Thursday 21 July 2011

BORHAT MA DAINANG & REALITA PERKAWINAN BATAK MASA SEKARANG

Oleh: Pdt Daniel T.A. Harahap

Borhat ma dainang! Pergilah kau, hai putriku! Momen itu terasa sangat sedih, berisak dan berair mata, dan mungkin karena itu jugalah selalu diam-diam dinanti-nantikan di setiap pesta perkawinan batak. Yaitu saat-saat orangtua pengantin perempuan akan menyelimutkan ulos membungkus tubuh menantu dan putrinya, dan seorang penyanyi batak dengan lengkingan suaranya mengiris-iris hati hadirin:
Borhat ma dainang Tubuan laklak ho inang tubuan sikkoru
Borhat ma dainang , Tubuan anak ho inang tubuan boru
Horas ma dainang , Rongkapmu helanghi, donganmu sari matua
Horas ma dainang , Di tongan dalan nang dung sahat ho di huta

Reff: Unang pola tangis ho, ai tibu do ahu ro
Sirang pe ahu sian ho, tondingki gumonggom ho

Mengkel ma dainang , Sai unang tangis ho inang martutungkian
Ingot martangiang , Asa horas hamu na laho nang hami na tinggal
Terjemahan bebas:
Berangkatlah, hai putriku , Melahirkan kulit kayu melahirkan jali-jali
Berangkatlah, hai putriku , Melahirkan anak laki-laki melahirkan anak perempuan
Selamat sejahteralah, kau hai putriku
Jodohmu, menantuku, temanmu bahagia lengkap

Selamatlah , kau putriku , Di tengah jalan dan nanti setelah sampai di kampungmu

Reff: Tidak usahlah kau menangis, sebab aku akan cepat tiba
Walaupun aku berpisah denganmu, rohku memelukmu.Tertawalah kau putriku

Janganlah kau menangis sampai merunduk
Ingatlah berdoa , Supaya selamat kalian yang pergi dan kami yang tinggal.

Mungkin dalam komunitas Batak, kesedihan yang berhasil ditimbulkan saat penyampaian ulos (selimut tradisional batak) kepada sang pengantin hanya bisa dikalahkan oleh ritus penyampaian ulos tujung atau kain tudung di peristiwa kematian. Yaitu ulos bernama sibolang dan berwarna biru gelap yang ditudungkan ke kepala seorang yang kematian suami atau istri sebagai tanda resmi menjadi janda/ dua. (Catatan: jaman dahulu di beberapa daerah raja-raja yang selalu punya istri lebih dari satu menolak menerima ulos tujung). Namun jika ulos pengantin diiringi lengkingan menyayat lagu Borhat ma Dainang, maka penyampaian ulos tujung disambut spontan lolongan tangis si janda dan kerabatnya. Tingkat kesedihannya mirip juga dengan ritus perpisahan di pelabuhan Belawan atau Tanjung Priuk saat KM Koan Maru atau Tampomas hendak berlayar. Sebab itu di pesta perkawinan, bukan hanya si ayah atau si ibu pengantin saja berlinangan air mata, tetapi juga semua kerabat dan undangan, bahkan raja-raja parhata yang dua kali seminggu menghadiri peristiwa serupa dengan suguhan menu khusus bir, acapkali juga tidak bisa menahan matanya agar tidak berkaca-kaca. Mengapa bisa?

Menurut penulis mungkin lagu Borhat ma Dainang ini di bawah sadar mengingatkan komunitas Batak kepada masa lalu kaum atau puak-nya dimana pesta perkawinan, terutama dari perspektif perempuan, seringkali sulit dibedakan sebagai puncak kebahagiaan atau justru awal kesengsaraan. Di masa lalu perkawinan bukanlah pilihan tetapi kewajiban. Pasangan hidup juga bukan pilihan pribadi yang bebas, diseleksi lewat masa berpacaran yang indah, tetapi seringkali ketetapan orangtua atau “nasib” yang tidak terelakkan. Jaman itu seorang perempuan yang kawin atau menikah biasanya harus pergi meninggalkan rumah dan kampung marga orangtuanya untuk selanjutnya tinggal di kampung marga suaminya yang jauh dibalik gunung-gunung, dimana sering tak seorang pun dikenal-mengenalnya di sana. Sementara itu penghargaan kepada perempuan sangatlah rendah. Perempuan masih dianggap sebagai objek, manusia kelas dua , alat dan mesin serba guna (pengelola rumah tangga , penerus keturunan , pekerja ladang dan pemuas nafsu seks). Dia mudah sekali menjadi korban kekerasan di rumahnya sendiri dan oleh suaminya sendiri dan dengan alasan tertentu bisa diceraikan atau dikembalikan (dipaulak) ke rumah orangtuanya sebagai janda. Sebab itu perkawinan logis sekali jika dihayati sebagai kehilangan rasa aman dan nyaman. (Perlu perjuangan berat kelak untuk mendapatkan kembali rasa aman itu.) Dalam konteks di atas tentu saja pesta perkawinan (bagi perempuan) adalah momen kesedihan atau “takdir” (bagian, jambar, turpuk) yang tidak bisa ditolak.

