepat dikatakan sebagai kebaktian kebangunan rohani di mana ribuan massa yang memenuhi lapangan disihir sedemikian rupa oleh lagu, kotbah dan penyembuhan yang langsung dipimpin oleh Peter Youngren, yang melakukan kegiatan sejenis tidak hanya di Medan tetapi juga di beberapa kota di Indonesia seperti Palembang, Bandung dan Papua Barat.

Berimbangnya keragaman etnis dan agama di Medan membuat kebaktian kebangunan rohani yang diadakan oleh kelompok Kristen di kota ini dapat berlangsung lancar, tentu dalam pengawasan aparat keamanan juga. Di Bandung berbeda di mana penganut agama Kristen merupakan minoritas jika dibandingkan dengan Medan . Di Bandung, acara kebaktian kebangunan rohani di mana Peter Youngren hadir sempat dikecam oleh warga yang kebetulan berasal dari kalangan non-Kristen. Papua Barat juga relatif aman, tidak ada penolakan terhadap kebaktian kebangunan rohani yang mendatangkan Peter Youngren. Hal ini tak dapat dilepaskan dari faktor keseimbangan pemeluk agama-agama yang berbeda di sana di mana Kristen bukanlah minoritas.

Suksesnya pelaksanaan Pesta Paduan Suara Gerejawi VIII di Stadion Teladan Medan yang dihadiri oleh SBY tanggal 9 Juli 2006 yang lalu juga bukan tanpa riak. Seperti diakui oleh Drs. H.Z. Arifin Nurdin, SH, Mkn pada sarasehan yang saya ikuti tanggal 25 November 2006 yang lalu, ada beberapa orang yang bertelepon kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Sumut ini. Apa pasal? Para penelpon tersebut kaget mengetahui bahwa sebagian peserta paduan suara gerejawi menginap di Asrama Haji, Medan . Hal itu dianggap sebagai tindakan yang tidak wajar.

September tahun lalu, saya membaca sebuah tulisan yang tertempel di depan beberapa rumah tak jauh dari rumah di mana saya tinggal sekarang ini yang mengatakan bahwa rumah itu dikontrakkan untuk yang 100 persen Muslim. Di Medan, juga umum saya jumpai bahwa kos-kosan untuk mahasiswa/i jarang bercampur antara yang Muslim dan Kristen. Kondisi ini berbeda dengan di Yogyakarta di mana saya pernah tinggal cukup lama (1993-2004). Walaupun memang di Yogyakarta itu ada saja pemilik rumah kost yang hanya menerima pemeluk agama tertentu tetapi jumlahnya hanya satu dua saja. Di Medan, para pencari kos itu sendirilah yang lebih banyak harus sadar sendiri bahwa mereka harus mencari kos-kosan di mana penghuninya merupakan pemeluk agama yang sama dengan mereka yang sedang mencari kos. Bukan berarti kalau pemiliknya kebetulan Kristen maka yang bersangkutan hanya terima anak kos yang Kristen. Yang terjadi justru, seperti di samping tempat tinggal saya, pemiliknya Kristen tetapi hampir semua anak kost di rumah kostnya (terpisah dari rumah yang ditempatinya) Muslim.
Adat dan kepentingan ekonomi sebagai perekat

Penduduk di Medan ini, seperti penduduk kota-kota besar lainnya juga dilanda oleh individuaslime. Bedanya, di sini, individualitas tidak hanya menyangkut pribadi per pribadi saja tetapi juga menyangkut kelompok etnis dan atau sub etnis. Di sini kita menjumpai orang-orang yang etnisnya sama tetapi agamanya berbeda. Hampir semua sub etnis Batak mengalami hal ini. Individualitas ini saya mengerti sebagai hal yang tidak melulu negatif, ia juga bisa berarti solidaritas kelompok dalam konteks yang lebih homogen sifatnya. Dalam konteks seperti ini, adat adalah kata kunci yang tetap mengikat mereka. Jika agama memiliki potensi untuk memisahkan orang-orang yang satu etnis di Medan , maka adat merupakan perekat etnis yang terus terpelihara sampai sekarang secara khusus di kalangan suku-suku Batak (Toba, Simalungun, Karo, Angkola-Mandailing dan Pakpak). Hal ini berlaku baik di kota Medan sampai ke kampung-kampung di pelosok provinsi ini bahkan di seluruh wilayah Indonesia di mana terdapat orang-orang Batak.

Dalam adat ada toleransi. Kalau kita menghadiri pesta adat yang diselenggarakan oleh orang Kristen, maka mereka sebagai panitia akan menyediakan makanan untuk parsubang (orang yang tidak makan makanan yang diharamkan dalam Islam). Ini kan sebuah solusi yang nampak sederhana tetapi jenius sekaligus mencerminkan toleransi yang dalam terhadap orang lain. Tolenrasi tidak cukup hanya diucapkan dalam kata tetapi kan harus diwujudkan dalam tindakan. Biasanya, ke mana pun kita pergi menghadiri acara adat orang Batak Kristen, kota atau kampung, biasanya selalu ada makanan yang telah disediakan untuk para parsubang itu. Karena orang Kristen hampir selalu makan apa saja, maka kalau kebetulan kerabat mereka yang Muslim yang menyelenggarakan pesta adat, mereka tidak perlu susah-susah menyiapkan makanan khusus.

Di samping peran adat yang cukup signifikan sebagai perekat sosial masyarakat di Sumut, juga ada kemungkinan besar bahwa mereka tidak mau terlibat dalam konflik horizontal sebagaimana pernah terjadi di Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia karena masing-masing kelompok etnis di Medan sadar bahwa tidak ada untungnya bagi mereka melakukan tindakan anarkis semacam itu. Medan adalah kota industri di mana orang dituntut untuk bekerja dan bekerja dan bekerja. Ini sudah merupakan tradisi sejak zaman kolonial. Mereka tahu bahwa konflik horizontal di antara mereka akan mengganggu atau meruntuhkan sistem perekonomian yang ada di sini, di mana setiap orang dan setiap anggota kelompok etnis saling bergantung. Kalau terjadi tindakan anarkis, semua pihak akan terpengaruh.

Di kota ini, walau pemeluk Islam merupakan mayoritas (64,54%), tidak ada tendensi untuk meminta pemerintah menerapkan Syariat Islam sebagaimana terjadi di Aceh, tetangga dekatnya paling utara atau di beberapa kota lainnya di Indonesia . Di Medan, kita biasa melihat perempuan (Muslim) yang berkerudung dan tidak berkerudung, termasuk yang memeluk agama Islam. Bagi orang Medan , ini biasa. Mata orang Medan tidak mendelik melihat perempuan (Muslim) yang tidak berkerudung.
Yang perlu dicermati di Medan adalah konflik yang terjadi antara komunitas Kristen khususnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan komunitas Parmalim yang sempat memanas tahun lalu. Komunitas Parmalim mendirikan ruma parsantian (rumah ibadah) mereka di Jl. Air Bersih Ujung Medan . Pendirian rumah ibadah ini ditentang oleh penduduk sekitarnya yang mayoritas adalah Kristen, umat HKBP. Yang menentang tidak hanya anggota jemaat tetapi juga para pendeta HKBP di sekitar lokasi pembangunan ruma parsantian itu.

Stigmatisasi terhadap kelompok ini memang telah berlangsung sejak zaman kolonial dulu sampai sekarang. Banyak orang tidak mengerti apa itu Parmalim. Inilah yang merupakan salah satu penyebab utama mengapa mereka masih sulit diterima oleh sesama mereka sendiri yang juga adalah orang Batak (Kristen). Keadaan ini tidak lepas dari sejarah masuknya misi Kristen dari Eropa di Tanah Batak pada masa kolonial di dekade-dekade akhir abad ke-19. Para misionaris memiliki cara pandang tertentu terhadap penduduk pribumi dan cara pandang ini sebagian besar adalah cara pandang yang salah kaprah. Penduduk pribumi dilihat sebagai manusia-manusia yang belum mengenal Tuhan, oleh karena itu orang-orang Eropa yang saleh, berpikiran sempit dan juga arogan dalam bentuknya yang halus itu merasa perlu untuk memperkenalkan Tuhan kepada penduduk pribumi. Mereka tidak tahu dan biasanya tidak mau tahu kalau penduduk pribumi memiliki cara dan adat istiadatnya sendiri dalam berinteraksi dengan apa yang disebut oleh orang-orang Eropa yang saleh itu sebagai Tuhan.

Para misionaris telah membesar-besarkan berita kekafiran penduduk pribumi dalam laporan-laporan dan surat-surat mereka ke Eropa khususnya kepada lembaga-lembaga misi yang mengutus mereka. Lupa bahwa orang Batak sendiri telah mengenal Tuhan. Masih jelas sampai hari ini dalam komunitas Agama Parmalim. Sebagian besar Batak Kristen (juga Batak Muslim?) sudah dicuci otak mereka oleh para misionaris dan ajaran-ajaran Kristen yang anti agama pribumi. Itulah antara lain mengapa warga HKBP dan juga sebagian pendetanya seperti yang bertugas di wilayah Jl. Air Bersih Ujung Medan itu menolak pendirian ruma parsantian Parmalim.

Jadi di Medan ini, penduduknya bisa saja saling toleran dalam perilaku mereka sehari-hari bukan terutama karena kesadaran religius yang dalam tetapi karena warganya direkat oleh kepentingan ekonomi bersama di samping juga direkat oleh adat. Sesama orang Batak walau beda agama tapi dari marga dan persatuan marga yang sama, wah, akan lucu kalau mereka saling baku hantam karena beda agama. Jaranglah itu. Kalau baku hantam karena pembagian tanah warisan, itu cukup sering tapi kalau karena agama, itu jarang. Bagi suku-suku bangsa Batak terutama yang Kristen, jauh lebih menyakitkan kalau disebut sebagai manusia yang tidak tahu atau tidak punya adat daripada tidak tahu atau tidak punya agama. Kalau dikatakan, �Kau tidak tahu adat!� maka ini menohok sampai ke ulu hati, seperti sengatan tawon. Kalau dikatakan, �Kau tidak tahu agama!� — selain ungkapan ini jarang dipakai di kalangan suku-suku bangsa Batak, dari segi rasa, ungkapan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ungkapan kau tidak tahu adat.