Adat Batak dari dulu-dulu sampai sekarang menganggap perkawinan adalah perundingan dua marga sehubungan dengan serah-terima seorang perempuan dari marga ayahnya kepada marga suaminya. Sentrum atau pusat pesta adat pernikahan sebab itu bukanlah pengantin tetapi para laki-laki mewakili dua marga yang duduk berhadap-hadapan melakukan perundingan itu, merekalah yang sekarang kerap disebut raja parhata. (Jaman dahulu pengantin disembunyikan dalam rumah ditemani kawan-kawannya jauh dari orang banyak, sementara sekarang dipajang di panggung). Walaupun banyak puak Batak mengingkarinya, namun sulit ditampik bahwa perundingan itu mirip dengan transaksi jual-beli dengan tawar-menawar harga di sana-sini. Istilah-istilah kunci dalam perundingan perkawinan itu adalah gadis (jual), tuhor (beli, harga), pangoli (pembeli), nanioli (yang dibeli), sinamot (pendapatan), upa tulang (komisi paman). Istilah-istilah itu masih dipertahankan sampai sekarang dan pengamatan penulis kayaknya juga belum mengalami perubahan makna secara signifikan.

Mengingat semua hal di atas wajarlah kalau jaman dahulu di kampung, si pengantin perempuan menangis, terutama saat dia diantar oleh kawan-kawan gadisnya ke batas kampung meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke dunia asing yang tak terperi. (Dulu konon di kawasan Angkola ada tradisi pengantin perempuan yang baru menikah akan menyanyikan lagu andung-andung atau ratapan saat hendak pergi meninggalkan kampungnya, yang isi pantunnya seakan-akan menyesali ibunya yang “tega” menjualnya demi mendapatkan uang mahar atau sinamot).
***
Dengan hormat tulus kepada pencipta lagu “Borhat ma Dainang” (saya yakin sang pencipta bukan saja tidak pernah menerima royalti atas lagunya tetapi bahkan tidak dikenal oleh masyarakat Batak, sebab materialisme membuat orang Batak lebih menghargai ciptaan dari sang pencipta), saya mengatakan lagu itu bagus. Kata-kata dan iramanya yang pedih bisa membuat air mata ini bercucuran. Sebab itu yang hendak saya pertanyakan hanyalah masalah penggunaan lagu tersebut di even pesta perkawinan atau pernikahan batak abad ke-21 - ketika dunia termasuk yang didiami komunitas Batak sudah berubah secara total dan mendasar. Konkretnya: apakah lagu andung (ratapan) yang merujuk ke praktek perkawinan di masa lalu itu cocok atau pas dipakai mengiringi pemberian ulos tanda doa dan restu orangtua kepada pengantin batak moderen?

Mayoritas orang Batak sudah tinggal di kota-kota besar. Berbeda dengan kampung-kampung tradisional Batak (dimana tanah identik dengan marga), kota adalah tempat tinggal bersama. Sebagian besar pengantin perempuan setelah menikah masih tinggal sekota, sekecamatan, atau se-real estate dengan orangtuanya. Juga masih segereja. Teknologi komunikasi maju membuat pengantin dan orangtuanya masih bisa telpon-telponan dan sms-sms-an tiap jam. Lantas kenapa masih menyanyikan: Borhat ma dainang? Yang lebih lucu jika pengantin setelah menikah ternyata malah tinggal menumpang di rumah orangtua si perempuan. (Bercanda, harusnya yang dinyanyikan: Hatop ma borhat daamang!) Lantas bagaimana pula kita harus memaknai lagu Borhat ma Dainang di pesta pernikahan jika faktanya (banyak) si anak perempuan bertahun-tahun sebelum menikah memang sudah “pergi merantau” dan hidup mandiri di kota-kota? Di sinilah kembali kita menemukan bahwa komunitas Batak memang sering kali tidak melihat situasi dan kondisi dan cenderung hanya mengikut mengekor saja kepada apa yang dianggap biasa atau lazim, apalagi diberi label “adat”.

Namun ada lagi menurut saya persoalan lebih serius. Lagu Borhat ma Dainang, baik kata-kata maupun iramanya sangat muram. Pertanyaan saya: mengapa di sebuah even yang seharusnya penuh sukacita dan tawa bahagia - apalagi di saat khusus orangtua pengantin hendak menyampaikan ulos tanda doa restunya mengapa banyak orang justru sengaja memilih lagu yang sangat pilu itu sehingga menjadikannya drama menguras air mata? Seorang teman mengatakan lagu itu pas sekali dengan suasana hati si orangtua pengantin perempuan yang sebenarnya berat dan hampir tidak ikhlas melepaskan putrinya. Mungkin tanpa membaca teks lagu, seorang teman lagi mengatakan lagu Borhat ma Dainang mengekspresikan rasa haru bercampur bahagia si orangtua yang merasa telah berhasil mengantar putrinya kepada kedewasaan penuh (ingat: orang batak masih menganggap pernikahan adalah ukuran kedewasaan!). Sebagai seorang ayah yang juga memiliki anak perempuan saya tidak menyangkal perasaan-perasaan bahagia bercampur-aduk haru, harap dan cemas dari orangtua si pengantin perempuan. Namun bagaimana pun juga perkawinan adalah momen bahagia dan gembira. Orangtua yang arif dan penuh cinta pastilah (di tengah perasaan sunyi hatinya yang terdalam sekali pun) akan tetap berjuang mendukung kebahagiaan putrinya bersanding dengan orang yang dicintai-mencintainya. Tapi alih-alih berusaha tegar dan ikhlas agar tidak merusak momen paling berbahagia dari pengantin, banyak orangtua batak justru terisak-isak dan karena itu mendorong putrinya menangis terisak-isak juga. Ada apa gerangan dibalik semua ini? Apakah di lubuk hatinya si orangtua tidak yakin putrinya sedang dan akan bahagia bersama pilihannya sendiri? Apakah komunitas ini sedang meramal (martondung) bahwa perkawinan ini pun akan dipenuhi air mata kelak, seperti banyak perkawinan-perkawinan sebelumnya? Dao ma na so tama. Jauhlah celaka! Pertanyaan ini terpaksa terlontar karena sebagai pendeta di gereja batak saya cukup banyak melihat perkawinan dan rumah tangga batak-kristen yang bermasalah dan tidak bahagia. Sebagian diantaranya diakibatkan karena orang Batak hanya sibuk mempersiapkan pesta dan bukan rumah tangga sesudah pesta itu usai.

Dalam kelana permenungan yang semakin jauh, tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya: jangan-jangan konsepsi perkawinan batak belum ada yang berubah walaupun jaman sudah maju. Jangan-jangan orang Batak walau pun Kristen dan moderen - dalam hal menghayati perkawinan dan hubungan laki-laki-perempuan - masih sama saja dengan ompung moyangnya sebelum Belanda masuk dengan pameo khas “holan inang do na so boi tuhoron, anggo inang-inang boi do tuhoron” (hanya ibu kandung yang tidak bisa dibeli, istri/gundik bisa dibeli). Seandainya, semoga saja tidak, itu yang terjadi memang pantaslah kita menyanyikan andung-andung atau kidung ratap di pesta perkawinan batak masa kini. Sebagian untuk meratapi nasib perempuan batak yang tidak kunjung membaik dan sebagian meratapi ketidakmampuan gereja membaharui konsepsi adat batak tentang perkawinan dan kegagalan gereja mempersiapkan warganya membangun rumah tangga bahagia. (catatan: di gereja batak sampai kini tidak ada katekisasi pernikahan, dan itu juga salah satu sumber celaka itu. Jika ada itu hanya inisiatif pribadi si pendeta!)
***
Dalam Alkitab, yang semoga sungguh-sungguh menjadi Kitab Suci orang Batak Kristen, lembaga perkawinan telah dikuduskan dan diangkat menjadi lambang kasih dan kesetiaan Tuhan dengan umatNya. Yesus sendiri secara radikal menolak perkawinan sebagai transaksi properti, sebaliknya Dia menjadikan perkawinan sebagai persekutuan dua pribadi yang setara dan saling mencintai sampai mati. (Sebab itu bagi Yesus perzinahan bukan lagi sama dengan pencurian/ kehilangan properti tetapi pelanggaran komitmen pribadi). Dalam perkawinan kristiani yang pertama dan terutama bukan lagi perundingan keluarga atau marga, tetapi ketetapan hati kedua pribadi untuk bersama-sama bahagia yang diikat dalam suatu perjanjian kudus di hadapan Allah dan jemaat. Sebab itu adat dan perjamuan resepsi yang dilakukan seharusnya ditujukan melengkapi dan memperkaya sukacita dan kebahagiaan kedua pengantin, bukan untuk mementahkan kembali perjanjian kawin atau nikah kudus mereka dan membuat semua orang bersedih tak jelas.

Kembali ke lagu “Borhat ma dainang” dalam pesta perkawinan, saya ingin mengutip Matius 19:5 dimana Tuhan bersabda “laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging”. Ini aneh atau luar biasa! Sebab jika orang banyak termasuk Batak mengatakan perempuanlah yang meninggalkan ayah ibunya maka Yesus justru mengatakan laki-laki yang harus meninggalkan rumah ayahnya agar dapat bersatu dengan istrinya dalam “satu daging”. Kata satu daging sebab itu menunjuk kepada persekutuan yang sempurna intim, otonom, tunggal dan final. Itu artinya jika kita masih mau mempertahankan perkawinan (= pernikahan) sebagai suatu kepergian atau keberangkatan maka harus diartikan dua pihak. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama harus keluar dari masa lalunya dan membentuk rumah tangga baru yang bahagia. Pada akhirnya: lantas lagu, amanat dan doa apakah yang paling cocok untuk mendukung sepasang keluarga muda yang hendak membangun rumah tangga bahagia selamanya?
Horas

Pdt.DanielT.A.Harahap
(seorang pendeta hkbp yang sepanjang tahun banyak menerima pengaduan terjadinya kekerasan domestik dan kegoncangan rumah tangga muda kristen-batak-kota)

No comments:

Post a Comment