Agama dan adat (budaya) dulu (sampai sekarang?) adalah satu kesatuan dalam kultur suku-suku bangsa Batak dan suku-suku bangsa pribumi lainnya baik di Asia, Afrika, Amerika Latin — pendeknya suku-suku bangsa pribumi sebelum mereka menganut agama-agama baru yang muncul kemudian dibawa oleh terutama para pemberita agama, khususnya agama-agama ekspansionis seperti Kristen dan Islam.

Adat (budaya) adalah sebuah tatanan holistik yang meresap dan diharapkan meresap dalam tindak-tanduk komunitas atau masyarakat yang memilikinya, yang bersepakat memilikinya. Adat dibentuk dalam sebuah proses yang cukup panjang. Ada adat yang demokratis dan ada yang tidak. Sistem adat suku-suku bangsa Batak dengan filosofi tungku nan tiga (dalihan na tolu) itu disebut sebagai sistem adat yang demokratis sebab kedudukan dan fungsi setiap keluarga berotasi sesuai peristiwa adat yang sedang terjadi.

Jeniusitas adat (budaya) itulah yang perlu digali lagi dan diolah dengan cermat sehingga dapat menjadi sumber energi bagi kita sekarang. Kalau kita mau agama yang datang kemudian di sini (khususnya Islam dan Kristen) berakar, maka ia tidak dapat hidup terpisah dengan jeniusitas adat lokal. Saya mengibaratkan agama-agama yang datang belakangan ini seperti cabang pohon (sebutlah mangga misalnya) yang dicangkokkan ke batang sebuah mangga yang bagus. Lalu kan baik cabang yang dicangkokkan maupun yang dicangkoki sama-sama makan dari tanah yang sama melalui akar yang sama.

Yang terjadi dalam dekade-dekade belakangan ini baik di Medan dan di berbagai tempat adalah agama-agama yang datang belakangan dari luar (terutama Islam dan Kristen) mendominasi apa yang ada di lokal. Pemeluk agama Kristen dan Islam di Indonesia masih berkiblat ke luar, belum mampu berkiblat ke dalam diri mereka sendiri, belum dapat dikatakan mandiri dalam hal teologi di samping masih sering bergantung secara finansial dari negara-negara luar yang berimplikasi terhadap ketergantungan dalam hal berpikir dan bahkan bertindak atau juga ketergantungan finansial ini merupakan salah satu bukti mutu kita rendah sebagai sebuah bangsa dalam banyak hal terutama dalam hal berpikir dan menemukan, intinya dalam ilmu pengetahuan yang tentu saja mencakup teologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Sesuatu yang tidak lahir dari dalam diri kita sendiri termasuk pemikiran tidak akan memiliki dampak yang berarti baik kita maupun masyarakat kita.

Yang menjadi kendala dalam diri kaum intelektual khususnya dalam bidang agama-agama di Indonesia menurut saya adalah rendahnya daya tahan mengolah bahan-bahan yang tersedia di sekeliling mereka baik yang dekat maupun yang jauh menjadi menu-menu yang enak dan pas bagi komunitas atau bangsanya. Yang kebanyakan terjadi selama ini adalah comot sana comot sini lalu sajikan. Ibarat kalau orang memasak, maka masakan yang disajikan itu tidak enak, bisa jadi juga beracun dan membuat orang yang memakannya sakit bahkan mati konyol karena yang memasak salah mengatur komposisi atau salah memasukkan bumbu.

Yang terjadi di Indonesia adalah para pemimpin agama bersama kaum intelektual (agama) menjejali berbagai macam hal terhadap umat. Dalam bahasa Freire, para pemimpin agama dan kaum intelektual ini memperlakukan umat sebagai botol kosong yang harus diisi. Hasilnya? Umat sebagian besar menjadi kebas karena pikiran dan hati mereka penuh dengan hal-hal yang mereka sendiri tidak mengerti.
Salah satu tantangan yang kita harus hadapi dan ini sulit serta memerlukan kerendahan dan ketahanan hati yang besar adalah bagaimana caranya mengosongkan hati dan pikiran umat agar umat dapat berpikir dan bergerak. Laksana orang makan, kalau kekenyangan, kan memang malas, mengantuk dan enggan berpikir. Maunya sih tidur saja atau selonjoran. Kan ini yang terjadi. Umat beragama di Indonesia itu terlalu kenyang dengan makanan-makanan rohani yang tidak bergizi dan terlalu sering makan makanan rohani yang fast-food. Terlalu sering makan makanan instan begini kan pasti akan membuat pemakannya sakit.***

Limantina Sihaloho,
Alumnus fellow di Interfaith Service House, Council for the Parliament of the World Religions, CPWR, Chicago � USA.
Tulisan Limantina : Catatan Untuk Pengagum Nommensen

No comments:

Post a Comment